Kiai sebagai Perantara Politik

Senin, 11 Februari 2019 | 12:30 WIB
0
621
Kiai sebagai Perantara Politik
Ilustrasi Kyai (Foto: NU Online)

Saya lebih suka menyebut "kiai" karena lebih membudaya di samping istilah lainnya yang juga popoler seperti ulama, ustaz, atau dai. Sekalipun istilah "kiai" tampak berkonotasi maskulin karena pada akhirnya tidak ada perempuan yang disebut kiai, namun paling tidak kebanyakan para kiai yang seringkali dianggap sebagai "cultural broker" (perantara budaya) tentu saja laki-laki. Dalam konteks politik, kiai juga lebih sering menjadi figur yang mendukung salah satu kekuatan politik tertentu. 

Momentum Pilpres tentu saja berdampak secara lebih luas dalam menempatkan para kiai dengan fungsi "political broker" (perantara politik) melihat dari maraknya berbagai dukung terbuka secara politik kepada dua kandidat capres yang bertarung di ajang kontestasi politik nasional.

Berbagai hubungan antara kiai dan politik -tepatnya negara- memang terasa ambivalen. Ada kalanya banyak -jika tidak kebanyakan- di antara kiai yang memiliki hubungan sangat dekat dengan pemerintah, membangun relasi-relasi kultural-politik secara baik dengan tujuan tentu saja mendapatkan banyak kemudahan fasilitas apapun dari pemerintah. 

Disisi lain, ada juga para kiai yang menjaga jarak dengan pemerintah -bahkan ada yang terlampau ketat dan tanpa kompromi- untuk menegaskan independensi keulamaan mereka yang hanya fokus dalam urusan-urusan kemandirian pemberdayaan umat dan bukan hal politik praktis.

Figur para kiai sebagai tokoh kharismatik dalam konteks sosial-politik memang seringkali dimanfaatkan oleh relasi-relasi politik kekuasaan. Tidak saja soal penguasa yang ingin mendapatkan legitimasi keagamaan dari mereka dalam hal dukungan atas kebijakan-kebijakan sosial-politiknya, namun lebih jauh dari itu bahwa suara para kiai dapat juga menjadi corong politik bagi berbagai kepentingan kontestasi, mendongkrak elektabilitas politik, meraup dukungan suara dari para pengikut setianya yang terjalin dalam ikatan-ikatan kultural yang cukup rumit.

Kiai dan politik atau ulama-umara setidaknya mengalami pasang surut dalam konteks luas hubungan-hubungan agama-negara di Indonesia dalam beragam bentuknya sendiri-sendiri.

Lalu, bagaimana kita dapat menilai jika keberadaan Ustaz Abdus Somad (UAS) yang belakangan pernah dicap sebagai kiai dalam posisi selalu kritis terhadap penguasa -untuk tidak menyebut anti pemerintah, lalu tiba-tiba muncul sebagai sosok yang diulas media melakukan safari kepada ulama-ulama yang dianggap "mendukung" pemerintah? 

Banyaknya asumsi yang melihat praktik sowan UAS ke beberapa "kiai independen" tampak diposisikan sebagai bentuk "safari politik" dimana dirinya tak lagi sejalan dengan kiai-kiai sebelumnya yang tampak kritis. 

UAS yang mengunjungi kiai kharismatis seperti Habib Luthfi bin Yahya dan Kiai Maimoen Zubair, seolah tengah memposisikan dirinya sebagai "political broker" dimana secara sosiologis dirinya menjembatani berbagai bentuk kebekuan politik yang dipersepsikan masyarakat saling bertentangan dan kontradiktif.

Dalam konteks tahun politik, safari UAS kepada beberapa kiai kharismatis akan sulit jika sekadar dinilai sebagai bentuk penegasan tradisi yang wajar dalam hubungan santri-kiai. Kunjungan ini jelas mengandung makna politik, dimana UAS secara sadar tak bisa memposisikan dirinya terus berada dalam barisan oposisi yang seolah berhadapan secara langsung dengan pemerintah. 

Kedua tokoh kharismatis yang dikunjunginya jelas merupakan tokoh-tokoh penting yang lebih independen sebagai ulama yang menjaga jarak dengan penguasa, sekalipun mereka bukanlah sosok anti pemerintah yang ditunjukkannya melalui ceramah-ceramahnya yang kerap bernada kritis.

UAS tentu saja sosok kiai yang tengah naik daun dan popularitasnya tentu saja melampaui ekspekstasinya sendiri---karena ia sendiri bukan orang Jawa---dan ceramah-ceramahnya diminati oleh berbagai kalangan dengan penekanan citranya yang toleran, terbuka, dan dalam konteks syariat Islam bukan sosok yang kerap membid'ahkan atau mengkafirkan pihak lainnya. 

Banyak diantara ceramahnya yang tersebar di laman media sosial menunjukkan secara tegas bahwa dirinya menganut mazhab Syafi'i yang cenderung luwes, terbuka, sekalipun berprinsip "ihtiyath" (terlampau berhati-hati). 

Tradisi Sunni yang sejauh ini dipraktikannya dan tampak nyata dalam berbagai ceramah agamanya, sulit rasanya menempatkan UAS dalam barisan oposisi secara politik. Tradisi politik Sunni lebih umum bercirikan sikap akomodasionis terhadap kekuasaan dan bukan sebaliknya.

Sekalipun saya kurang sepakat ketika sikap UAS mengunjungi para ulama kharismatis dinilai sebagai bentuk dukungannya secara politik kepada petahana, namun paling tidak ada upaya dirinya mencoba membangun suasana politik lebih cair dan memposisikan bahwa pemerintah merupakan mitra politik yang harus didukung bukan terus dikritisi bahkan dipersalahkan. 

Merajut kembali secara lebih dinamis hubungan ulama-umara, tak selalu harus dipersepsikan bahwa seseorang harus bersikap akomodatif atau bahkan mendukung apapun setiap kebijakan pemerintah. 

Barangkali, sikap ini ditunjukkan UAS melalui safarinya, dimana ia tak harus secara terbuka memberikan dukungan politik, namun cukup dengan penegasan kembali atas tradisi dimana seorang kiai harus akomodatif, termasuk dalam hal politik dan keagamaan.

Kiai tak lagi melulu dipahami sebagai "cultural broker" yang hanya dimanfaatkan dalam momen-momen tertentu seperti berdoa untuk kemenangan atau pemberi atas restu salah satu kandidat politik, namun kiai dapat difungsikan menjadi "political broker" sebagai medium perekat antarfaksi politik atau kepentingan politik yang saling bertentangan. 

Sebagai bagian dari "makelar politik", kiai tak harus menunjukkan dirinya sebagai pendukung salah satu kubu atau dicitrakan sebagai bagian dari mereka, namun dalam banyak hal, ia dapat berfungsi menjadi jembatan yang dapat menghubungkan banyak relasi sosial politik-keagamaan yang saling bertentangan untuk disatukan dalam konteks yang lebih besar sebagai wadah bersama dalam membangun realitas negara-bangsa.

Dalam konteks Pilpres dan lebih tepatnya pemilu, UAS barangkali dapat disebut sebagai kiai dalam hal "political broker" dengan tanpa harus ditunjukkan secara politik mendukung salah satu kubu yang berkontestasi, namun ia tetap menjalankan fungsinya sebagai "perantara budaya" dalam hal membangun kesadaran bersama betapa pentingnya membangun relasi-relasi keulamaan melalui tradisi sowan yang mungkin tampak terpinggirkan akibat realitas tajam perbedaan politik. 

Banyak mereka yang dianggap sebagai tokoh masyarakat atau bahkan kiai dan ulama yang justru gagal menjalankan fungsi tradisinya karena terlampau kaku dalam melihat konstruksi politik. 

Apapun yang saat ini dijalankan UAS, itu menjadi tradisi baik secara sosial, politik, terlebih agama. UAS benar-benar menjalankan fungsinya sebagai kiai yang independen secara politik, namun terikat dan dekat secara tradisi keagamaan, sosial, dan juga budaya.

***