Kepemilikan Ratusan Ribu Hektar Lahan dan 3 Paradoks

Kamis, 21 Februari 2019 | 11:46 WIB
0
471
Kepemilikan Ratusan Ribu Hektar Lahan dan 3 Paradoks
Paradoks Indonesia (Foto: Journal Social Society)

"Saya tahu Pak Prabowo memiliki lahan yang sangat luas di Kalimantan Timur sebesar 220.000 hektar juga di Aceh Tengah 120.000 hektar," ucap Jokowi saat tampil dalam debat kedua Pilpres 2019 yang dihelat pada 17 Februari 2019 (Sumber: Kompas.com).

Sontak, pernyataan calon presiden nomor urut 01 yang menyinggung ratusan ribu hektar lahan yang dikuasai oleh Prabowo Subianto tersebut menuai polemik. Jokowi yang juga capres petahana ini dituding melancarkan serangan ke ranah pribadi pesainganya.

Seperti dalam artikel “Serang Jokowi dengan 3 Tuduhan Ini, BPN Prabowo Blunder dan Permalukan Capresnya”, tuduhan terhadap Jokowi tersebut salah besar. Bahkan dari tiga tudingan yang diarahkan Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga Uno, satu di antaranya justru mempermalukan Prabowo sendiri.

Pernyataan Jokowi tersebut bukan omong kosong apalagi tuduhan ngawur tanpa bukti seperti yang kerak kali dilontarkan oleh pendukung Prabowo. Terbukti, dalam debat kemari Prabowo mengakui bila dirinya memang benar-benar memiliki tanah tersebut dengan status Hak Guna Usaha (HGU).

Tetapi, di luar polemik tentang pernyataan Jokowi tersebut, sebenarnya terdapat satu sisi yang sayang jika dilewatkan begitu saja. Sisi itu adalah keparadoksan Prabowo dalam soal penguasaan lahan.

Saat berpidato dalam kampanye pasangan cagub-cawagub Jawa Barat, Sudrajat-Saikhu di Depok Jawa Barat, pada 1 April 2018, Prabowo sebagai Ketua Umum Partai Gerindra menyatakan adanya kesenjangan ekonomi antara penduduk miskin dan kaya semakin melebar di Indonesia.

Ketika itu Prabowo mengatakan indikator ketimpangan terbaca dalam distribusi penguasaan tanah di Indonesia yang menurutnya belum merata dan hanya dikuasai segelintir elite.

"Segelintir orang menguasai hampir separuh kekayaan kita. Apalagi soal tanah, 1 persen populasi yaitu konglomerat menguasai 80 persen tanah kita," kata Prabowo sebagaimana dikutip oleh CNNIndonesia.com.

Jelas sekali, pernyataan tegas sekaligus keras yang dilontarkan oleh Prabowo ketika itu sangat bertolak belakang dengan penguasaan lahan oleh Prabowo sebagaimana yang diungkap Jokowi saat debat kedua Pilpres 2019 beberapa waktu yang lalu.

Prabowo mengritik soal penguasaan 80 persen lahan oleh 1 persen konglomerat. Padahal, dengan hahan seluas ratusan ribu hektar yang dikuasainya, Prabowo menjadi bagian dari 1 persen konglomerat yang menguasai 80 persen luas lahan. Dengan demikian, sosok Prabowo Subianto adalah sebuah paradoks.

Menariknya, keparadoksan Prabowo bukan hanya dalam soal penguasaan lahan. Jika menelusuri pemberitaan setangah tahun terakhir, sedikitnya ada tiga keparadoksan Prabowo lainnya yang menarik untuk diketahui.

Pada 16 Agustus 2018 atau tujuh hari setelah mendeklarasikan dirinya maju dalam kontestasi Pilpres 2019, Prabowo mendapat KartuNU atau kartu anggota Nahdlatul Ulama). Kartu tersebut didapatkan langsung  dari Ketum PBNU Said Aqil Siraj. Ketika itu mantan Danjen Kopassus itu mengungkapkan jika pemberian KartuNU merupakan kehormatan baginya.

"Kehormatan bagi saya, sudah berapa saat sebetulnya saya mengajukan, karena merasa dekat dengan NU," kata Prabowo ketika itu (Sumber: Detik.com).

Dalam pernyataannya sangat jelas terbaca bila Prabowo mendapat kehormatan dan merasa dekat dengan NU.

Dengan KartuNU di tangannya, Prabowo bukan saja secara sah menjadi anggota NU, tetapi juga memiliki posisi yang lebih tinggi dari Mahfud MD yang tidak memiliki KartuNU.

Tetapi, faktanya, Prabowo memilih bungkam saat Fadli Zon yang diketahui sebagai orang terdekatnya melontarkan hinaan terhadap Kyai Maimun Zubair atau yang lebih dikenal dengan Mbah Moen. Bahkan masih bersikukuh diam seribu kata meski sejumlah santri NU di beberapa daerah mengecap penghinaan atas Mbah Moen yang dilakukan Fadli lewat puisi “Doa yang Tertukar”.

Keanggtoaan NU yang dimiliki Prabowo dan bungkamnya Prabowo atas hinaan Fadli terhadap Mbah Moem merupakan sebuah paradoks. Dan, keparadoksan ini lebih nyata lagi bila memosisikan Prabowo yang terkesan lebih memilih berdekatan dengan kelompok-kelompok anti-NU ketimbang NU itu sendiri.

Bungkamnya Prabowo atas puisi “Doa yang Tertukar” bisa disebut sebagai  bukti dari pilihan Prabowo untuk lebih dekat dengan kelompok-kelompok anti-NU ketimbang NU di mana Prabowo menjadi anggotanya..  

Kedekatan Prabowo dengan kelompok-kelompok anti-NU yang dikenal radikal ini juga merupakan paradoks Prabowo lainnya.

Jika dicermati, "lingkungan" Prabowo dan Gerindra sangat majemuk. Kemajemukan tersebut ditandai dengan perbedaan latar belakang agama kader-kadernya. Ada kader Gerindra yang beragama Islam, baik itu Sunni maupun Syiah, Ada kader yang memeluk Kristen. Ada penganut Katolik, Ada yang Hindu. Ada yang Budha. Bahkan, mugkin ada juga yang memeluk Yahudi sebagai agamanya.

Sementara kelompok-kelompok Islam pendukung Prabowo relatif homogen. Bahkan, sebagaian dari kelompok ini dikenal gemar melontarkan kata "kafir" kepada siapa saja yang dianggap berbeda, bahkan kepada penganut Islam sendiri.

Orang-orang di sekitar Prabowo pun sepertinya tidak begitu nyaman berdekatan dengan kelompok-kelompok ini. Bahkan di mata Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra Hashim Djojohadikusumo, PKS pun sudah dinilai sebagai kelompok radikal.

Penilaian ini terbaca saat adik kandung Prabowo tersebut menjawab pertanyaan salah satu peserta forum soal radikalisme di Indonesia dalam forum USINDO Washington Special Open Forum Luncheon pada 17 Juli 2013.

"Saya beri satu contoh. Di Kementerian Pertanian, yang dikuasai PKS. 73 PNS beragama Kristen sudah dipecat dalam sembilan tahun terakhir dan belum ada penggantinya. Bahkan sekarang ini tidak ada lagi PNS beragama Kristen di Kementerian Pertanian. Itu pasti berarti sesuatu kan? Jika ini dibiarkan. Anda paham maksudnya kan?" kata Hashim yang dalam forum itu juga menegaskan jika Prabowo pro Amerika Serikat (Sumber: Merdeka.com).

Gerindra yang dibentuk, dipimpin, serta dibina Prabowo menilai PKS sebagai partai radikal. Ironisnya, sejak Pilpres 2014 sampai detik ini, Prabowo memilih berkoalisi dengan PKS. Kedekatan Prabowo dengan PKS merupakan paradoks Prabowo lainnya.

Kata “paradoks” yang dikaitkan dengan nama Prabowo Subianto menjadi populer sejak Prabowo meluncurkan buku “Paradoks Indonesia” pada awal 2017. Buku yang ditulis oleh Prabowo itu berisikan kejanggalan yang ada di Indonesia.

Negara kita kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Tetapi, dengan kekayaan yang dimilikinya, sampai saat ini masih banyak rakyat Indonesia yang hidup miskin. Begitu kira-kira kejanggalan yang dimaksud dalam buku yang juga diterbitkan dengan huruf braile tersebut.

Buku “Paradoks Indonesia” ini menjadi paradoks bagi penulisnya sendiri lantaran kekayaan sumber daya alam Indonesia, termasuk keluasan tanahnya, hanya dimiliki oleh segelintir orang. Dan dari segelintir orang tersebut, Prabowo termasuk salah seorang yang menguasai HGU seluas ratusan ribu hektar.

Lebih paradoks lagi, buku yang berdatakan tahun 2015 ke bawah tersebut dianggap sebagai kritik terhadap Jokowi yang baru mengawali masa pemerintahannya pada 20 Oktober 2014.

Sebenarnya, masih ada sederetan keparadoksan Prabowo lainnya. Namun keempat paradoks terkait Prabowo di atas sudah cukup untuk menyebut Prabowo sebagai sosok penuh keparadoksan.

 

***