Ketika Jumatan Pakai Iklan

Rabu, 20 Februari 2019 | 14:52 WIB
0
477
Ketika Jumatan Pakai Iklan
Prabowo Subianto (Foto: Berita7.id)

Munculnya Jokowi pada panggung pemimpin dunia, menjadikan Indonesia seperti anak hilang yang pulang. Sempat disegani pada era Soeharto, namun meninggakkan stigma negara terkorup di Asia, dan hebatnya rata nyaris pada semua lembaganya.

Reformasi hanya menjadi oksigen sesaat, kemudian malah mendatangkan sesak nafas baru atas sebuah pola berulang. SBY gagal meneruskan harapan perubahan, malah memperparah keadaan. Bukan membantu, malah mengganggu, nafsunya utk terus berkuasa kelihatan anaknya dipaksa dalam usia muda mau dijadikan penguasa. Sayang bak umbut pisang AHY blm siap dipasang. Krn menjadi pemimpin tak semudah bak mencantolkan sanggul sang inang.

Seperti musang berbulu ayam yang mengintai kandang, dia datang berulang. Prabowo terus mengintai ingin memangsa bangsanya. Bagaimana tidak dikatakan memangsa, dia memang ada DNA memusuhi negara. Sejak bapaknya menjadi pemberontak, mertuanya mengaduk-aduk kekayaan negaranya, termasuk Prabowo yang ada didalamnya.

Dan dipenghujung karir mertuanya, dia hampir mengambil paksa Indonesia. Sekarang dia datang dan siap menyergap. Mengendap memakai bulu yang berganti rupa, tapi dia tetap berbulu. Kadang menyamar jadi ayam, bebek, angsa, dan sejenisnya. Tapi dia lupa ada bau keringat yang khas dari badannya, bau "pandan" sebagai ciri khas bahwa dia musang yang tak bisa disamarkan.

Kini keringat khas itu semakin jelas, dan ternyata banyak ayam tersirap baunya, mengikuti kemana arahnya, mereka suka wanginya, lupa taring yang setiap saat merobek leher dan ulu hatinya. Musang pemangsa dianggap bisa menjaga kandang. Bak rumput makan tanaman, dia hanya menunggu kapan waktu utk menerkam dan memakan.

Perumpamaan di atas adalah kondisi yang makin jelas. Seorang manusia yang begitu jelas rekam jejaknya mau melumat bangsanya, bukan sekali saja, tapi sudah beberapa kali dia mencoba. Kok sebagian kawan kita bak lupa ingatan, entah apa yang meresap dalam akhlaknya, sehingga beda bajingan dan budiman mereka seolah dibutakan setan.

Akumulasi kebohongan, fitnah yang tak terbantah, plintiran yang disandiwarakan, semua cuma untuk satu tujuan, kekuasaan dan perusakan. Keberpihakan para kawan ini makin menjelaskan bahwa kita sudah terbelah menjadi manusia berakhlak dan manusia tak berotak.

Riuh rendah kita mengomentari debat, pidato kebangsaan bercampur makian, seolah semua dihalalkan yang penting bisa menyerang pemerintahan, bahkan harga tiket dibilang presiden kaget. Kasus pidana katanya kriminalisasi yang di sengaja.Tapi saat ada doa orang tua untuk bangsanya, dibilang ditukar dan dijadikan kelakar, diminta mohon maaf, katanya buat apa. Ya memang tidak ada manusia non adab yang bisa beradab.

Debat apapun selalu kita tunggu untuk melihat mutu, namun sebenarnya kita cuma menonton kelucuan yang sudah lama dipertontonkan. Apa yang bisa disimak dari pemalak yang niat jahatnya sudah jelas disampaikan. Rakyatnya dicemooh, negaranya mau dibubarkan.

Kawan kita yang cenderung gila, mau menyerahkan urusan dan pembangunan negara kepada manusia, yang bahkan mengurus dirinya dia tak bisa, meluruskan hatinya tentang agama dia lupa. Apa kalian yakin dia bisa memimpin. Kalian marah kami bilang Ipin Upin, tapi kelakuan kalian yang membuat kami yakin bahwa kalian sedang sakit jiwa pangkat 5.

Dua bulan ke depan adalah waktu yang pendek, tapi masih ada jalan memutar kearah yang benar. Jangan teruskan kejalan yang kesasar, karena begitu salah, 5 tahun kita hidup salah arah. Dan saat itu Nusantara telah diujung kehancuran.

Tidak ada lagi kebanggaan tentang Majapahit, Sriwijaya, Mataram. Karena begitu salah pilih Indonesia langsung tenggelam. Aceh menjadi uang receh, Papua diambil Amerika. Kita hanya beradu mata, bertanya, ini salah siapa. Salah kita semua, yg bangga katanya punya agama, tapi lupa beragama. Benar kata Gus Dur karena kita jauh dari yang kuasa, memanggilnya saja kita butuh banyak pasang toa. Padahal Bapa yang ada di surga, dan Om Om Swastyastu lebih mesra kedengarannya.

Ah.., kita beragam, kenapa dipaksa seragam, kita bhineka, bukan boneka. Kreativitas kita dari otak kanan, kenapa yang kita besarkan otak iri. Semoga kita sadar diri, bahwa kita sedang tak mampu membedakan antara sajadah dan haram jadah.

Sekarang malah ada yang bangga musang jadi junjungan padahal di depan mata ada pangeran pasang badan untuk bangsanya.

Semoga keberpihakan Tuhan tetap sesuai zat mulianya, yaitu maha baik dari yang terbaik. Tuhan pasti tidak malu kalau tidak memilih Prabowo, karena Prabowo saja tidak punya rasa malu kepada Sang Penciptannya, shalat jumat saja pakai iklan segala.

Biarkan saja Amien Rais yang malu karena ramalannya salah melulu.

***