Pembubaran massa saat reuni 212 dilakukan karena peserta reuni melanggar protokol kesehatan, yakni tidak jaga jarak dan membuat kerumunan dengan sengaja.
Masyarakat tidak mendukung Reuni 212 yang diadakan pada 2 Desember 2021. Hal itu ditandai dengan sedikitnya massa yang hadir dan adanya surat dari Majelis Az-Zikra yang menolak Masjidnya digunakan sebagai ajang reuni.
Tanggal 2 Desember adalah hari yang istimewa bagi Persaudaraan (PA) 212 karena mereka merayakan ulang tahun dan akhirnya beramai-ramai reuni. Acara ini biasanya dilakukan di kawasan Monas dan mengundang sampai ribuan massa. Akan tetapi sejak awal pihak kepolisian melarang reuni dan tidak memberi izin keramaian karena masih masa pandemi, sehingga reuni yang mengumpulkan banyak orang bisa memicu klaster Corona baru.
Masyarakat mendukung penuh Polri untuk melarang Reuni 212. Selain alasan pandemi, reuni juga tidak ada gunanya. Untuk apa mengumpulkan banyak orang jika tidak ada maksud yang positif? Penyebabnya saat reuni, peserta bukannya bersalaman dan berbahagia, malah memicu kerusuhan dengan pidato yang provokatif dan selalu menghujat pemerintah. Padahal jika saja mereka memegang jabatan belum tentu bisa membuat keputusan yang bijak.
Reuni 212 batal digelar di kawasan Monas karena masih tertutup saat pandemi. Selain itu Wakil Gubernur DKI Jakarta Riza Patria juga dengan tegas tidak menyetujui acara tersebut. Akan tetapi bukannya kapok, massa malah nekat datang ke kawasan patung kuda, Jakarta, dan ada pula yang berencana berkumpul di Bogor, tepatnya di Pesantren Az-Zikra milik almarhum Ustad Arifin Ilham.
Untuk melarang kenekatan massa maka pihak kepolisian melakukan berbagai cara. Pertama, Polres Metro Bekasi Kota melakukan penyekatan massa di 9 titik agar peserta reuni dari Bekasi tidak bisa berangkat ke kawasan patung kuda, Jakarta, atau Bogor. Kesembilan titik tersebut di antaranya jalan tol Bekasi 1, Bekasi 2, Bekasi Timur, Jatiasih, Bulak, dan lain-lain.
Penyekatan dilakukan agar massa tidak nekat datang ke tempat reuni. Mereka tidak boleh marah ketika disuruh putar balik oleh aparat, karena sesungguhya malah dilindungi dari kemungkinan tertular Corona. Polisi adalah sahabat rakyat sehingga wajib melindungi rakyat, termasuk dari bahaya Corona.
Selain di Bekasi, di kawasan patung kuda juga ada barikade berupa water barrier dan juga kawat berduri. Lebih dari 4.000 polisi juga siaga untuk menjaga kawasan tersebut agar tidak dimasuki oleh massa. Akan tetapi, banyak peserta reuni yang masih nekat datang lalu marah-marah saat diajak pulang, dan akhirnya emosi serta memaki-maki.
Bagaimana bisa mereka malah marah kepada aparat? Pihak kepolisian hanya melakukan tugasnya agar ketertiban dan keamanan masyarakat terjaga. Bukannya berterima kasih justru malah emosi, apakah itu normal? Seharusnya mereka sadar kalau reuni itu melanggar protokol kesehatan dan bisa dijerat pasal, tetapi malah terbakar amarah bagaikan kesetanan.
Sementara di kawasan Pesantren Az-Zikra, Bogor, izin tidak jadi diberikan. Selain dilarang oleh pihak kepolisian, di sana masih dalam suasana berduka karena anak kedua almarhum Ustad Arifin Ilham yakni Ameer Az-Zikra baru saja meninggal dunia.
Reuni tidak ada gunanya dan PA 212 dibubarkan saja. Novel Bamukmin dan segenap pengurus PA 212 sebaiknya sadar diri dan evaluasi. Tidak ada manfaatnya membuat reuni jika hanya bisa menghujat pemerintah. Sebuah organisasi seharusnya punya tujuan baik, bukannya malah memprovokasi masyarakat.
Pembubaran massa saat reuni 212 dilakukan karena peserta reuni melanggar protokol kesehatan, yakni tidak jaga jarak dan membuat kerumunan dengan sengaja. Jangan marah saat reuni dibubarkan karena masih masa pandemi. PA 212 juga dibubarkan saja karena tidak memberi kontribusi positif pada bangsa.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews