Pemilu 2019 Beda Pilihan Tetap  Damai,  Kenapa Tidak?

Senin, 25 Februari 2019 | 05:42 WIB
0
478
Pemilu 2019 Beda Pilihan Tetap  Damai,  Kenapa Tidak?
Deklarasi penulis untuk pemilu damai yang melibatkan 30 penulis dengan pembicara Zulfikar Akbar, Eli Salomo, dan Pepih Nugraha (pepnews)

Judul lagu lawas penyanyi senior Krisdayanti, agaknya cukup mewakili hari-hari yang semakin mendekati gelaran pesta demokrasi Indonesia.  Menghitung hari. Detik demi detik. Itu yang terasa jika melihat kalender menjelang pemilihan umum tahun 2019.

Tempelan stiker pemilu yang ditempelkan di kaca depan rumah oleh petugas pemutakhiran data pemilu, seakan menegaskan  nama-nama anggota keluarga yang akan  menjadi  peserta pemilu.  

“Kalau pilihan kita beda, nggak apa-apa ya?” sayup terdengar dialog ibu dan anak dalam iklan ajakan datang ke TPS untuk pemilu, dari radio yang dinyalakan.  Berbeda pilihan. Itu yang tertangkap langsung di telinga.

Jelas, beda pilihan sudah pasti akan terjadi. Tidak hanya antara teman, atasan dan karyawan, hingga relasi bisnis. Beda pilihan di dalam anggota keluarga saat pelaksanaan pemilihan umum, bahkan tidak mungkin bisa dihindari.

Serentaknya Pemilu 2019

Mendengar  pemilu serentak, awalnya agak bertanya-tanya.  Inilah pemilu yang pertama kalinya diadakan oleh Indonesia pada 17 April 2019, yang menggelar pemilihan legislatif disekaliguskan pemilihan presiden dalam satu hari pelaksanaan. 

Suatu hal yang luar biasa karena setiap masyarakat  akan mendapatkan lima surat suara sekaligus, yakni untuk pemilihan anggota DPR, DPRD tingkat I, DPRD tingkat II, dan DPD,serta pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.  

Sedikit beruntung yang di Jakarta karena tidak ada DPRD Tingkat II sehingga akan mendapatkan surat suara yang jumlahnya hanya empat. Selebihnya sama, ada anggota calon legislatif, capres serta cawapres yang harus dipilih.

Jelas pemilihan umum tahun 2019 ini akan memberi rasa dan pengalaman yang berbeda  dibandingkan pemilu-pemilu tahun sebelumnya. Meskipun pastinya setiap pemilu memiliki cerita yang bisa disampaikan saat mengalaminya sendiri. Mulai dari pemilu pertama tahun 1955, pemilu zaman orde baru, hingga pemilu zaman reformasi.

Dalam pemilu 2019, selain ada partai lama yang menjadi peserta pemilu, ada partai baru yang menjadi peserta pemilu. Ada partai yang sebelumnya tidak lolos akhirnya bisa jadi peserta pemilu setelah mengajukan gugatan ke Bawaslu dan memperoleh putusan PTUN.

Dari segi pemilu legislatif, dengan adanya 16 partai politik nasional dan 4 partai politik lokal di Aceh peserta Pemilu 2019, sudah pasti tahun pemilu ini akan lebih berwarna. Pemilu 2019 juga unik karena dalam pemilu kali ini, ada nama calon anggota  legislatif yang pernah tersangkut kasus korupsi dirilis oleh KPU.

Dalam pemilihan calon presiden/wakil presiden, meski hanya diikuti oleh dua pasang calon, yakni petahana Joko Widodo/Ma’ruf Amin dan paslon nomor dua Prabowo Subianto/Sandiaga Uno  malah jauh lebih seru ketimbang pemilu legislatif

Banyaknya jumlah poster calon anggota legislatif  terpampang di jalan-jalan ibukota, seperti Jakarta seakan tak bisa menandingi gencarnya genderang perang dukungan terhadap pasangan capres dan wapres.

Masa kampanye Pemilu 2019 memang cukup panjang, kalau tidak mau menyebutnya lama.  Enam bulan waktu diberikan bagi seluruh peserta pemilu untuk menarik perhatian calon pemilih dengan program dan hasil kerja yang telah dilakukan. Debat calon presiden dan wakil presiden ditayangkan di televisi-televisi nasional.

Kenyataannya, dalam masa kampanye yang dimulai sejak 23 September 2018 dan akan berakhir pada  13 April 2019, memang banyak beredar sekali banyak berita-berita hoaks dan ada yang bernada fitnah. Ini terutama dari pendukung dua calon pasangan presiden.   

“Semoga masa kampanye cepat-cepat selesai,” ujar Ningsih, seorang teman. Dia mengaku lelah dan gerah karena setiap kali membuka timeline media sosial ataupun internet didominasi oleh banyak berita politik.

Perbedaan pendapat  tidak jarang jadi saling menjelekan yang terungkap jelas di kolom komentar sebuah status media sosial. Bahkan memunculkan rasa takut bila tiba-tiba saja menjadi potensi kerusuhan.  

Sejumlah orang yang diduga menjadi penyebar berita hoaks atau ujaran kebencian sudah diganjar hukuman pidana. Sebut saja, salah satunya adalah Ratna Sarumpaet yang berbohong atas penganiayaan yang terjadi di wajahnya.

Tak urung, deklarasi-deklarasi pemilu damai aman, damai, dan sejuk banyak didengungkan.  Mulai dari tingkat nasional hingga tingkat kotamadya dengan menghadirkan tokoh-tokoh lintas agama. Tak ketinggalan, para penulis pun merasa perlu untuk melakukan deklarasi pemilu damai.

Deklarasi penulis untuk pemilu damai, untuk apa?

Deklarasi penulis untuk pemilu damai, lawan intoleran, radikalisme, dan terorisme  diadakan di Hotel Santika Premiere tanggal 17 Februari 2019, tepat dua bulan sebelum pelaksanaan pemilu serentak 17 April 2019.

Untuk apa dilakukan? Tentu saja, lewat bubuhan tanda tangan dan pesan yang tertulis, sebanyak 30 penulis  menyampaikan harapan agar berlangsungnya pemilu damai. Termasuk mengungkapkan kegelisahan terhadap jalannya proses demokrasi yang semakin panas jelang hari H, terutama dari dua kubu capres dan cawapres.

Kebetulan , pada hari yang sama deklarasi penulis untuk pemilu damai dilangsungkan debat capres untuk yang kedua kalinya. Penulis, sebagai pekerja intelektual memang harus menyuarakan agar pemilu 2019  bisa berlangsung secara damai dan aman.

Sebuah deklarasi yang menghadirkan Pepih Nugraha sebagai pendiri Pepnews dan penggagas. Sebagai pembicara dihadirkan Zulfikar Akbar yang mengisahkan pengalamannya mengenai kebebasan berbicara. Ada juga Eli Salomo, tokoh mahasiswa  saat guliran reformasi 1998, yang dikenal dengan Forkot.

Melalui deklarasi penulis untuk pemilu damai, tebaran-tebaran kedamaian melalui tulisan bisa disalurkan kepada pembaca. Isyu intoleransi, radikalisme, dan terorisme dapat diminimalkan.

Perbedaan dalam suatu pesta pemilihan umum tidak bisa dihindarkan atau dihilangkan. Justru disitulah letak kedewasaan dalam berdemokrasi menerima hal-hal yang tidak sama atau tidak sependapat. Belajar untuk mengakui kelebihan dan kekurangan yang mungkin perlu diperbaiki.

Berhasilnya penyelenggaraan-penyelenggaraan pemilu pada tahun sebelumnya bisa diambil menjadi pelajaran. Tentu saja dengan penyesuaian dengan kondisi akan berlangsungnya pemilu tahun 2019 ini yang disemarakkan dengan kecanggihan teknologi.  

Pemilihan umum dengan pilihan berbeda, tapi tetap damai. Bukanlah suatu hal yang tidak mungkin. Pun, dalam kondisi perang kata-kata di media sosial. Satu hal pasti, pemilu tahun 2019 ini lebih asyik karena lebih bisa menyampaikannya dengan lebih rahasia dan sesuai dengan hati nurani.  Pemilu 2019 tetap damai, tapi beda pilihan, kenapa tidak?

***