Kenapa Dari Cebong dan Kampret Bisa Menjadi Identitas Baru?

Kamis, 21 Februari 2019 | 09:56 WIB
0
742
Kenapa Dari Cebong dan Kampret Bisa Menjadi Identitas Baru?
Ilustrasi Kampret dan Kecebong (Foto: Kompasiana)

Cebong dan kampret, merupakan dua kata yang sering digunakan oleh pendukung masing-masing calon presiden guna menjustifikasi atau memanggil orang lain pada saat berkomunikasi dengan lawan politiknya.

Kedua panggilan tersebut terus bergema pada tataran akar rumput, baik di media sosial maupun di dunia nyata. Bagi sebagian orang sih, kedua panggil tersebut hal yang sepele dan jenaka hanya untuk memanggil saja. Sehingga dibiarkan mengalir begitu saja tanpa ada yang mencoba untuk menghalanginya. Namun bagi saya, kedua panggilan itu bisa menyebabkan konflik di masyarakat.

Menurut saya, ketika pendukung paslon 01 memanggil pendukung 02 dengan panggilan “kampret” ataupun sebaliknya sama dengan memberikan jurang pemisah antar pendukung paslon. Kemudian bisa mempertajam ruang perbedaan dan mengklasifikasikan seseorang untuk dukungan paslon presiden.

Kedua panggilan tersebut sama halnya dengan kalian dan kita, kami dan mereka, atau saya dan dia. Untuk menyingkat waktu, saya akan menjelaskannya pada tulisan ini.

Panggilan menjadi Identik

Panggilan merupakan suatu tanda yang dilakukan oleh manusia ketika ingin mengklasifikasikan ataupun menjustifikasi suatu benda dengan benda lainnya yang tertanggap oleh panca indra. Misalnya, ketika saya memegang benda maka dalam memori saya langsung muncul semua yang berkaitan objek tersebut beserta nama panggil dari sebuah benda tersebut, katakanlah yang saya pegang itu meja.

Begitu juga ketika saya melihat seseorang yang saya kenal, maka dalam memori saya secara spontan akan memanggil dia dengan nama yang sudah dikenalkan kepada saya.

Ketika zaman penjajahan Belanda dahulu, masyarakat lokal atau pribumi juga sempat mengalami hal sama, yaitu panggilan yang bisa memberikan jurang pemisah. Saat itu, penjajah Belanda memanggil masyarakat lokal dengan panggilan inlander.

Meski secara kebahasaan, kata tersebut berarti penghuni asli sebuah daratan, namun kata tersebut berubah muatan dasarnya menjadi konotasi negatif. Akhirnya, kata dalam bahasa tersebut menjadi stigma yang teridentikan terhadap suatu kelompok ataupun individu yang sudah terjustifikasi secara sikap, perkataan, maupun tampilan.

Pengklasifikasian yang dilakukan dengan cara panggilan kepada suatu kelompok pada awalnya memang hanya sebatas pada alam sadar kita. Namun cepat atau lambat, proses tersebut akan masuk pada alam bawah sadar kita, untuk mengidentikan suatu kelompok dengan panggilan tersebut. Kemudian kata yang pada awalnya memiliki konotasi netral dan positif, bisa berubah muatannya menjadi negatif hingga menjadi stigma di masyarakat.

Misalnya untuk cebong, kata cebong kan asal katanya dari kecebong. Muatan kata itu bersifat positif dan netral, sebab kecebong itu bentuk awal dari katak. Namun kata tersebut bisa menjadi negatif karena terseret pada arus politik yang sedang terjadi saat ini.

Sementara untuk kampret sendiri, asal kata tersebut sebenarnya bermuatan positif. Saya coba mencari di KBBI arti kata itu, dan artinya “kelalawar kecil pemakan serangga, hidungnya berlipat-lipat” sama halnya dengan codot, kalau kata sebagian masyarakat untuk memanggil kelalawar. Nah, kata itu juga bisa bermuatan negatif dengan penyebab yang sama.

Akhirnya istilah cebong dan kampret terjadi perubahan konotasi dan menjadi sebuah “identitas baru” yang disematkan oleh masing-masing pendukung untuk memberikan stempel pada lawan politiknya.

Berhenti Menggunakan Istilah

Sebenarnya istilah cebong dan kampret tidak akan menyebar luas, jika tidak ditegaskan dan dipopulerkan oleh para politisi atau pendukung oleh masing-masing kubu. Kedua kata tersebut bisa tetap menjadi netral dan bermuatan positif, jika para pendukung berkampanye tidak menggunakan kedua istilah tersebut. Saat ini, kedua istilah tersebut telah menjadi streotip yang bermuatan ketidaksukaan, jika tidak ingin dikatakan sebagai bentuk kebencian.

Bagi sebagian pembaca mungkin menganggapnya terlalu berlebihan. Namun mari kita berpikir lebih luas dan lebih jauh ke depan lagi mengenai dampak yang muncul dari penggunaan kedua istilah itu. 

Kondisi yang memanas seperti ini, membuat saya merasa seperti bukan di Indonesia. Sebab yang saya tahu, masyarakat Indonesia itu ramah, sopan, berpikir terbuka, dan toleransi. Semua sikap itulah yang membuat masyarakat yang berada di berbagai pulau ini mau menyatukan diri dengan nama Indonesia.

Kalau para pendiri bangsa masih hidup hingga saat ini, mereka bisa saja bersikap sedih dengan kondisi masyarakat yang penuh dengan perpecahan hanya karena perbedaan pilihan presiden.

Selain itu, Indonesia yang mayoritas beragama Islam juga seperti belum bisa mengamalkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Padahal dalam Islam ada nilai toleransi, keramahan, kesopanan dan berpikir terbuka.

Kalau kita membaca sejara peradaban Islam, peradaban Islam di Cordova bisa semegah itu karena pemimpin dan masyarakatnya bersikap toleran terhadap agama-agama lain yang hidup di wilayah tersebut. Peradaban Islam bisa semaju yang tertulis dalam sejarah, karena pemimpin dan masyarakatnya berpikir secara terbuka untuk menerima pengetahuan  dan bisa memilah nilai-nilai dari peradaban sebelum dan diubah hingga sesuai dengan Islam.

Kemudian peradaban Islam mampu tertulis dengan kemegahan yang luar biasa, karena para pemimpin dan masyaraktnya mau menerima segala perbedaan yang ada di masyarakatnya.

Seperti yang sudah sampaikan di awal tulisan ini, betapa bahayanya kalau istilah “cebong” dan “kampret” sering digunakan untuk menjustifikasi untuk lawan politiknya. Dampaknya bisa memecah belah masyarakat. Selain itu dampak yang akan muncul adalah meningkatnya angka golput pada masyarakat untuk pemilihan umum presiden.

Efek jangka panjangnya, nanti pada saat ada kelompok yang bersebrangan secara pemikiran maupun pilihan politik di tingkat yang paling rendah, seperti di desa, akan muncul kembali istilah yang sama pada momen tersebut.

Maka untuk menghindari hal tersebut, mari berkampanye dengan cara yang damai sehingga mampu menjaga keutuhan negara Indonesia. Memang sudah menjadi tanggungjawab bersama untuk mewujudkan pemilu yang damai, pemilu yang santun, pemilu yang ramah, pemilu yang membuat warganya mau berpartisipasi dan pemilu yang bisa dicontohkan kepada generasi penerus bangsa ini.

Mari berkampanye dengan damai, karena dengan cara seperti itu, kita bisa menunjukkan kepada dunia, bahwa proses demokrasi di Indonesia dilaksanakan dengan cara yang baik. Sehingga bisa menarik warga dunia untuk mengunjungi Indonesia, entah untuk berjalan-jalan dan belajar proses demokrasi dari negara yang begitu besar ini.

Untuk para pendukung maupun relawan yang berpendidikan tinggi, sudah seharusnya bisa memberikan contoh kepada masyarakat mengenai sisi positif dari politik.

Maka dengan berkampanye secara damai, itu bisa memberikan gambaran bahwa politik itu menarik, politik itu bukan hanya tentang perebutan jabatan, politik itu bukan hanya sekadar saling menjelek-jelekan, dan stigma negatif lainnya tentang politik. Tapi politik adalah sesuatu yang menarik dan masyarakat harus bisa menentukan pilihan secara tepat.

***