Membaca Arah Catatan FB Luhut Binsar Panjaitan

Ziarahnya ke pusara Benny itu hanya untuk wadul dan pamit bahwa tidak lama lagi Luhut sudah bukan “siapa-siapa” lagi, jika rekonsiliasi Joko Widodo dengan Prabowo Subianto terjadi!

Senin, 22 Juli 2019 | 16:12 WIB
0
833
Membaca Arah Catatan FB Luhut Binsar Panjaitan
Luhut Binsar Panjaitan berziarah ke pusara Jenderal TNI (Purn) LB Moerdani. (Foto: FB Luhut Binsar Panjaitan).

Pada Senin (22/7/2019), Jenderal TNI (Purn) Luhut Binsar Panjaitan menulis catatan di laman Facebook-nya. Menko Bidang Kemaritiman yang sering disebut sebagai "The Real President" RI ini menulis kenangannya bersama LB Moerdani.

Tiba-tiba Saya Teringat Pak Benny.

Suatu sore, saya tiba-tiba teringat kepada almarhum Jenderal TNI (Purn) Leonardus Benyamin (Benny) Moerdani, salah satu jenderal tempur TNI yang saya kagumi. Saya memang sudah beberapa waktu tidak berziarah ke makamnya.

Saya pada suatu pagi minggu lalu memutuskan untuk berziarah ke Taman Makam Pahlawan (TMP) Nasional Kalibata. Di pusara beliau saya memberi hormat penuh lalu mendoakan agar arwahnya diterima di sisi-Nya sesuai dengan amal jasanya sewaktu masih hidup.

Kemudian saya sentuh batu nisannya. Saya baca tulisan di nisan itu, beliau meninggal pada 29 Agustus 2004, setelah dirawat beberapa waktu di RSPAD Gatot Soebroto. Usianya 72 tahun. Relatif masih muda.

Beberapa lama saya pandang pusaranya yang sederhana, sesederhana ribuan pusara lain di TMP Kalibata yang seolah mengisyaratkan bahwa bila wafat, hanya gundukan tanah seluas 1 x 2 meter itulah yang tersisa.

Betapa pun kayanya seseorang, betapa berkuasanya sewaktu masih sehidup; hanya tanah itu yang menandakan bahwa ada sesosok manusia yang pernah hidup di dunia.

Almarhum Pak Benny saya kagumi sejak saya masih perwira menengah TNI-AD. Saya mulai kenal beliau sejak saya berpangkat Mayor, sebelum saya bersama Kapten Inf. Prabowo Subianto dikirim untuk belajar mengenai pasukan anti-teror di GSG-9 di Jerman Barat.

Meski waktu itu Pak Benny berpangkat Letjen dan menjabat Asintel Hankam/ABRI, dari waktu ke waktu ia selalu minta saya berikan laporan kemajuan sekolah kami. Ia tidak malu menelepon saya dan mengajukan pertanyaan yang mendetail.

Setelah pulang dan saya mulai memimpin pasukan anti-teror pertama di Indonesia yaitu Detasemen 81 (Den-81), saya sering dipanggil menghadap Pak Benny di kantornya di Jalan Sahardjo (sekarang lokasinya menjadi Balai Prajurit TNI), entah menanyakan pelatihan pasukan yang baru itu, atau lain-lain.

Dari situ saya mendapat kesan khusus mengenai betapa ia memiliki karakter yang sangat kuat. Auranya memancarkan wibawa ditambah dengan wajahnya yang keras dan jarang tersenyum.

Saya kagum bahwa loyalitas kepada pimpinan negara dan NKRI tidak perlu dipertanyakan lagi. Setiap kata atau tindakannya mencerminkan, menurut istilah masa kini, kesetiaan yang tegak lurus ke atas.

Suatu hari sebelum saya mendapat penugasan memimpin operasi khusus mengamanan Presiden Soeharto dalam KTT ASEAN di kota Manila, Filipina, Pak Benny yang sudah jadi Panglima ABRI mengatakan dengan dingin.

“Luhut, sejak dua atau tiga tahun lalu, sudah banyak yang antri untuk menggantikan saya, tetapi orang ini (sambil menunjuk foto Pak Harto di dinding) kalau terjadi sesuatu pada dirinya…Republi k itu menjadi kacau…!” ujarnya dengan tegas.

Kemudian,“Jadi Luhut, taruhan keselamatan Pak Harto adalah lehermu..!” Sebagai perwira saya cuma menjawab, “Siap! Laksanakan!”

Akibat sering dipanggil ke kantornya, lama-kelamaan saya jadi risih. Kebanggaan dipanggil oleh Panglima ABRI mengecil, karena pasti banyak yang tahu, dan banyak pula senior saya yang tidak senang, mungkin juga jadi iri, seorang perwira menengah dipanggil oleh jenderal bintang empat berjam-jam.

Suatu hari ketika mood Pak Benny sedang bagus, saya beranikan diri bertanya, “Pak, mohon izin, lain kali kalau memanggil saya bisa kah melalui atasan saya?”Saya curi pandang wajahnya, dan mukanya lalu mengeras. Kedua tangannya mulai menyapu-nyapu mejanya, dan saya menyesal koq berani-berani membuat beliau marah.

Tapi nasi sudah jadi bubur, saya pasrah. “Luhut!”katanya dengan nada dalam. “Saya jenderal bintang empat…!”sambil menunjukkan tanda pangkatnya di bahu “... dan kamu Letkol…!”Itu saja, dan saya sudah mengerti maksudnya. “Siap!” jawab saya.

Sejak itu saya tidak pernah berani menanyakan lagi soal itu. Beberapa tahun kemudian ketika Pak Benny pensiun, saya menerima konsekuensi karena jadi golden boys Pak Benny. Tapi saya terima itu dengan besar hati.

Tidak jadi Danjen Kopassus, tidak jadi Kasdam atau Pangdam; bagi saya itu harus bayar sebagai akibat kesetiaan yang tegak lurus. Dan saya bangga mampu menjalankan nilai-nilai yang diturunkan oleh Pak Benny kepada saya.

Beberapa tahun kemudian, Pak Benny sudah tidak punya power lagi, kecuali jabatan sebagai Menteri Hankam yang “tak bergigi”, saya berpangkat Kolonel dan baru pulang dari pendidikan di NDU di Washington DC.

Saya datangi kantor beliau, dan menanyakan kepada Pak Benny, rumor yang beredar di luar bahwa beliau sudah “jauh” dari Pak Harto. “Benar itu Luhut..!” katanya terus terang.

Ia menjelaskan bahwa Presiden Soeharto marah kepadanya, ketika dengan cara halus mencoba mengingatkan bisnis yang dijalankan oleh putera-puteriny a yang sudah kelewat batas di meja bilyar;

Pak Harto lalu tiba-tiba meletakkan stik bilyar dan masuk kamar. Sejak itu, Benny Moerdani tidak pernah dekat dengan Presidennya. “Tetapi asal kamu tahu ya Luhut. Apapun sikap beliau, saya tidak pernah kehilangan kesetiaan saya kepadanya…!”

Saya ingat suatu hari tahun 1983, ketika hampir terjadi krisis keamanan yang melibatkan Prabowo, saya menyampaikan kasus itu kepada Menhankam/ Pangab (waktu itu) Jenderal M. Jusuf yang juga saya kagumi.

Beliau berkata pendek, “Luhut, saya percaya kesetiaan Benny, saya tidak ragukan dia…! Karena Pangab sudah memutuskan, maka permasalahan sensitif tersebut selesai dengan sendirinya.

Banyak pelajaraan mengenai kepemimpinan dan kemiliteran yang saya pelajari dari beliau. Dan saya akui, karena pengaruh Pak Benny itulah yang membuat saya tertarik pada masalah-masalah intelijen, diantaranya dalam memelihara jaringan (networking) dengan berbagai tokoh di dunia.

Beliau mempunyai buku alamat kecil yang sudah lusuh karena penuh dengan nama-nama tokoh penting dan nomor telepon hot-line yang ia bisa hubungi 24 jam sehari.

Kenangan manis bersama Jenderal Benny Moerdani saya tuangkan dalam biografi saya nanti. Untuk sementara saya hanya bisa katakan, Rest in Peace Jenderal Benny! Hingga hari ini saya tidak mengecewakan harapan bapak!

Luhut adalah seorang pengagum Benny Moerdani sebagai jenderal tempur yang meninggal dalam usia relatif masih muda, 72 tahun. Luhut mengenal Benny sejak berpangkat Mayor. Sebelum bersama Kapten Inf. Prabowo Subianto dikirim ke Jerman Barat.

"Kontradiksi Prabowo"

Di sini Luhut mencoba mengingatkan bahwa ia lebih senior daripada Prabowo. Penyebutan pangkat adalah indikasi kesenioran tersebut. Saat itu Benny masih berpangkat Letjen dan menjabat Asintel Hankam/ABRI dengan Menhankam/Pangab Jenderal TNI M. Yusuf.

Luhut adalah pemimpin pasukan anti-teror pertama di Indonesia, yaitu Detasemen 81 (Den-81), yang sering dipanggil menghadap Benny di kantornya. Ia menggambarkan betapa Benny memiliki karakter yang sangat kuat dengan pancaran wibawanya.

Ia kagum pada loyalitas Benny kepada pimpinan Negara dan NKRI. Kesetiaan yang tegak lurus. “Luhut, sejak dua atau tiga tahu lalu, sudah banyak yang antri untuk menggantikan saya, tetapi orang ini (Pak Harto) kalau terjadi sesuatu pada dirinya... Republik itu menjadi kacau....”

Begitu pesan Benny kepada Luhut yang memimpin Opsus mengamankan Presiden Soeharto dalam KTT ASEAN di Kota Manila, Filipina. Saat itu Benny sudah menjadi Panglima ABRI, “Jadi Luhut, taruhan keselamatan Pak Harto adalah lehermu..!”

Sebagai perwira, Luhut cuma menjawab, “Siap! Laksanakan!” Akibat sering dipanggil Benny ke kantornya, Luhut menjadi risih. Karena pasti banyak yang tahu, dan banyak pula seniornya yang tidak senang, mungkin juga menjadi iri.

Di sini Luhut sudah berprasangka seniornya merasa tidak senang dan iri. Seorang perwira menengah dipanggil oleh jenderal bintang empat berjam-jam. Ketika Benny pensiun, Luhut menerima konsekuensi karena jadi golden boys Benny.

Luhut terima itu dengan besar hati. Tidak jadi Danjen Kopassus, tidak jadi Kasdam atau Pangdam; baginya itu harus dibayar sebagai akibat kesetiaan yang tegak lurus. “Dan saya bangga mampu menjalankan nilai-nilai yang diturunkan oleh Pak Benny kepada saya.”

Saat Benny tidak punya power lagi, kecuali jabatan sebagai Menteri Hankam yang “tidak bergigi”, Luhut sempat menanyakan perihal rumor yang terembus di luar. Sayangnya Luhut tidak mau menyebut apa rumor itu.

“Saya ingat suatu hari tahun 1983, ketika hampir terjadi krisis keamanan yang melibatkan Prabowo, saya menyampaikan kasus itu kepada Menhankam/Pangab (waktu itu) Jenderal M. Jusuf yang juga saya kagumi,” tulisnya.

Beliau berkata pendek, “Luhut, saya percaya kesetiaan Benny, saya tidak ragukan dia…! Karena Pangab sudah memutuskan, maka permasalahan sensitif tersebut selesai dengan sendirinya.

Di sini jelas sekali, Luhut mencoba membuka “luka lama” terkait Prabowo. Sayangnya, sekali lagi, Luhut tak mau menyebut “krisis keamanan” apa yang melibatkan Prabowo. Seolah Luhut ingin mengatakan, Prabowo itu “bermasalah”.

Mengapa Luhut ungkit dan menyebut, krisis keamanan yang “melibatkan” Prabowo? Krisis keamanan apakah yang dimaksudnya? Luhut seakan mengingatkan rakyat agar hati-hati kalau Prabowo jadi pemimpin. Inikah cara dendam Luhut?  

Dan, ziarahnya ke pusara Benny itu hanya untuk wadul dan pamit bahwa tidak lama lagi Luhut sudah bukan “siapa-siapa” lagi, jika rekonsiliasi Joko Widodo dengan Prabowo Subianto terjadi!

***