Merebut Ceruk "Swing Voters"

Tak ada yang salah dari langkah ini, kecuali perlunya memperhatikan etika politik dan barangkali lebih menghotmati adab keindonesiaan kita.

Jumat, 29 Maret 2019 | 07:52 WIB
0
330
Merebut Ceruk "Swing Voters"
Ilustrasi swing voters (Foto: Sebarr.com)

Tak terasa, pemungutan suara Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif tahun ini tinggal 22 hari lagi. Serangkaian fase pemilu telah dilewati, mulai dari pendaftaran hinnga sejumlah debat tersisa dan kampanye terbuka (face to face informal) yang tengah getol dilakoni para paslon Capres-Cawapres.

Melihat lebih jauh lagi, nampaknya fase kampanye terbuka ini membuat para paslon kian gencar mendtangi kantung-kantung pemilik, memilah dan memilih strategi kampanye yang cocok untuk tiap-tiap ceruk pemilih. Sejauh ini, yang menjadi perhatian besar tim mesin pemenangan adalah ceruk swing voters. Namun sebelum membahas lebih dalam, saya ingin menjelaskan sedikit tentang dua ceruk pemilih tersebut yang sampai sekarang masih banyak disalahpahami.

Pertama, memahami terminologi swing voters. Sederhananya, swing voters adalah pemilih yang mengalami kegamangan dalam menentukan pilihan. Kedua, memahami dua tipe swing voters:

1) Pemilih pemula; mereka baru menjadi peserta pemilu untuk pertama kali (rentang usia, 17-21 tahun), tidak punya referensi figur representatif, dan minimnya pengetahuan tentang politik.

2) Mereka yang sudah pernah memilih pada pemilu sebelumnya, namun menjadi bimbang dengan pilihan saat ini karena adanya cognitive dissonance dimana adanya keberbedaan antara yang dipikirkan dengan yang dirasakan pasca kontestasi akibat evaluasi. Mereka ini biasanya didiagnosa sebagai pemilih rasional yang menentukan pilihan di injury time akibat pengaruh dinamika isu, informais politik, dan pertimbangan berbasis program dan data.

Kalau melihat data, jumlah pemilih pemula yang sudah terdeteksi jauh sebelum terompet Pemilu 2019 dibunyikan karena tim pemenangan tentu sudah melakukan berbagai langkah ilmiah untuk memastikan ini, diantaranya memalui survei politik. Sejauh ini, yang diindikasikan sebagai swing voters dalam kategori pemilih muda, itu berusia 17-40 tahun dan mencapai 100 juta pemilih. Tentu saja, ini menjadi porsi pemilih signifikan dalam Pilpres kali ini.

Merujuk pada data Perkupulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), pemilih muda memang lebih dari 50% yang jika di kategorisasi hingga usia 35 tahun maka jumlahnya mencapai 79 juta, tetapi jika sampai 40 tahun maka jumlahnya mencapai 100 juta. Tak hanya itu, 70 persen di antaranya sudah memiliki pekerjaan dan 30 persen lainnya tidak memiliki pekerjaan, seperti ibu rumah tangga.

Di lain sisi, ada sekitar 52 persen adalah karyawan yang bekerja di sektor ritel, seperti staf kantoran, buruh pabrik, penjaga minimarket, bahkan menjadi office boy. Sekitar 20 persen bergadang, baik yang offline maupun online dengan rata-rata penghasilan 1.5 juta rupiah hingga 5 juta rupiah perbulan.

Namun yang menjadi ciri paling mencolok adalah swing voters tidak berminat bicara politik dan jarang berdiskusi tentang politik dan pemerintahan, kerap termakan isu-isu propaganda akibat minimnya upaya verifikatif dari mereka sendiri, cenderung mengikuti pilihan umum karena sulit mengidentifikasi figur yang layak dipilih sebagai pemimpin, dan terkadang mudah “bermain hati” jika disodori data-data yang sulit ditemukan data pembandingnya.  

Ada tiga strategi merebut ceruk Swing Voters:

Pertama, pendekatan sosiologis. Karakter pemilih di Indonesia yang mayoritas didominasi tipologgi pemilih tradisional, biasanya sangat mudah dimobilisasi lewat isu-isu sosiologis. Makanya tak mengherankan ketika belakangan ini kita kerap kali disuguhkan berita seputar isu SARA.

Jika ada paslon yang melakukan kegiatan seperti kumpul-kumpul dalam jumlah banyak dengan isu utama persoalan keumatan, maka sejatinya itu hanya trik politik untuk menggaet ceruk pemilih yang mudah terpantik sentiment keagamaan.

Contoh lain, adanya rebutan alumni kampus-kampus beken tanah air, merupakan langkah strategis untuk menggaet jutaan alumni kampus tersebut. Tak ada yang salah dari langkah ini, kecuali perlunya memperhatikan etika politik dan barangkali lebih menghotmati adab keindonesiaan kita.

Kedua, Pendekatan psikologis. Pada tahapan ini, agak sedikit rumit jika paslon tidak memperhatikan pentingnya sebaran informasi selama periode kampanye bagi sasaran pemilih, sebab pemilih yang masuk dalam pendekatan ini akan menimbang informasi politik dan seberapa penting pemilu bagi mereka.

Jika informasi yang disebar sejalan dengan kepentingan pemilih tersebut, maka mereka akan merasa terakomodir secara politik dan bisa jadi hal ini dapat dikonversi menjadi elektabilitas.

Sebagai contoh, pemilih milenial (yang notabene termasuk swing voters) yang terpapar informasi seputar program kampanye menyoal lowongan pekerjaan, peluang usaha, ataupun pendidikan, akan lebih tertarik mendukung paslon yang membicarakan isu ini ketimbang berbicara isu mengenai harga sembako atau harga minyak dunia yang berdampak ekonomi domestik.

Ketiga, Pendekatan rasional berdasarkan faktor egosentris, sosiotropik, retrospektif, dll. Biasanya, faktor egosentris ditandai dengan sikap mengevaluasi kondisi mereka sendiri di tengah persoalan Indonesia yang begitu kompleks. Selain itu, ada faktor sosiotropik seperti evaluasi umum menyoal keadaan ekonomi dan kesejahteraan sosial. Dan faktor retrospektif tentang apa yang sudah dikerjakan atau dijanjikan para paslon.

Sebagai contoh, Jokowi tentu lebih berbicara tentang yang sudah dilakukan dan sejumlah bukti atas kinerjanya, sedangkan Prabowo kerap kali berbicara tentang visi “akan” alias apa yang bakal dia kerjakan ketika terpilih.

Di sisi ini, boleh jadi pemilih rasional akan condong ke Jokowi jika memang mereka menilai kinerja Jokowi baik, sebaliknya boleh jadi mereka terjebak dilema “memilih siapa” jika tawaran Prabowo tak menarik dan Jokowi dianggap kurang berhasil.

***