IKN sebagai Gaya Hidup Baru

Namun beda dengan jaman dulu, ketika kesempatan masih diberikan sama pada siapapun. Sekarang, ada orang yang dengan cepat melihat peluang, tapi ada yang cepat merasa kehilangan peluang.

Senin, 7 Maret 2022 | 06:50 WIB
0
221
IKN sebagai Gaya Hidup Baru
Mobil kepresidenan di IKN (Foto: JPPN.com)

Pindahnya Ibukota Negara dari Jakarta ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946, dimulai dengan kisah-kisah amat dramatis. Bahkan sangat filmis, seandainya muncul sineas kita yang tertantang memfilemkannya.

Dimulai dari Jakarta yang kacau di akhir 1945, beberapa pemimpin politik kita menjadi sasaran teror dan tembakan tentara Belanda yang membonceng Sekutu. Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, sungguh tidaklah murah.

Hingga Sri Sultan Hamengku Buwana IX, sebagai penguasa Negari Ngayogyakarta Hadiningrat, setelah bersama Kadipaten Pakualaman menyatakan bergabung dan mendukung Negara Republik Indonesia, menawarkan Sukarno cum suis berpindah ke Yogyakart. Demi jalannya pemerintahan republik bayi dalam ancaman itu. Yogyakarta menjadi daerah otonom yang relatif lebih aman dan stabil dari ancaman tentara NICA Belanda.

Maka, dengan Kereta Luar Biasa, dilarikankan Bung Karno dan Bung Hatta. Melewati lubang jarum penjagaan tentara Belanda pada 3 Januari 1946. Sebuah perjalanan to be or not to be. Jika pelarian itu terkena OTT, barangkali habis sudah republik ini.

Dan tiba-tiba, ketika Ibukota Negara hendak pindah, dari Jakarta ke daerah Kalimantan Timur, orang-orang pun gempar. Pro-kontra. Sebut saja Rizal Ramli, dan yang sekualitas otak dengannya; Mengatakan Jokowi melakukan tindakan super-bodoh dengan kepindahan ibukota itu. Wong di Jakarta sudah begitu rupa lengkapnya, kok malah sebagaimana dikata Edmul, pindah ke tempat nganu buang nganu. Siapa yang mau? Masyarakat Jakarta pasti tidak mau, katanya. Padal, mau tidak mau, emang diajak? Emangnya pindah ibukota juga berarti mindahin seluruh warga negara yang ada di ibukota?

Bahkan, anehnya, Anies Baswedan (selaku Gubernur DKI jakarta) pun, bisa-bisanya ngomong, daripada pindah ninggalin tempat yang sudah lengkap prasarananya, lebih baik membangun Jakarta sebagai kota internasional!

Tapi mau komentar apa atas pendapat super-bego itu? Karena New York dengan berpindahnya ibukota AS ke Washington DC, tetap saja menjadi kota internasional. Begitu juga dengan Kyoto dan Tokyo. Antara Amsterdam dan Den Haag, atau juga Putrajaya dan Kuala Lumpur.

Yogyakarta, yang semula pada awal 1946 berpenduduk 170.000 jiwa, mendadak sontak menjadi 600.000 jiwa. Bukan hanya pegawai instansi pemerintah, melainkan juga masyarakat awam, para elite, pejuang, republiken, tukang copet, turut berpindah pula. Situasi bukan hanya hiruk-pikuk, melainkan chaos. Bung karno menggambarkan cara kerja pemerintahan waktu itu, seperti perkumpulan garong.

Dalam memoarnya, Ali Sastroamidjojo menggambarkan Yogya waktu itu adalah suasana kebebasan dan keamanan. Ibukota yang hidup di tengah pergolakan revolusi. Banyak pemuda berambut gondrong berkeliaran. Bertingkah-laku serampangan dan tak saling kenal, seperti pejuang yang baru menang perang. Tapi tanpa mereka, kata Ali, kemerdekaan negara kita akan lain sama sekali kesudahannya.

Ibukota, dari namanya saja sudah menjelaskan, pastilah lebih gede dari kota. Ini ibu-nya, biangnya, kota. Sama seperti ketika ibukota kembali ke Jakarta, pusat-pusat pemerintahan mulai ditetapkan.

Tebet, Palmerah, Slipi, menjadi daerah baru yang tumbuh melesat, karena yang semula tempat jin buang hajat, dibangun untuk pemukiman para PNS yang dipasok dari Yogyakarta, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Ibukota, segoblog apapun pemimpinnya, tak mungkin didisain dan diproyeksikan seapa-adanya. Yang disebut rebana-biang saja, tetap lebih gede dibanding yang disebut rebana-rebana biasa.

Jangankan pindahnya ibukota. Lha wong pindahnya kampus-kampus perguruan tinggi, dari kota besar ke pelosok (desa, gunung), dalam sekejap mengubah tempat buang celana jin menjadi jin buang celana. Lihat dulu UI dari Jakarta ke Depok. Unes dari pinggir kota yang sering kebanjiran ke daerah perbukitan. Di Daerah Istimewa Yogyakarta, pindahnya kampus UMY, menyebarnya kampus UII, UIN, menjadi pecatu mekarnya daerah pinggiran Yogya. Coba saja seumpama kampus UGM dipindah ke Mbrosot, Kulon Progo.

Tentu bedanya, bisa jadi ibukota baru kelak akan lebih dikuasai orang berduit, yang bisa membeli tanah di IKN itu. Apalagi ibukota baru itu lebih di-set-up sebagai area new life style daripada daya hidup baru. Karena dari sejak isu mau pindah saja, harga tanah seputaran IKN perlahan melejit. Meskipun begitu, jika usia masih memungkinkan, saya juga naksir untuk tinggal di ibukota baru.

Namun beda dengan jaman dulu, ketika kesempatan masih diberikan sama pada siapapun. Sekarang, ada orang yang dengan cepat melihat peluang, tapi ada yang cepat merasa kehilangan peluang. Misalnya, peluang jadi calo demo bakal berat diongkos. Dan para cukong demo akan mikir, karena ongkos nasbung dan bus atau truk tidak akan memadai lagi. Margin laba-nya akan makin mengecil.

***