Mengapa KPK Mengusik Kembali Kasus BLBI?

Siapapun yang mati dalam memberantas korupsi, sejatinya ia mati dalam kehormatan dan kemualiaan.

Selasa, 18 Juni 2019 | 06:51 WIB
0
465
Mengapa KPK Mengusik Kembali Kasus BLBI?
Kasus BLBI (Foto: HarianJogja)

Senin, 10 Juni 2019 kemarin, KPK menggelar konferensi pers tentang kasus BLBI dengan menyatakan pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Syamsul Nursalim dan Itjih (istrinya) sebaga tersangka karena masih menyisakan kewajiban sebesar Rp4,58 triliun dan waktu pembayarannya sudah lewat (jauh). Sebenarnya ini yang kedua kalinya KPK membuka lagi kasus BLBI.

Tahun 2017 KPK membuka dan mengusut kasus BLBI, yang secara khusus menukik pada persoalan penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) yang diterbitkan oleh BPPN waktu itu (2002). Dari total BLBI yang dikucurkan ke 48 bank sebesar Rp 144,5 triliun, Rp 138,4 triliun diduga diselewengkan dan merugikan negara.

Pada tahun 2002 BPPN yang diketuai Syafruddin A. Temenggung, menerbitkan SKL bagi pemilik Bank BDNI, Syamsul Nursalim. BLBI yang terkucur ke BDNI sebesar Rp 24,47 triliun. Kini Syafruddin telah divonis.

Dasar hukum yang digunakan Syafruddin waktu itu adalah Inpres No. 8 Tahun 2002 yang diterbitkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Jumlah obligor kakap yang belum melunasi utangnya, tapi mendapat SKL ada 22 orang. Selain Sjamsul Nursalim, ada Anthony Salim, Bob Hasan, Sudwikatmono (alm.), Ibrahim Risjad (alm.), dan 17 obligor yang menanda-tangani Akta Pengakuan Utang (APU). Jelas, penerbitan SKL ini sangat merugikan negara. Lebih jauh, sangat terbuka untuk terjadinya praktik kolusi, pada sebelum dan sesudah SKL itu diterbitkan.

Sebenarnya, persoalan terkait BPPN bukan hanya tentang penerbitan SKL yang aneh, tapi juga rata-rata recovery rate penjualan aset-aset BPPN yang hanya 28,75% dari nilai par (ketika aset-aset itu disetorkan ke BPPN). Total aset yang disetorkan ke ke BPPN nilainya (dianggap) Rp 650 triliun.

Pada akhir masa kerja BPPN, February 2004, Menko Perekonomian Dorojatun Kuntjoro Jakti dan Menko Polhukam Susilo Bambang Yudhoyono, mengumumkan di Istana bahwa recovery rate penjualan aset-aset BPPN adalah 28,75%.

Recovery rate 28,75% itu, adalah rata-rata prosentasenya saja, bukan bukan rata-rata nilai jual kembali aset-aset itu, terhadap nilai total aset BPPN sesuai dengan nilai yang disetorkan oleh pemilik para obligor. Misalnya, ada tiga item aset BPPN: aset A nilainya Rp2 triliun dijual 20% hasilnya Rp400 miliar. Aset B nilainya Rp20 miliar dijual 90% hasilnya Rp18 miliar. Aset C nilainya Rp500 miliar dijual 40% hasilnya Rp200 miliar.

Jadi rata-rata recovery rate dari tiga aset itu adalah 20% + 90% + 40% = 150% : 3 = 50%. Padahal, total nilai dari ketiga aset itu Rp 2,42 triliun, dijual seharga Rp 618 miliar, real recovery rate-nya hanya 25,53%! Geblekly, sebagian besar aset-aset BPPN itu dibeli oleh pemilik sebelumnya, para obligor dengan menggunakan perusahaan proxy atau pihak ketiga.

Setelah mengetahui hal itu, sulit bagi kita untuk tidak berpikir bahwa hal itu bisa terjadi karena ada kerja sama antara pemilik lama (dan kaki-tangannya) dengan oknum pejabat BPPN. Kita juga sulit untuk berpikir polos bahwa kerja sama itu bisa terjadi tanpa back up dari para oknum perwira tinggi.

Sesuai namanya, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), untuk mengganti aset-aset perbankan yang macet, BPPN menerbitkan oblikasi rekapitalisasi perbankan yang jumlahnya sekitar Rp650 triliun. Tapi dengan menerbitkan obligasi rekap, pemerintah berkewajiban membayar bunga obligasi itu yang sangat memberatkan APBN.

Dari mana sumbernya untuk membayar bunga obligasi rekap itu? Dari hasil penjualan aset-aset BPPN yang recovery rate-nya hanya 28,75% itu. Pasti gak bakalan cukup. Makanya jadi beban APBN dalam waktu yang sangat panjang.

Ketika menjabat Dirut Bank Danamon, Arwin Rasyid bercerita, dia resign dari BPPN sebagai Wakil Ketua, karena akal dan nuraninya tidak bisa menerima cara kerja BPPN. “Aset dijual untuk menutupi bunga obligasi rekap yang disuntikan ke bank-bank yang kolap atau dikolapkan. Jadi, pokok dijual untuk menutupi bunga. Ini gak bener!” katanya.

Ngenes sekali memang nasib negeri ini, dirampok habis-habisan oleh bangsanya sendiri dalam satu skenario yang dibuah ‘legal’ dan difasilitasi oleh para oknum penyelenggara negara. Betapa banyak di negeri ini orang yang tidak merasa rikuh, makan dan memberi makan keluarganya dengan duit yang tidak pasti kehalalan cara mendapatkannya. Saat ini banyak obligor pasien BPPN yang justru makin berjaya.

Pak Presiden Joko Widodo, saya yakin di masa pemerintahan Bapak sekarang ini, KPK terbebas dari intervensi apapun untuk mengusut kasus BLBI hingga tuntas. Bahwa di antara orang-orang yang terlibat dalam persekongkolan jahat itu kini ada yang menjadi orang di sekitar Bapak, biarkan pedang keadilan menebasnya. Karena pada hakikatnya, hukum memberikan apa yang seharusnya diberikan.

Kalau kemudian mereka, gerombolan penjerah negara dan kawan-kawannya itu marah, lalu melawan, rakyat bersama Bapak. Saya yakin TNI dan Polri pun begitu. Siapapun yang mati dalam memberantas korupsi, sejatinya ia mati dalam kehormatan dan kemualiaan. Semesta dan Tuhan akan mengingatnya sebagai bahadur kebenaran dan keadilan.

***