Radikalisme adalah paham yang mengerikan karena bisa mengancam keutuhan bangsa. Kaum muda, terutama para santri, diharap untuk memberantas radikalisme, dan meluruskan bahwa taat dalam beribadah bukan berarti harus jadi radikal.
Pernahkah Anda mendengar berita tentang kelompok radikal dan penyerangan yang mereka lakukan? Kelompok ini baru menampakkan diri di era reformasi karena memang mereka baru bisa masuk ke Indonesia pasca orde baru tumbang. Sedihnya, ada saja yang tidak tahu apa kesalahan dari kelompok radikal sehingga mau-mau saja dijadikan kader baru.
Masyarakat perlu mengetahui bahwa kelompok radikal berbahaya bagi keutuhan bangsa, pasalnya mereka memaksakan untuk mengubah konsep Indonesia menjadi khilafah. Padahal bagi negara pluralis jelas tidak cocok, dan cocoknya hanya di negara monarki. Akan tetapi mereka memaksakan diri lalu melakukan berbagai kekerasan untuk mewujudkan permintaannya.
Syukron Jamal, Direktur Eksekutif Jaringan Muslim Madani (JMM) menyatakan bahwa radikalisme bisa mengancam keutuhan bangsa. Apalagi saat ini kelompok radikal sudah merambah ke media sosial sehingga pengawasannya harus lebih ketat. Masyarakat juga harus makin waspada karena Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menemukan 600 akun media sosial yang menyebarkan ajaran radikalisme, ekstrimisme, serta terorisme.
Dalam artian, masyarakat memang harus benar-benar melek dalam melawan radikalisme. Mereka masuk ke dunia maya tidak untuk nongkrong, tetapi untuk mencari kader-kader baru yang radikal. Jangan sampai keluarga terdekat terpengaruh oleh radikalisme sehingga jadi terpisah karena mereka memilih untuk jihad ke Suriah atau negara lain.
Ketika punya anak dan remaja, maka beri pemahaman tentang radikalisme dan bahayanya. Penyebabnya karena anak sekarang sudah banyak yang punya akun Instagram dan Tiktok. Jangan sampai mereka jadi kader radikal yang militan gara-gara kurangnya pengawasan orang tuanya.
Radikalisme bisa mengancam keutuhan bangsa karena jika ada anggota keluarga yang jadi kader radikal, maka hancurlah relasinya, karena mereka dilarang keras untuk keluar dengan alasan apapun. Ketika banyak hubungan kekeluargaan yang hancur maka rusaklah sistem sosial di negeri ini.
Syukron Jamal menambahkan, para santri diharap menjadi garda depan untuk mencegah meluasnya radikalisme di Indonesia. Mereka wajib memberitahu bahwa radikalisme tidak identik dengan kesalehan beragama, karena tidak ada ajaran agama yang mengajarkan kekerasan bahkan pengeboman.
Para santri yang pulang ke daerahnya masing-masing bisa berceramah tentang cara beragama yang baik dan benar serta mengajarkan bahwa radikalisme itu salah. Tidak ada yang namanya jihad dengan cara mengebom karena itu salah besar. Jihad dengan berperang itu salah karena masa perang sudah berakhir sejak Indonesia merdeka.
Jihad yang benar adalah dengan menahan hawa nafsu dan amarah serta menjadi orang yang jauh lebih sabar. Latihan sabar dalam berjihad dilakukan setiap hari, tidak hanya di bulan puasa. Jihad lain yang diperbolehkan adalah bekerja keras dalam mencari nafkah untuk keluarga.
Radikalisme harus dicegah agar tidak meluas dan merusak bangsa ini dan masyarakat harus waspada agar tidak ada anggota keluarganya yang tiba-tiba hilang lalu datang dengan kondisi otaknya sudah dicuci akibat baiat, lantas ingin berjihad. Jangan sampai radikalisme menghancurkan perdamaian, oleh karena itu pengawasan perlu diperketat.
Untuk mencegah radikalisme maka kita harus kompak, tak hanya penyuluhan di keluarga tetapi juga di lingkungan luar. Abaikan berita hoaks mengenai radikalisme dan beri pengertian ke orang-orang tentang bahayanya, karena bisa jadi mereka belum paham. Keutuhan bangsa harus dijaga sehingga kita wajib memberantas radikalisme.
Siti Fauziah, penulis adalah kontributor Pertiwi Institute
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews