NKRI Bersyariah atau Ruang Publik yang Manusiawi?

Soal fondasi bangsa selesai sudah. Sekali Pancasila tetaplah Pancasila karena fondasi itu sudah memadai mengantar indonesia menggapai ruang publik yang manusiawi.

Kamis, 22 Agustus 2019 | 06:10 WIB
0
339
NKRI Bersyariah atau Ruang Publik yang Manusiawi?
Ilustrasi NKRI (Foto: Media Indonesia)

Bagaimana sikap kita atas NKRI Bersyariah yang berulang ulang diperjuangkan oleh Habib Rizieq? Ketika ia mendukung capres Prabowo, tahun 2018, sekali lagi Habib Rizieq menyatakan perlunya NKRI Bersyariah.

Ketika memulai aksi 212 tahun 2016, isu NKRI Bersyariah sudah digaungkannya. Setahun kemudian, dalam Reuni 212 tahun 2017, perlunya Indonesia menjadi NKRI Bersyariah kembali diperkuatnya.

Bagaimana sikap kita atas seruan NKRI Bersyariah itu? Yang jelas, Habib Rizeq perlu mendetailkan proposalnya dalam dua tahap lagi.

Tahap pertama, Ia perlu mengoperasionalkan apa yang dimaksudnya dengan NKRI Bersyariah itu. Sangat perlu ia turunkan dan ia terjemahkan nilai besyariah itu dalam index yang terukur. Sehingga konsep NKRI Bersyariah itu tak hanya menjadi list harapan harus itu dan  harus ini, bukan itu dan bukan ini.

Tahap Kedua, setelah menjadi index yang terukur, ia uji indeks itu dengan melihat dunia berdasarkan data. Dari semua negara yang ada di dunia, negara mana yang bisa dijadikan referensi yang paling tinggi skor indeks Negara Bersyariah (perluasan dari NKRI Bersyariah).

Setelah dua tahap itu ia selesaikan, kita bisa merespon gagasan NKRI bersyariah itu lebih rinci. Proposal NKRI Bersyariah itu menjadi  konsep yang serius, yang bisa diuji secara akademik hanya setelah melewati dua tahap itu.

Sebuah lembaga riset sudah bergerak lebih jauh. Lembaga itu bernama Yayasan Islamicity Index. Ia dipimpin oleh kalangan sarjana tingkat Ph.D bidang ekonomi, bidang keuangan, di samping yang ahli AlQuran.

Lembaga itu dikendalikan antara lain oleh PhD bidang ekonomi (Hossein Askari), finance specialist (Hossein Mohammadkhan), PhD dalam Islamic Economics/Finance (Liza Mydin), web specialist (Mostafa Omidi). Dalam Web resmi lembaga ini, mereka memang meniatkan ingin melembagakan ruang publik sesuai dengan arahan kitab suci Quran.

Mereka menurunkan aneka nilai yang diperjuangkan dan direkomendasikan AlQuran dalam sebuah indeks. Termasuk di dalamnya nilai seperti keadilan, kemakmuran, pemerintahan yang bersih, penghormatan pada manusia.

Cukup kompleks, aneka indeks itu ia  masukkan ke dalam empat kategori: Economic Islamicity, Legal and Governance, Human and Political Rights, dan International Relation Islamicity Index.

Tim ini merumuskan nilai AlQuran hanya pada sisi hubungan sosial saja. Sementara hubungan individu pada Tuhannya, seperti prinsip Tauhid dan akidah tidak diukur. Hal ini dilakukan agar nilai sosial Islami itu dapat pula diukur dalam masyarakat yang tidak secara resmi memeluk Islam.

Di tahun 2017, setelah indeks Islamicity resmi dibuat, mereka pun mencari data negara di seluruh dunia. Negara manakah yang paling tinggi skor index Islamicitynya: yang bersih pemerintahan, ketimpangan ekonomi kecil, tinggi penghormatan pada hak asasi.

Dua tahap yang saya tuliskan di awal telah dipenuhi oleh Yayasan yang mengajukan Islamicity Index.

Temuan lembaga ini menarik. Ternyata Top 10 negara yang paling islami, yang paling tinggi skor Islamicitynya adalah negara di Barat. Di tahun 2017, negara itu antara lain: Selandia Baru, Netherland, Swedia, Irlandia, Switzerland, Denmark, Kanada, Australia.

Sedangkan negara yang mayoritasnya Muslim justru skor Islamicitynya biasa saja dan cenderung rendah. Misalnya: Malaysia (rangking 43), United Arab Emirat (rangking 47), Indonesia (rangking 74), dan Saudi Arabia (rangking 88).

Kesimpulan riset menohok: masyarakat yang mempraktekkan nilai-nilai sosial yang islami, yang dianjurkan Al Quran justru terjadi di negara Barat.

Banyak negara yang bahkan berlabel negara Islam tidak berhasil menggapai rangking teratas dalam mempraktekkan nilai yang islami.

Yang mana yang lebih kita pentingkan? Label? Atau substansi? Label Islam atau praktek nilai Islami?

PBB, lembaga dunia untuk semua negara (Persatuan Bangsa Bangsa) mengembangkan indexnya sendiri untuk menguji kemajuan sebuah bangsa. Mereka membentuk khusus lembaga bernama UN Sustainable Development Solution Network (SDSN).

PBB beranggapan kemajuan sebuah negara tak bisa diukur hanya oleh kemajuan ekonomi semata. Yang utama, negara harus mampu membuat warga negara merasa bahagia.

Untuk bahagia, tak hanya kebutuhan dasarnya tercukupi, tak hanya pertumbuhan ekonomi dan pendidikan. Namun tercipta pula ruang sosial yang penuh dengan trust, tolong menolong, dengan pemerintahan yang bersih dan kompeten.

SDSN menamakannya World Happiness Index. Aneka list mengenai prinsip manusiawi dirumuskan  dalam index yang terukur. Lalu aneka negara di seluruh dunia diuji dengan data terukur. Dua tahap yang kita tuliskan di awal juga sudah dilakukan oleh SDSN.

Apa hasilnya? Top 10 negara yang paling tinggi skor Happiness Index tak banyak beda dengan Islamicity Index. Top 10 itu di tahun 2018 adalah negara: Finlandia, Norwegia, Denmark, Iceland, Switzerlands, Netherland, Canada, Selandia Baru, Australia.

Negara yang mayoritasnya Muslim berada di level tengah: United Arab Emirat (20), Malaysia (35), Indonesia berada di bawah top 50.

Pertanyaannya mengapa hasil Islamicity Index berdasarkan arahan kitab suci Alquran hasilnya tak banyak beda dengan World Happiness Index.

Pada dasarnya nilai terbaik dari agama Islam, sebagaimana agama lain, jika diuniversalkan, itu sama dengan aneka nilai manusiawi yang dirumuskan oleh peradaban  mutakhir.

Nilai yang Islami itu ternyata juga nilai  yang manusiawi.  Itulah ruang publik yang universal yang bisa dinikmati semua manusia, apapun agama dan keyakinannya.

Semua negara modern pada dasarnya mencoba menggapai Ruang Publik yang manusiawi.

Bagaimana dengan akidah Islam dalam Ruang Publik Manusiawi itu? Baik dalam Islamicity Index ataupun World Happiness Index, hak beragama sesuai dengan keyakinan setiap individu warga negara dijunjung sangat tinggi. Itu adalah hak asasi yang paling dasar.

Negara tak boleh mengintervensi dan menghalangi pelaksaan akidah warga negara. Yang dilarang hanya jika ada upaya pemaksaan kehendak dan penyeragaman tafsir dengan kekerasan.

Pancasila bahkan potensial lebih ekstra memberi perhatian lebih terhadap agama. Kita mengembangkan kementerian agama secara khusus. Negara demokrasi yang lain tidak memilikinya.

Para pendiri bangsa, the founding fathers, sudah benar ketika mereka merumuskan fondasi bagsa. Dalam list pendiri bangsa juga terdapat tokoh Muslim seperti Wahid Hasyim, putra dari pendiri NU. Juga Mohammad Hatta yang pengetahuan keislaman dan integritas pribadinya sangat dipuji.

Apa yang pendiri bangsa rumuskan sebagai fondasi bangsa? Itu adalah Pancasila, bukan NKRI Bersyariah!

Karena itu teruslah kita gapai ruang publik yang manusiawi. Dunia sudah terbang menuju revolusi industri ke empat. Dunia sudah mengembangkan artificial inteligence, robot yang bisa berpikir, menciptakan lagu dan mengganti banyak sekali pekerjaan manusia. Fokus ke sana!

Soal fondasi bangsa selesai sudah. Sekali Pancasila tetaplah Pancasila karena fondasi itu sudah memadai mengantar indonesia menggapai ruang publik yang manusiawi.

***