Setelah menahan diri beberapa waktu akhirnya saya memutuskan untuk left WAG dari grup alumni sekolah. Ruang silaturahmi secara online di sana sudah tidak membuat saya nyaman lagi. Pesan positif untuk menjaga silaturahmi dan berdiskusi dalam kebaikan perlahan-lahan berubah jadi negatif. Silih berganti semangat keberislaman provokatif disebarkan di dalam grup chating mulai dari soal moralitas, agama sampai ujaran kebencian terhadap pemerintah.
Jujur, saya speechless menghadapinya. Teman-teman saya sepertinya sudah lupa kalau negara kita mengakui agama selain Islam. Posisi Indonesia yang dihuni masyarakat multikultural memiliki perbedaan suku bangsa, agama, ras, bahasa, dan adat istiadat yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Ini artinya kebhinekaan masyarakat harus mendapat porsi yang adil dan berimbang, bukan?
Saya masih ingat pergerakan massa yang dibangun dari media sosial beberapa waktu yang lalu. Bahkan di WAG saya pun ramai dengan ajakan ini. Katanya, Aksi Bela Islam merupakan upaya penegakkan keadilan atas tindakan penodaan agama. Sampai berjilid-jilid pula.
Namun saya memaklumi, sejatinya banyak orang yang ikut serta dalam aksi tersebut, misalnya mujahid dari daerah-daerah, tidak paham dan tak sadar ada kekuatan politik di dalamnya. Mereka polos saja menyikapi aksi membela agamanya yakni Islam, padahal di dalamnya ada muatan politik yang terselubung.
Mereka mengira, perjuangan dalam menegakkan keadilan atas penodaan agama merupakan bukti keikhlasan mereka agar syariat Allah SWT berdaulat di NKRI tercapai. Andaikanpun harus mati di medan perjuangan artinya mereka mati dalam kondisi mati syahid. Dan mereka siap mati untuk itu.
Fenomena penggunaan isu sentimen agama sepertinya bukan barang baru. Pada Pilpres 2014 lalu tuduhan kafir, sesat, PKI dan lain-lain menjadi sebuah cara untuk mengacak-acak tatanan kerukunan bangsa.
Yang masih membekas dalam ingatan adalah peristiwa pada Pilgub Jakarta. Isue kalau Ahok kafir, Ahok bukan Islam membuat gap besar. Saya dengar bahkan ada masjid yang ogah men-sholatkan jenazah pendukung Ahok karena dianggap munafik. Duuhh, sepertinya isu ini malah jadi 'daya jual' dari waktu ke waktu.
Jumat, 11 Januari 2019, Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) Yaqut Cholil Qoumas bertemu dengan Presiden Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta. Ia melaporkan adanya indikasi Pilpres 2019 telah disusupi kelompok radikal. Menurutnya, tujuan kelompok radikal ini bukan untuk merusak Pemilu. Melainkan demi mewujudkan visi misi mendirikan negara islam di Indonesia. Minimal mendirikan NKRI bersyariah. Eim, ada yang janggal ga?
Nah, lantas kelompok radikal ini menginduk ke siapa? Ke Pasangan Capres 01 atau 02? Ayo kita buka lagi reuni 212 kemarin? Siapa, sih, yang diundang hadir ke acara reuni 212 dan siapa juga yang misuh-misuh pada pers kalau pesertanya tidak sampai 11 juta umat?
Sungguh saya tidak bisa membayangkan kalau perjanjian politik antar keduanya sampai terjadi. Memang betul keduanya sama-sama punya kepentingan. Bagi organisasi ini, kepulangan Habib Rizieq Shihab ke tanah air terkait skandal porno menjadi poin yang diajukan dalam kontrak politiknya dengan Prabowo.
Demikianpun bagi Prabowo, jumlah penduduk Indonesia yang mayoritas muslim merupakan 'angka cantik' yang ditawarkan kelompok ini untuk mendukungnya. Apalagi Provinsi Jawa Barat dan Riau yang disebut-sebut sebagai 'sarang radikalisme' yang saat ini dikuasai kelompok penjaja agama.
Saya kemudian membayangkan apa yang akan terjadi nanti bila melihat selama ini begitu kasarnya setiap aksi yang dilakukan kedua organisasi ini. Kesan arogan, merasa paling benar sendiri, paling suci dan suka menyelesaikan masalah dengan cara mereka sendiri yang cenderung anarkis masih tercetak jelas di kepala saya.
Saya yakin, selain ketidakstabilan politik, tapi juga friksi sosial dan bahkan chaos bakal terjadi. Bagaimana tidak, kalau sampai tidak terpilih, gerakan radikal akan sungguh-sungguh membuat ucapan Prabowo terbukti. Indonesia akan punah.
Pengkondisian ini sudah terlihat dengan delegitimasi KPU dan lembaga resmi pemerintah, termasuk POLRI. Apa jadinya nanti kalau misalnya saja mereka akan mengganyang NU/Banser dan menggantikan organisasi islam itu dengan HTI atau FPI?
Astagfirullah al adzim.
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews