Orang Baik Mendukung Orang Baik

Minggu, 13 Januari 2019 | 16:37 WIB
1
957
Orang Baik Mendukung Orang Baik
Jokowi di acara Iluni UI (Foto: Radar Nonstop)

Itu saya pikir teks yang paling tepat untuk menunjukkan dukungan yang tulus kita pada Jokowi. Dengan demikian jelas posisi kita, respect kita dan pilihan kita. Saya senang, ketika kita berani menyatakan bahwa Jokowi itu orang baik. Itu bahasa yang sangat sederhana, tapi sangat indah.

Semua jadi tidak penting, ketika kita bisa melihat ada sisi baik dari seseorang. Tentu awalnya karena ada negasi yang jelas, lawan kata yang jelas. Jelas, karena di luar itu bukan sekedar kurang baik. Tapi memang sangat tidak!

Kesadaran itu yang terpenting. Suatu ketika, tanpa sengaja saya mendengar Cak Nun, membuat netralisasi ketika ia bilang Jokowi itu sama baiknya dengan Prabowo. Tolong jangan dibalik! Tentu saya kaget, kenapa ia tiba-tiba beralih pikiran begitu. Baru sekali ini, ia tidak mencela habis Jokowi.

Selama ini, ia selalu memposisikan diri sebagai orang yang mengingatkan bahayanya Indonesia di tangan Jokowi. Selalu berusaha mengulik dan menelisik siapa yang ada di belakang Jokowi. Tapi tak pernah jelas benar menyebut siapa mereka itu.

Typical sekali pembenci yang cari aman. Padahal kalau dikejar terus, dia juga pasti tidak punya jawaban. Sejenis shadow boxing, memukul-mukul bayangan yang memang sebenarnya lebih pada unjuk gaya daripada membeberkan fakta. Dalam bahasa Jawa yang sangat halus disebut "sade ajrih", agak kurang tepat disebut adol wedi (yang lebih cocok untuk orang yang suka menebar ketakutan kepada hantu). Atau kalau bahasa umum disebut jualan rasa takut...

Itulah karakter umum dari pasangan sebelah, mereka akan terus menerus menebar ketakutan, kekhawatiran, dan phobia. Karena hanya dengan ketakutan mereka akan punya peran sebagai pelindung. Sangat ORBA-is sekali!

Tentu kita bisa menjentreng tanpa putus ketakutan-ketakutan itu: mulai Indonesia akan lenyap, bahaya komunisme, ancaman terhadap Islam, infiltrasi China, bla bala bla... Padahal itu dengan satu alinea kalimat saja cukup gampang mementahkannya.

Dan itulah yang merasuk pada para pendukungnya: sangat mudah sekali menyentuh croc brain mereka. Tanpa pandang bulu, ia bisa saja menyentuh seorang dengan pendidikan sangat tinggi, dengan orang dengan skala keimanan yang mereka rasa sangat tinggi. Kenapa bisa, ya karena mereka memang hanya pakai rasa.

Ketika mereka berbicara rasionalitas, mereka akan tampak gagah tapi sebenarnya gagu sekali. Karena itu bagi mereka kumpulan (crowd) menjadi sangat penting, mereka akan terus merasa perlu saling mempengaruhi orang lain dengan berbagai cara. Kehilangan kegembiraan, yang akhirnya kehilangan optimisme. Akan selalu merasa tidak cukup. Rasa syukur mereka jadi palsu sekali.

Itulah teks yang paling sederhana untuk membedakan orang baik dengan yang kurang, tidak atau sama sekali tidak baik. Baik itu masalah cita rasa yang akhirnya mengular menjadi sikap dan perilaku....

Saya senang melihat kegembiraan yang berhasil diciptakan teman-teman Alumni UI di Gelora Bung Karno kemarin. Mereka bisa tertawa bersama, bikin guyonan dengan poster-poster jenaka. Tetap saja norak dengan foto-foto selfie, yang sebenarnya akarnya memang sudah lama tertanam dengan ideologi buku, pesta dan cinta itu.

Mereka sehari kemarin sebenarnya sedang berpesta, selfie itu hanya ungkapan rasa cinta mereka. Yang kelak akan dibukukan dalam memori dalam hati mereka. Kenangan yang akan menyenangkan diceritakan lagi dengan bangga pada anak cucu mereka. Selalu begitu.

Itulah yang saya sebut sebagai cara orang baik mendukung orang baik: dengan kegembiraan yang sederhana! Sehingga ketika, kita membaca komentar-komentar kelompok sebelah, kita bisa jungkir balik ngakak setengah mati. Rasa putus asa yang diungkapkan dengan tulisan atau komentar yang bagi saya justru makin menghibur.

Tak ada sakit hati terhadapnya, tak ada dendam. Bahkan kadang justru jatuh kasihan, dengan berlarut-larutnya mereka membuka mata hati dan batinnya. Melihat orang lain bergembira, kok malah mbesengut!

Lalu mereka ramai-ramai menebar kontra-prestasi bahwa Iluni UI akan mensomasi kegiatan tersebut. Karena dianggap mencatut nama ILUNI. Saya tertawa ngakak, sejak kapan acara tersebut melibatkan ILUNI? Kalau hanya ada kata alumni, lalu ILUNI merasa berhak harus ikut dilibatkan.

Sejauh yang saya lihat, satu-satunya identitas UI yang dipakai di sana hanya warna kuning. Yang hadir juga alumni dari berbagai PTN terbaik se-Indonesia. Kenapa ini bisa terjadi? Karena satu-satunya yang bersisa dalam diri mereka adalah deposito kebencian.

UI, ITB, IPB, UGM, ITS.... Itu juga tidak satu, mereka terbelah dalam banyak segmen dan kelompok. Dan perbedaan itu baik-baik saja.

Sekali lagi yang hadir kemarin itu hanya orang baik, yang bisa siapa saja.

Saya ulangi lagi mereka itu hanya mendeklarasikan apa yang mereka sebut: orang baik mendukung orang baik...

***