Apakah Menolak Hukuman Mati Berarti Tidak Pro Pemberantasan Korupsi?

Kita ingat, untuk teroris dan pengedar narkoba sudah diterapkan. Mau berapa banyak nyawa dibuat melayang supaya bisa jadi indikator keberhasilan penegakan hukum?

Rabu, 11 Desember 2019 | 19:54 WIB
0
340
Apakah Menolak Hukuman Mati Berarti Tidak Pro Pemberantasan Korupsi?
Ilustrasi hukuman mati (Foto: babe.com)

Sesungguhnya pertanyaan seperti yang termuat pada judul tulisan ini tidak hanya ditujukan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), sebagai tanggapan balasan atas mencuatnya opsi penerapan hukuman mati kepada para koruptor baru-baru ini, tetapi juga kepada saya dan seluruh masyarakat Indonesia.

Opsi tersebut mencuat lagi saat peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia), tepatnya pada Senin, 9 Desember 2019, karena salah seorang pelajar SMK Negeri 57 Jakarta Selatan bertanya tentang hal itu kepada Jokowi. Menjawab pertanyaan, Jokowi mengatakan bahwa hukuman mati bagi koruptor amat mungkin dilaksanakan, sepanjang dikehendaki rakyat.

Pernyataan atau jawaban Jokowi lantas ditanggapi secara beragam banyak pihak. Tanggapan itu antara lain, ada yang setuju dengan syarat mesti dibuat kategori koruptornya (level pelanggaran dan jumlah uang yang dikorupsi), ada yang mengaku heran sebab instrumen hukum sebenarnya sudah ada (hakim di pengadilan yang punya kewenangan) dan tidak perlu meminta kehendak rakyat, dan sebagainya.

Saya sepakat dengan tanggapan kedua, yaitu bahwa keputusan diterapkan atau tidaknya hukuman mati bukan di tangan rakyat. Jelas, instrumen hukum (UU Tipikor) sudah ada, hakim di pengadilan tinggal mempertimbangkan untuk dijalankan. Bahkan Jokowi pun tidak, karena beliau bukan hakim (pejabat yudikatif).

Saya termasuk orang yang sangat awam soal instrumen hukum, namun yang saya tahu hukuman mati bisa dikenakan kepada oknum yang mengorupsi dana bantuan sosial (bencana alam). Maka karena aturan memperbolehkan, seharusnya tidak perlu ada perdebatan, langsung dijalankan saja, kecuali mau ditambahkan lagi jenis dan level pelanggaran baru.

Jika saya ditanya apakah setuju penerapan hukuman mati, saya dengan tegas menjawab: TIDAK SETUJU. Namun karena aturan negara mengizinkan, apa boleh buat, sila dilaksanakan. Saya hanya berdoa semoga saya tidak menjadi koruptor lalu mendapatkan hukuman seberat itu. Sekali lagi, saya tidak setuju hukuman mati untuk jenis pelanggaran apa pun. 

Apa yang saya pikirkan sehingga kukuh menolak hukuman mati? Sederhana, saya cuma berpikir, bagaimana mungkin kita menggaungkan hukuman mati pada 9 Desember, sementara pada 10 Desember kita bicara soal penegakan hak asasi manusia (HAM)? Bukankah salah satu HAM itu adalah hak untuk hidup?

Bagaimana mungkin kita terus mencari cara supaya pencuri di rumah kita tertangkap, diadili dan dihukum mati, sedangkan kita selalu lupa menggembok pintu dan menutup jendela yang biasanya dengan gampang dilewati oleh pencuri? Saya tidak perlu menjelaskan maksudnya terlalu panjang.

Maknanya adalah, efektivitas pemberantasan korupsi tidak terletak pada seberapa banyak kita membuat jeratan dan hukuman, melainkan sejauh mana kita memperbaiki sistem sehingga kebal dari korupsi. Ungkap celah rumah yang berpotensi disusupi pencuri, kemudian tutup rapat-rapat. Pasang kamera pemantau di sudut-sudut strategis.

Atau jangan-jangan memang rumah kita (negara ini) amat rapuh karena masih berbentuk gubuk? Jika demikian, maka mari kita buat rumah yang tidak harus mewah, tetapi aman dari sasaran pencuri. Kita buat dari material kokoh misalnya dinding beton; atapnya genteng terbaik, pintu dan jendela dari kayu berkualitas, serta jangan terlalu banyak ventilasi.

Baiklah bahwa ada yang mau mengatakan China, Korea dan negara-negara lain mampu menghalau korupsi karena penerapan hukuman mati. Pertanyaannya, apakah ada garansi korupsi lenyap selamanya? Kita jangan cuma lihat satu sisi (hukuman), tetapi juga bagaimana mereka membentengi korupsi.

Selanjutnya, andaikan betul diterapkan bagi koruptor, jenis pelanggaran apa lagi ke depan yang ancamannya adalah hukuman mati? Kita ingat, untuk teroris dan pengedar narkoba sudah diterapkan. Mau berapa banyak nyawa dibuat melayang supaya bisa jadi indikator keberhasilan penegakan hukum?

Saya berefleksi, betapa jahatnya kita ketika hak "memberi dan mengambil hidup" yang merupakan kewenangan Tuhan Yang Maha Agung, Pencipta alam raya dan segala isinya, dengan gampang kita ambil alih. Bukankah kita masih punya banyak cara untuk menghalau kejahatan tanpa harus melanggar hak Tuhan?

Saya mohon, siapa pun yang membaca tulisan ini, pahamilah secara utuh. Jangan sepotong-sepotong. Mari kita tegakkan hukum (memberantas korupsi) tanpa mengabaikan HAM dan mencabut hak Tuhan. Terima kasih.

***