Teroris

Di mana-mana, tindakan dan realita lebih dipercaya dari klaim-klaim jenis apapun juga.

Rabu, 7 April 2021 | 06:42 WIB
0
345
Teroris
Teroris (Foto: CNN Indonésia)

Jika reaksi pertama kita pada peristiwa terorisme adalah “Teroris bukan Islam! Teroris tidak beragama! Lihatlah, saya Islam dan saya bukan teroris! Nanti Islam lagi yang dikaitkan!”

Selain pernyataan tersebut terkesan denial dan menutupi fakta bahwa memang ada ayat-ayat perintah bunuh kafir di Alquran yang ditafsir secara literal sehingga melahirkan pengamalan yang seliteral ayatnya, pernyataan-pernyataan tersebut juga terkesan tidak berempati sama sekali.

Daripada sibuk ‘cuci tangan’ dan ‘menyelamatkan muka’ dari cipratan kelakuan sadis orang yang sama-sama mengucap syahadat, salat, puasa, dan menolak makan babi seperti kita para umat Islam pada umumnya; lebih baik kita berucap dengan penuh empati :

“Saya minta maaf yang sebesar-besarnya, saudaraku. Saya menyesalkan dan mengutuk peristiwa ini karena kepedihan kalian adalah kepedihan saya juga.

Saya tidak ingin itu terjadi lagi, maka saya ingin berkontribusi mencegahnya dengan mengajak orang-orang Islam di sekitar saya untuk introspeksi lagi dengan tafsiran/pemahaman agamanya, memblokir pemuka agama yang radikal dan penuh kebencian di sosmed, dan memberi akses jangkauan lebih luas kepada ceramah toleransi, dengan cara ikut share atau bikin konten sendiri”.

Tapi, kenapa sepertinya kata-kata seperti itu saja berat sekali untuk diucapkan, seolah akan menurunkan harkat martabat yang mengucapkannya?

Kenapa mayoritas orang Indonesia susah berempati?

Karena sulit memahami posisi, kesedihan, dan trauma-trauma fisik maupun psikologis dari minoritas, saat kita sudah jadi mayoritas sejak lahir.

Sebagian besar orang Indonesia belum pernah mengalami ada di posisi minoritas seumur hidupnya. Jadi, empatinya kurang terasah. Sense-nya kurang peka. Sehingga, hal pertama yang dipedulikan ketika ada tragedi—bahkan untuk lembaga besar dan tokoh negara ini—adalah reputasi/image agamanya sendiri.

Padahal, mustahil ingin dilihat sebagai representasi ‘agama kedamaian’ tanpa lebih dulu menghadirkan empati dan bukti nyata.

Sungguh upaya denial yang sia-sia.

Di mana-mana, tindakan dan realita lebih dipercaya dari klaim-klaim jenis apapun juga.

Selain itu, kalau orang yang nalarnya jalan, pasti paham bahwa sedikit penilaian negatif masyarakat yang itupun terjadi karena ulah salah satu umatnya sendiri, TIDAK ADA APA-APANYA dibanding kematian, cacat fisik, dan beban trauma psikologis yang harus ditanggung para korban terorisme. Belum lagi diskriminasi di keseharian yang merembet ke masalah lain seperti akses pada pekerjaan dan pendidikan.

Apakah itu semua jadi tidak penting cuma karena mereka ‘kalah jumlah’?

Apakah reputasi lebih penting dari empati? 

Salam dari saya,

Seorang muslimah berjilbab yang kebetulan belajar agama maupun psikologi bukan dari Google. 

Asa Firda Inayah

***