Di mana-mana, tindakan dan realita lebih dipercaya dari klaim-klaim jenis apapun juga.
Jika reaksi pertama kita pada peristiwa terorisme adalah “Teroris bukan Islam! Teroris tidak beragama! Lihatlah, saya Islam dan saya bukan teroris! Nanti Islam lagi yang dikaitkan!”
Selain pernyataan tersebut terkesan denial dan menutupi fakta bahwa memang ada ayat-ayat perintah bunuh kafir di Alquran yang ditafsir secara literal sehingga melahirkan pengamalan yang seliteral ayatnya, pernyataan-pernyataan tersebut juga terkesan tidak berempati sama sekali.
Daripada sibuk ‘cuci tangan’ dan ‘menyelamatkan muka’ dari cipratan kelakuan sadis orang yang sama-sama mengucap syahadat, salat, puasa, dan menolak makan babi seperti kita para umat Islam pada umumnya; lebih baik kita berucap dengan penuh empati :
“Saya minta maaf yang sebesar-besarnya, saudaraku. Saya menyesalkan dan mengutuk peristiwa ini karena kepedihan kalian adalah kepedihan saya juga.
Saya tidak ingin itu terjadi lagi, maka saya ingin berkontribusi mencegahnya dengan mengajak orang-orang Islam di sekitar saya untuk introspeksi lagi dengan tafsiran/pemahaman agamanya, memblokir pemuka agama yang radikal dan penuh kebencian di sosmed, dan memberi akses jangkauan lebih luas kepada ceramah toleransi, dengan cara ikut share atau bikin konten sendiri”.
Tapi, kenapa sepertinya kata-kata seperti itu saja berat sekali untuk diucapkan, seolah akan menurunkan harkat martabat yang mengucapkannya?
Kenapa mayoritas orang Indonesia susah berempati?
Karena sulit memahami posisi, kesedihan, dan trauma-trauma fisik maupun psikologis dari minoritas, saat kita sudah jadi mayoritas sejak lahir.
Sebagian besar orang Indonesia belum pernah mengalami ada di posisi minoritas seumur hidupnya. Jadi, empatinya kurang terasah. Sense-nya kurang peka. Sehingga, hal pertama yang dipedulikan ketika ada tragedi—bahkan untuk lembaga besar dan tokoh negara ini—adalah reputasi/image agamanya sendiri.
Padahal, mustahil ingin dilihat sebagai representasi ‘agama kedamaian’ tanpa lebih dulu menghadirkan empati dan bukti nyata.
Sungguh upaya denial yang sia-sia.
Di mana-mana, tindakan dan realita lebih dipercaya dari klaim-klaim jenis apapun juga.
Selain itu, kalau orang yang nalarnya jalan, pasti paham bahwa sedikit penilaian negatif masyarakat yang itupun terjadi karena ulah salah satu umatnya sendiri, TIDAK ADA APA-APANYA dibanding kematian, cacat fisik, dan beban trauma psikologis yang harus ditanggung para korban terorisme. Belum lagi diskriminasi di keseharian yang merembet ke masalah lain seperti akses pada pekerjaan dan pendidikan.
Apakah itu semua jadi tidak penting cuma karena mereka ‘kalah jumlah’?
Apakah reputasi lebih penting dari empati?
Salam dari saya,
Seorang muslimah berjilbab yang kebetulan belajar agama maupun psikologi bukan dari Google.
Asa Firda Inayah
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews