Kamasutra Indonesia

Gurihnya bisnis sawit ini mendorong perusahaan-perusahaan besar untuk terus memperluas area lahan perkebunannya. Caranya? Ya paling mudah dan murah dibakar.

Rabu, 18 September 2019 | 15:31 WIB
0
1062
Kamasutra Indonesia
Ilustrasi Kamasutra (Foto: Facebook/Yus Husni Thamrin)

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang saat ini sedang ‘marak’ di Indonesia, terjadi pada gambut yang berada di bawah permukaan tanah, kemudian membakar semak dan pepohonan. Pertanyaan pertama yang sebenarnya sudah basi tapi selalu muncul, dari mana asal api yang membakar lahan gambut itu?

Apakah api itu berasal dari retakan lempeng bumi hingga magma merembes ke atas, lalu membakar gambut? Tidak mungkin. Apakah api yang pada kebakaran lahan tahun lalu mengalami hibernasi, lalu ‘bangun lagi’ di musim kemarau sekarang? Juga tidak mungkin.

Atau karena ada kebocoran pada instalasi Neraka hingga menimbulkan panas yang amat sangat pada lapisan luar bumi, lalu membakar gambut? Itu mustahil. Karena katanya, standar manajemen Neraka sudah di atas ISO 14000 dan 14001, lagian SDM (sumber daya malaikat) pengelola Neraka sangat profesional dan disiplin dalam menjalankan tugasnya.

Ada tiga pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Doni Monardo yang bisa dijadikan starting point dalam memahami karhutla. Pertama, 99% karhutla disebabkan ulah manusia. Kalo karena ulah manusia, bisa karena bodoh, membakar sampah atau membuang puntung rokok di semak yang kering. Atau karena jahat, sengaja membakar lahan supaya nantinya mudah digarap jadi lahan pertanian. Kemungkinan besar karena yang kedua.

Pernyataan Aa Doni ini merupakan kabar buruk sekaligus kabar baik. Sebagai kabar buruk, menunjukkan betapa banyak orang jahat, hingga tega menghancurkan lingkungan dan merugikan orang banyak. Kabar baiknya, karena disebabkan ulah manusia, sebenarnya karhutla bisa dicegah dan diatasi. Bukan fenomena alam seperti gempa bumi atau gunung meletus yang tidak bisa dihentikan.

Pernyataan lain Kepala BNPB adalah 80% lahan yang terbakar di kemudian hari berubah menjadi perkebunan (sawit). Tesis kedua ini memperkuat yang pertama. Maka bisa ditarik hipotesis, karhutla adalah ‘bagian dari proses pembukaan lahan perkebunan sawit’. Karhutla terjadi atas inisiatif manusia jahat, dilakukan dengan cara disamarkan pada ‘ganasnya musim kemarau’, agar orang mengira karhutla terjadi karena kemarau panjang. Orang-orang jahat itu menempatkan Si Nino sebagai pihak yang akan jadi kambing hitam.

Pernyataan ketiga adalah 85% karhutla terjadi di luar perkebunan sawit. Aneh. Padahal lokasinya sama. Apakah Si Api sudah sedemikian diskriminatifnya, sehingga memilih-milih gambut mana yang dibakar? Pasti ada campur tangan manusia. Pernyataan itu juga diperkuat oleh Kapolri Jend. Pol. Tito Karnavian. Berdasarkan pengamatan Aa Tito ketika meninjau dari helikopter, karhutla hanya terjadi di luar perkebunan sawit dan lahan konsesi perkebunan.

Persoalan karhutla sejatinya tidak terlepas dari sejarah buruknya pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam dalam 50 tahun terakhir.

Dekade 1970 adalah periode pesta pora para pengusaha membabat hutan mengeksploitasi kayu. Kayu adalah komoditas kedua setelah migas yang jadi bancakan para pengusaha dan penguasa selama dua kekade (1970-1990).

Miliaran kubik kayu jarahan diekspor dalam bentuk gelondongan maupun olahan. Pada periode 1970-1990 tak terhitung berapa banyak perusahaan besar di bidang timber beroperasi. Bahkan acara peresmian pabrik pengolahan kayu atau ekspor perdana oleh para petinggi negara waktu itu sering kali menghiasi layar tipi. Ritual itu pun disempurnakan dengan doa-doa penutup nan indah dan mantaf yang dilantunkan ustad-ustad berwajah ceria tatkala dihampiri panitia seusai acara. Berapa pemasukan bagi negara? Entahlah.

Data dari Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor menunjukkan, dalam 50 tahun terakhir, 117 juta hektar atau 72% dari 162 juta hektar hutan asli Indonesia telah musnah. Kini, total luasan hutan Indonesia hanya 98 juta hektar, yang terdiri atas 45 juta hektar hutan asli dan 53 juta hektar hutan hasil reboisasi. Sebagai catatan, tidak kurang dari 40 juta hektar lahan eks hutan asli, dibiarkan telantar begitu saja.

Lebih dari setengah cinta Tuhan berupa hutan hujan tropis yang demikian berharga dan tidak semua negara memilikinya itu habis, hanya menyisakan bencana dan masa depan suram anak-anak negeri dengan paru-paru penuh racun.

Loh kok hutan bisa dibabat begitu saja? Kan ada polisi hutan? Ada Menteri Negara Lingkungan Hidup? Ada LSM Lingkungan Hidup? Ada banyak komunitas pencinta alam? He he he... sudahlah. Bahwa mereka mencintai lingkungan hidup, benar. Mereka juga tahu dan paham tugasnya menjaga kelestarian hutan, tentu. Tapi mereka juga harus menjaga dirinya masing-masing agar tetap bisa hidup. Mereka juga tidak kebal peluru. Jadi, mending sama-sama happy lah.

Sebelum pesta pora kayu berakhir pada pertengahan dekade 1990an, di lahan-lahan eks hutan itu para pengusaha Tapos, maksudnya yang biasa berkumpul atau dikumpulkan di Tapos, sudah mulai bertanam sawit. Tentang sawit, adalah tumbuhan keluarga palma yang belum lama masuk ke Indonesia.

Semula 4 Biji Sawit

Pada tahun 1848 Gubernur Jendral Hindia Belanda, Jan Jacob Rochussen membawa 4 biji sawit dari Afrika lalu ditanam di Kebun Raya Bogor. (Njiiirr.... ternyata awalnya dari Bogor). Setelah melakukan serangkaian riset kebotanian, baru pada tahun 1910 Belanda mulai menanam sawit dalam skala besar di perkebunan-perkebunan di Sumatera dan Bangka Belitung. Setelah itu menyebar ke pulau-pulau lain di Nusantara.

Pada masa Pemerintahan Soeharto perkebunan sawit mulai digalakan pada tahun 1980, waktu itu total luas lahannya baru 200.000 hektar. Perluasan lahan sawit dilakukan cepat dengan mengkonversi lahan gambut eks hutan. Total luas lahan gambut di Indonesia mencapai 20,6 juta hektar atau sekitar 10,8 persen dari luas daratan Indonesia. Dari luasan tersebut sekitar 7,2 juta hektar atau 35% terdapat di Pulau Sumatera, dan 5,7 juta hektar atau 27,8% terdapat di Pulau Kalimantan.

Memasuki dekade 1990an minyak sawit menjadi salah satu primadona andalan ekspor. Luasan lahan sawit bertambah dengan mengkonversi lahan terlantar eks hutan. Caranya ya sama: lahan gambut dibakar, lalu dikonversi jadi lahan sawit. Hanya saja, waktu itu belum ada sosmed, jadi gak rame kayak sekarang. Lagian siapa yang berani meributkan bisnis yang sudah direstui sama mertuanya Prabowo waktu itu? Bisa-bisa gak bersih lingkungan.

Regim berganti, pengusaha sawit makin kaya, lahan sawit makin luas. Perluasan lahan sawit paling signifikan terjadi sejak 2007, dari 7,2 juta hektar bertambah 5,4 juta hektar, jadi 12,6 juta hektar pada tahun 2017. Per tahun 2019 total luas lahan sawit versi BPS telah mencapai 14.677.560 hektar.

Bukan hanya jumlah suara dalam Pilpres 2019 yang berbeda-beda, total luas lahan sawit pun sama. Data Direktorat Jenderal Tanaman dan Perkebunan, Kementerian Pertanian menyebutkan, per 2018, total area lahan kebun sawit di Indonesia seluas 14,3 juta hektar.Sedangkan berdasarkan hasil supervisi KPK mengguanakan satelit, luas tutupan tanaman kelapa sawit mencapai 16,83 juta hektar. Selain itu ada sekitar 3,2 juta hektar lahan yang belum ditanami. Sehingga total luas areal perizinan kelapa sawit yang sudah diterbitkan sekitar 20 juta hektar.

Oke, kita pake data Kementan, 14,3 juta hektar. Dari lahan seluas itu, 7,8 juta hektar atau 54% dari total luas lahan sawit di Indonesia dimiliki oleh perusahaan swasta, 5,8 juta ha atau 41% adalah perkebunan rakyat yang jumlahnya puluhan ribu. Sisanya 5% atau sekitar 715 ribu hektar dikelola oleh BUMN.

Hal yang penting dipahami di sini adalah, puluhan ribu petani sawit yang menguasai 5,8 juta hektar lahan itu tidak memiliki pabrik pengolahan. Mereka juga tidak bisa mengekspor sawit dalam bentuk tandan buah segar. Mereka menjual sawit hasil panennya ke perusahan-perusahaan besar swasta. Bahkan sangat mungkin, banyak di antara pemilik perkebunan rakyat itu adalah proxy dari perusahaan swasta besar. Seperti pemilik saham kurang dari 5% di pasar modal, yang sebenarnya kepanjangan tangan dari pemilik saham mayoritas.

Saat ini di Indonesia ada ribuan perusahaan di bidang perkebunan, pengolahan, dan perdagangan sawit. Sekitar 100 perusahaan berskala besar, dan 25 perusahaan berskala besar banget. Perusahaan mana saja yang termasuk 25 perusahaan raksasa itu? Lihatlah di tipi, kalo ada iklan minyak goreng, itulah di antaranya.

Karena perkebunan rakyat tidak mengolah sawit sendiri, maka dibikinlah kerja sama dengan perusahaan-perusahaan besar. Dari data yang ditulis beberapa media, dengan kerja sama itu hasilnya 12,3 juta hektar lahan sawit (7,8 juta hektar plus 4,5 juta hektar lahan perkebunan rakyat) ‘dikuasi’ oleh 25 perusahaan besar.

Saat ini, produksi CPO (crude palm oil) nasional mencapai 48 juta ton, yang 32 juta ton di antaranya diekspor dalam bentuk CPO atau produk turunannya. Sayangnya, sisi kotor dari industri sawit ini bukan cuma waktu membuka lahan, tapi banyak juga perusahaan besar yang ngemplang pajak. Bahkah hingga triliunan Rupiah (bukan begitu Koko Metta?).

Cara Termudah: Dibakar!

Gurihnya bisnis sawit ini mendorong perusahaan-perusahaan besar untuk terus memperluas area lahan perkebunannya. Caranya? Ya paling mudah dan murah dibakar. Biar gak mencolok, pembakaran dilakukan pada musim kemarau panjang.

Apakah untuk membakar lahan, perusahaan-perusahaan besar itu menerjunkan karyawannya? Ya tidak. Mereka menyuruh orang-orang kampung sekitar. Dan pastinya, perusahaan-perusahaan itu juga membayar orang-orang yang seharusnya mencegah pembakaran atau kebakaran lahan, untuk diam.

Akibatnya, ya seperti yang terjadi saat ini. Asapnya kemana-mana, menyesakkan pernapasan banyak orang. Bukan hanya mereka yang menikmati hasil dari sawit. Jadi, jumlah sekian ribu titik api yang disebutkan oleh banyak media itu bukan fenomena alam. Jumlah titik api itu tergantung orang-orang jahat itu di berapa tempat mereka membakar lahan.

Anehnya, hampir semua orang tahu apa yang sebenarnya terjadi, siapa yang melakukan pembakaran dan seterusnya, tapi tidak ada tindakan riil seperti halnya orang-orang di pasar kalo ada maling ato copet yang ketangkep. Semua menunjukkan kepiawaian jurus beladirinya. Mereka marah, tapi tidak berani menyalurkan kemarahannya pada orang atau pihak yang mereka tahu persis. Mereka malah ramai bikin tagar ini itu, salah satunya #RiauDibakarBukanTerbakar. Lah kan tahu siapa yang membakar?

Pengennya kan orang-orang itu (yang nyuruh dan yang melakukan) ditangkep-tangkepin, ato ditembak mati sekalian. Tapi kalau itu dilakukan, berapa banyak yang harus ditembak? Sekarang LSM-LSM lingkungan hidup dan kesehatan yang teriak-teriak. Bahkan ada LSM yang mau ngaduin Pemerintah ke PBB (tapi sejauh ini belum ada tanggapan dari Yusril selaku Ketum PBB). Ntar kalo para pembakar lahan itu ditembak, gantian LSM-LSM HAM yang rame. Bisa-bisa pemerintah diaduin ke Pengadilan HAM Internasional di Jenewa, Belanda. (“Woiii.... Jenewa bukan di Belanda! ... di Jordania” “Kuma sia we lah!”).

Salah satunya atas dasar pertimbangan itu, pada 19 September 2018 Pemerintah menerbitkan Inpres No. 8 Tahun 2018 tentang Moratorium Sawit. Tujuannya, untuk mendapatkan data akurat mengenai luasan lahan tertanam dan kawasan konversi hutan yang bisa dijadikan lahan sawit rakyat.

Kamfretly, orang-orang kita itu baru ramai setelah kejadian, seperti halnya kasus karhutlan saat ini. Setelah karhutla selesai mereka lupa, dan tidak melakukan apapun untuk mencegah agar karhutla tidak terjadi lagi. Begitu juga dengan banjir dan longsor di musim hujan, kalau sudah terjadi baru ramai, tapi sekarang (musim kemarau) tidak melakukan apapun untuk mengantisipasi banjir dan longsor. Dasar!

Tapi kenapa tulisan ini judulnya Kamasutra Indonesia? Praktik perluasan lahan sawit itu seperti Kamasutra: menempuh segala cara.

Tapi ya Sutralah....

***