Mungkin dengan begitu Anies ingin mengikat pendukungnya tetap dalam persepsi pertentangan pribumi dan nonpribumi. Bambu lokal versus besi China.
Satu di antara kemampuan Anies Baswedan yang menonjol adalah eksploitasinya pada isu-isu rasial untuk kepentingan politik. Pidato pertamanya setelah dilantik menyebut kata "pribumi". Secara keseluruhan pidato itu gak salah. Hanya saja orang tahu, sejarah naiknya Anies ke kursi Gubernur salah satunya dengan mempertentangkan makna kata "pribumi" dengan "warga keturunan". Lawan Anies saat itu adalah Basuki Tjahaja Purnama, seorang politikus berdarah Tionghoa.
Maka orang menebak arah penggunaan kata "pribumi" dalam pidato Anies. Seperti mengingatkan orang pada istilah pribumi dan non-pribumi. Biasanya warga keturunan Tionghoalah yang dituding sebagai nonpribumi. Sedangkan Anies, lelaki berdarah Arab, tidak dikategorikan nonpribumi.
Kini, ia membawa lagi isu soal China. Awalnya adalah ejekan publik ketika Pemda DKI membongkar patung bambu seharga Rp 550 juta di Jalan Thamrin. Patung itu adalah inisiasi Anies Baswedan.
Sejak awal memang sudah menjadi tertawaan warga. Selain bentuknya mirip dua makhluk sedang berpelukan mesra (agak seronok), juga karena letaknya tepat di tengah kota yang agak aneh. Patung Bambu itu berdiri di antara gedung megah dan air mancur Hotel Indonesia.
Keberadaanya seperti 'anak pungut' di antara belantara beton. Dan kita tahu, yang namanya bambu dipajang di ruang terbuka, pasti cepat lapuk.
Belum setahun patung itu berdiri, kondisinya sudah gak enak dipandang mata. Maka Dinas Kehutanan Pemda DKI merubuhkannya. Patung seharga Rp 550 juta itu kini tinggal sampah bambu saja.
Warga tertawa. Warga meringis karena uang sebesar itu hanya untuk ornamen yang usianya gak lebih dari setahun. Wajar. Wong dibuat dari bambu.
Tapi bukan Anies kalau tidak bisa bergoyang lidah. Ia membela diri. Celakanya pembelaannya malah menarik-narik isu yang sama sekali gak relevan.
"Kalau saya memilih besi, maka itu impor dari Tiongkok mungkin besinya. Uangnya justru tidak ke rakyat kecil. Tapi kalau ini, justru Rp550 juta itu diterima siapa? Petani bambu, perajin bambu," kata Anies.
Entahlah. Setiap tindakan Anies melulu nuansanya sangat politis. Mungkin dengan begitu ia ingin mengikat pendukungnya tetap dalam persepsi pertentangan pribumi dan nonpribumi. Bambu lokal versus besi China.
Seolah ia ingin mempertentangkan isu soal Tiongkok dalam perdebatan mubazirnya patung bambu. Padahal kalau bicara produksi besi, Indonesia juga punya Krakatau Steel. Gak mesti impor dari luar. Apalagi dia menyebut spesifik impor dari Tiongkok.
Dengan membawa isu impor dari Tiongkok, ia seperti masuk dalam kubangan lain. Anies hendak memgipas isu 'Indonesia dikuasai Tiongkok' dalam pembelaannya. Ia menggeser isu mubazirnya patung bambu, lalu membenturkan dengan isu baru yang sama sekali gak ada hubungannya. Buat apa ia membawa-bawa kalimat 'besi impor dari Tiongkok?'
Lalu membenturkannya dengan ekonomi rakyat? Bahwa bambu adalah hasil keringat rakyat. Makanya dia memilih. Ketimbang memilih besi yang impor dari Tiongkok.
Pembelaan Anies itu seperti menyiram bensin di atas hoax mengenai penguasaan ekonomi Indonesia oleh Tiongkok. Ia seperti berteriak meminta tolong pada publik pendukungnya yang sejak dulu kenyang dijejali kebencian rasial.
Sama seperti ketika dia menggunakan kata pribumi pada awal masa jabatannya.
Anies sedang melestarikan isu pribumi dan non-pribumi. Anies terus menajamkan salah sangka soal investasi China. Ia memang membela diri, bukan dengan membuat adem suasana. Justru dengan makin mengobarkan pertentangan.
Sebetulnya gampang saja. Ia bisa memasang instalasi seni di tengah kota. Untuk mempercantik kota. Tinggal pilih bahannya. Toh, dulu Soekarno membuat patung selamat datang. Sampai sekarang masih berdiri kokoh. Atau patung pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng. Bahannya batu. Usianya jauh lebih panjang.
Jika alasan soal resources lokal, toh Indonesia ini kaya dengan batu dan perunggu. Usianya juga lebih panjang. Justru dengan membuat instalasi dari bahan yang lebih tahan lama, Anies bisa meninggalkan legacy. Seperti patung-patung yang diinisiasi Soekarno. Sebab gak cepat dibongkar Dinas Kehutanan.
Tapi itulah Anies. Ia bermulut tajam. Bahkan untuk membela diri dari serangan publik yang menuding patung bambu Rp550 juta itu mubazir, ia rela mengembuskan isu yang sama sekali gak ada hubungannya. Kebencian pada sesuatu yang berbau Tiongkok. Berbau China.
Entahlah. Setiap tindakan Anies melulu nuansanya sangat politis. Mungkin dengan begitu ia ingin mengikat pendukungnya tetap dalam persepsi pertentangan pribumi dan nonpribumi. Bambu lokal versus besi China.
Anies memang pandai membungkus kata. Tapi kita merasakan ada nuansa 'rasis' di sana.
Memuakkan memang.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews