Ojong memang orang yang berpendirian teguh. Tak kenal kompromi terhadap segala bentuk penyelewengan.
Tepat 44 tahun silam 6 Februari 1978 Kompas terbit kembali setelah dua minggu dibreidel pemerintah Orde Baru. Kompas dilarang terbit pada 21 Januari 1978, setelah sehari sebelumnya memuat laporan dari berbagai daerah di Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya tentang aksi unjuk rasa mahasiswa untuk menolak pencalonan kembali Soeharto sebagai Presiden, serta menentang sistem pemilihan presiden melalui fraksi di Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Seperti juga ketika dilarang terbit pada 21 Januari 1978, kabar kepastian Kompas boleh terbit kembali pun diterima pertelpon oleh Pemimpin Redaksi Jakob Oetama pada hari Sabtu 4 Februari 1978 pukul 16.00 WIB. Karena melewati hari Minggu, dan waktu itu Kompas tidak terbit pada hari Minggu, maka Kompas baru bisa terbit kembali hari Senin (6/2).
Budaya telpon memang mewarnai penerbitan surat kabar pada era kejayaan Orde Baru. Tak hanya ketika pelarangan terbit ini saja. Setiap hari pun, kantor Redaksi Kompas menerima berbagai telpon – entah dari Laksusda Jaya, Pejabat Puspen ABRI, sampai telpon dari penguasa tingkat Kodim, Koramil agar tidak memuat berita tertentu. Terutama tentang maraknya berbagai aksi demonstrasi dan unjuk rasa mahasiswa mengritik penguasa Orde Baru.
Suasana kantor Redaksi Kompas di Palmerah Selatan 26-28 Jakarta pada 1978, lebih mirip bilik laboratorium obat dengan dinding ubin keramik putih, ketimbang kantor sebuah surat kabar. Itu bisa terjadi lantaran bangunan kantor Redaksi Kompas (1978-1988) memang bekas kantor pabrik farmasi . Bekas kantor pabrik obat Flu Konimex. Suasananya, sore dan malam ramai dipenuhi wartawan. Tetapi pagi hingga tengah siang suasana kantor tenang. Tetapi siang hari setelah pukul 13.00, berdatanganlah para wartawan dari lapangan.
Seperti biasa, jika mereka sudah mulai mengetik berita, mendadak suasana kantor berubah berisik sekali. Deru bunyi mesin ketik, bersahutan memenuhi seluruh ruangan. Persis suara hujan badai, tak, teraktak-tak, tak tak tik tak ... menenggelamkan bunyi percakapan para wartawan, sangking berisiknya.
Pada 20 Januari 1978 malam, keberisikan mesin ketik itu tiba-tiba terhenti ketika Redaktur Malam – yang memang khusus bertugas pada malam hari menerima setoran berita dari editor-editor bidang – menyerukan bahwa “Besok Kompas dilarang terbit...,” Maka, para wartawan pun bergegas merubung Redaktur Malam untuk mendapatkan penjelasan tentang pelarangan terbit lima media, Kompas, Sinar Harapan, Pelita, Merdeka, Indonesia Times mulai 21 Januari 1978. (Hari berikutnya, Sinar Pagi dan Majalah Tempo juga dilarang terbit).
Berita pelarangan terbit Kompas, diterima oleh Redaksi melalui telpon dari Kepala Penerangan Laksusda (Pelaksana Khusus Daerah) Jaya pada 20 Januari 1978 malam itu, “berdasarkan instruksi atasan” bernomor TR/TLX-036/Gal/I/1978. Yang bertanggung jawab atas pelarangan enam surat kabar dan satu mingguan berita itu, adalah Kopkamtib. Lembaga Kopkamtib atau Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, adalah lembaga ekstra yudisial semasa Orde Baru yang berwenang ambil keputusan menyangkut operasi pemulihan keamanan, serta melakukan koordinasi dan supervisi kegiatan operasi pemulihan keamanan.
“Tindakan pemerintah melarang terbitnya beberapa surat kabar merupakan peringatan keras dalam bentuk prevensi terhadap koran-koran tersebut,” kata Sudharmono, yang bertindak selaku Menteri Penerangan Ad Interim. Sudharmono mengumumkan hal itu di televisi setelah ia diterima Presiden Soeharto di Istana Merdeka.
(Detil latar belakang pembreidelan dan pengumuman Menpen Sudharmono ini dimuat khusus oleh Kompas 6 Februari 1978, dua minggu berselang setelah koran ini diijinkan terbit kembali. Berita pembreidelan itu dimuat dalam sebuah “rubrik khusus” di halaman satu Kompas pojok kiri bawah, yang diberi banner “Dua Minggu Dalam Kilasan”).
“Tindakan itu dilakukan karena pemerintah menilai pemberitaan surat kabar surat kabar itu dapat memperuncing keadaan. Kalau itu terus berlangsung akan dapat mengganggu stabilitas nasional,” ungkap Menpen Ad Interim, Sudharmono. Atas pertimbangan itu, kata Sudharmono, Kopkamtib yang bertanggung jawab dalam bidang keamanan, perlu mengambil tindakan prevensi agar gerakan-gerakan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu (mahasiswa. Red) tidak menjalar terus dan juga tidak disiarkan oleh harian-harian tersebut. Karena penyiaran itu biasanya bisa menimbulkan suhu politik makin naik,” kata Sudharmono pula.
“Ini merupakan kartu kuning untuk tidak sampai dicabut SIT (Surat Ijin Terbit) nya. Dan saya belum mencabut SIT,” kata Sudharmono.
Selain lembaga ekstra yudisial seperti Kopkamtib yang waktu itu dipimpin Laksamana Sudomo, juga surat kabar setiap saat berada di ujung tanduk. Lantaran, surat kabar di era Orde Baru tidak hanya harus mengantungi Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Akan tetapi juga kudu mengantungi dua surat ijin lain, yakni Surat Ijin Cetak (SIC) dan Surat Ijin Terbit (SIT). Dicabut ijin cetak, masih mungkin terbit kembali. Tetapi begitu dicabut Surat Ijin Terbit (SIT) yang dikeluarkan Departemen Penerangan? Habis sudah riwayat koran itu.
Dilarang diberitakan
Pers di era Orde Baru memang setiap hari dihantui berbagai larangan. Tak hanya dari tingkat Kopkamtib, akan tetapi juga berbagai dering telpon dari berbagai kalangan penguasa, seperti Kapuspen ABRI, Menteri Penerangan, sampai penguasa militer setingkat Pangdam, Kodim dan Koramil. Sebegitu seringnya telpon Redaksi berdering, sampai di sebuah papan tulis di Redaksi Kompas ditempelkan kertas panjang dari rol mesin cetak, berisi tulisan dari catatan dering telpon larangan yang berasal dari penguasa Orde Baru dari berbagai tingkatan. Tulisan larangan yang ditempel di papan tulis, mencapai lebih dari dua meter panjangnya, ditulis tangan pakai supidol permanen...
Edisi terakhir Kompas 20 Januari 1978 sehari sebelum dibreidel, ternyata memang ada yang “melanggar” larangan-larangan seperti terpampang di kertas rol di papan tulis Redaksi tersebut. Tertulis cukup menyolok di halaman I Kompas (20/01/1978), berita tentang aksi mahasiswa yang jelas-jelas dilarang diberitakan. Berita itu berjudul “Suara Berbagai Kelompok Mahasiswa”. Merupakan berita rangkuman dari berbagai aksi mahasiswa dari Semarang, Surabaya, Bandung, Jakarta dan daerah lain – dengan kode wartawan berupa inisial (aj/rh/ms/sts/mm/pat). Isinya ternyata ‘menggelitik telinga penguasa’.
Dewan Mahasiswa (DM) dan Senat Mahasiswa (SM) dari berbagai daerah itu, intinya mengungkapkan apa yang mereka sebut sebagai “koreksi nasional” terhadap situasi dan kondisi Indonesia saat itu. “Kenyataan yang ada sekarang ini masih jauh dari jangkauan cita-cita proklamasi, karena terjadi penyelewengan-penyelewengan dan pengebirian konstitusi...,” itu bunyi ‘koreksi nasional’ terkeras yang disuarakan oleh kelompok mahasiswa di Semarang, yang terdiri dari DM/SM Universitas Diponegoro, IAIN, IKIP, ITKS, AKFARM, AKPELNI dan Unisula dipimpin oleh Udji Sajono Berchmans.
Di Kampus Trisakti Jakarta, tuntutan para mahasiswa juga tak kurang keras. Dewan Mahasiswa Trisakti menyampaikan tiga tuntutannya pada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) agar merealisasi Ikrar Mahasiswa 28 Oktober 1977, menolak sistem pencalonan tunggal Presiden Soeharto melalui dan yang ketiga meminta agar ABRI dan rakyat bersama-sama berjuang menegakkan keadilan dan kebenaran berdasarkan UUD’45 dan Pancasila secara murni dan konsekuen.
Di Universitas Indonesia, menurut Kompas (20/01/78) itu juga dilangsungkan dialog di antara ratusan mahasiswa. Ketua DM UI Lukman Hakim bahkan mengatakan dalam pidatonya, bahwa masyarakat Indonesia saat ini tengah dihinggapi penyakit “Empat K” yakni Kebodohan, Ketakutan, Kemiskinan dan Korupsi. Senada dengan mahasiswa-mahasiswa Trisakti, suara dari mahasiswa-mahasiswa UI ini juga menyerukan, agar menolak dicalonkannya kembali Soeharto, menuntut diubahnya mekanisme pemilihan Presiden melalui fraksi di MPR.
Mahasiswa-mahasiswa Surabaya, menyatakan mendukung “pernyataan sikap mahasiswa ITB”. Sehari sebelumnya, Ketua DM ITB Heri Akhmadi bahkan sudah membagikan “Buku Putih” kepada pejabat-pejabat dan anggota-anggota masyarakat yang isinya mengungkapkan berbagai “kebobrokan dan ketimpangan jalannya pemerintahan”.
“Perjuangan mahasiswa tak hanya terbatas sampai bulan Maret saja,” ungkap Heri Akhmadi, “Oposisi kita bukanlah untuk menjatuhkan atau menghancurkan pemerintahan. Melainkan untuk mengusahakan perbaikan...,” katanya.
Sedemikian solid dan satu hatinya aksi unjuk perasaan mahasiswa dari seantero daerah yang diberitakan Kompas di halaman satu, pada 20 Januari 1978 itu, menyebabkan malam harinya telpon pun berdering di Redaksi Kompas dari Kepala Penerangan Laksusda (Pelaksana Khusus Daerah) Jaya. Berdasarkan “instruksi atasan” dan atas pertanggungjawaban lembaga Kopkamtib, Kompas pun dilarang terbit mulai 21 Januari 1978.
Tetap lakukan Liputan
Pagi harinya, 21 Januari 1978, hampir tiada anggota Redaksi Kompas yang tak hadir di kantor. Pak Jakob Oetama pun dikerubungi seluruh wartawan. Selain mendengarkan laporan dari lapangan, seperti Mas St Sularto yang sehari-hari meliput kegiatan mahasiswa, juga tukar pikiran berlangsung spontan dalam kerumunan Redaksi pagi itu. Pak Jakob, seperti biasa, selalu menunjukkan sikap bijaknya.
“Wartawan, you semua tetap melaksanakan tugas, meskipun tidak diterbitkan. Terus memantau perkembangan lapangan...,” kata Pak Jakob, di depan seluruh Redaktur dan juga wartawan lapangan yang berkerumun di ruang redaksi, mengelilingi Pak Jakob. Diselang-seling gelak dan celetukan, “rapat akbar darurat” di ruang redaksi sembari berdiri itupun berlangsung lama.
Suasana umum di kalangan wartawan hari itu, tidak memancarkan kekawatiran bagaimana jika “dilarang terbit ini seterusnya terjadi”. Sama sekali tidak. Malah pada bercanda. Dan meja-meja kerja, tempat mesin ketik bergelimpangan pun di sana-sini berubah menjadi “meja permainan”. Ada yang main gaple, main catur, bahkan juga main karambol di atas meja kerja. Saya membawa gitar klasik, dan beberapa teman pun memainkan petikan gitar di ruang kerja.
Sehari, dua hari, suasana kantor masih berjalan ceria. Malah pada merasa bangga, surat kabarnya dibreidel. Kompas, yang selama ini dituding “penakut”, ternyata berani memberitakan aksi mahasiswa yang selama ini dilarang keras diberitakan. Juga, aksi demo dan unjuk rasa mahasiswa. Tetapi setelah lewat dari satu minggu? Wajah ceria pun mulai kusut. Soalnya tak ada tanda-tanda, Kompas bakal diterbitkan lagi, jika menyimak komentar para pejabat Orde Baru. Teman-teman puluhan koresponden di daerah, mulai mengungkapkan kekawatiran, bagaimana nasib keluarga mereka, jika Kompas ditutup seterusnya?
Pembicaraan Jakob Oetama-Ojong
Pembreidelan Kompas pada Januari 1978 ini memang bukan yang pertama kali. Belum genap lima bulan berdiri, Kompas sudah dilarang terbit pada 1 Oktober 1965 oleh pemerintah di era Soekarno. Sejumlah koran, tak hanya Kompas, pada 1 Oktober 1965 malam dilarang terbit oleh pemerintah. Larangan itu diberlakukan empat hari, terkait pemberitaan tentang apa yang disebut Gerakan 30 September (G30S/PKI). Sehari setelah sejumlah jendral diculik dan ditemukan terbunuh di Lubang Buaya Jakarta Timur.
Namun pembreidelan kedua, yang terjadi di era pemerintahan Soeharto pada 21 Januari 1978 ini terasa lebih serius mengancam keberlangsungan surat kabar nasional ini. Selain nasib di tangan penguasa Orde Baru, juga rupanya keberlangsungan Harian Kompas ditentukan dari pembicaraan dua pendirinya, PK Ojong Pemimpin Umum serta Jakob Oetama Pemimpin Redaksinya, pada suatu malam 4 Februari sampai 5 Februari dinihari 1978. Pembicaraan serius dua pendiri Kompas ini menyangkut adanya tawaran dari penguasa Republik, Presiden Soeharto, jika Kompas ingin terbit kembali setelah dibreidel.
Saat dibreidel pada 21 Januari 1978, Kompas yang lahir pada 28 Juni 1965 ini terbit dalam 12 halaman. Diperbolehkan terbit lagi, jika bersedia menanda-tangani pernyataan tertulis yang berisi permintaan maaf, sekaligus berjanji untuk tidak memuat lagi tulisan yang menyinggung penguasa.
Inti pernyataan dan janji itu, ada empat hal. Pertama, tidak akan menulis tentang keluarga Presiden Soeharto dan asal-usul kekayaan keluarga Soeharto. Kedua, tidak akan mempersoalkan Dwifungsi ABRI. Ketiga, tidak akan menulis tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Keempat, tidak akan menurunkan tulisan yang memperuncing konflik.
Tentang hal ini, penulis yang juga wartawan Intisari dan juga Kompas Helen Ishwara, mengungkapkan dalam buku biografinya tentang Auw Jong Peng Koen alias Petrus Kanisius Ojong (1920-1980) berjudul “Hidup Sederhana, Berpikir Mulia” (Penerbit Kompas, 2014) mengungkapkan hal menarik, menyangkut sikap dan pendirian yang berbeda antara PK Ojong dan Jakob Oetama dalam menyikapi tawaran penguasa Orde Baru ini.
“Jakob, jangan minta maaf. Mati dibunuh hari ini, atau nanti tahun depan, sama saja,” kata Jakob Oetama, mengutip apa yang dikatakan Ojong. Dikutip oleh Helen Ishwara dalam buku tentang PK Ojong tersebut.
Ojong memang orang yang berpendirian teguh. Tak kenal kompromi terhadap segala bentuk penyelewengan. Ia juga membenci tindakan represif pemerintah, apalagi ia juga pernah mengalami aksi represif seperti itu saat pemerintahan Presiden Soekarno. Mingguan yang dipimpinnya, Star Weekly dibreidel (7 Oktober 1961), juga sebelumnya koran Keng Po miliknya (1 Agustus 1957).
Jakob Oetama berpandangan berbeda. Menurut Jakob, “Mayat hanya bisa dikenang, tetapi tidak akan mungkin diajak berjuang. Perjuangan masih panjang dan membutuhkan sarana, di antaranya melalui media massa...,” kata Jakob Oetama pula.
Sikap Ojong terlalu teguh, memegang prinsip tanpa kompromi, sehingga ia menolak permintaan penguasa Orde Baru untuk meminta maaf dan berjanji setia pada yang diminta penguasa Soeharto. Karena buntu, maka Jakob pun mengambil alih tanggung jawab, bersedia menandatangani persoalan, maju ke depan, siap memikul risiko dan menandatangani prenyataan maaf serta janji tertulis dengan Soeharto.
“Tanda tangan ini basa-basi saja. Tidak akan berlaku seumur hidup,” kata Jakob Oetama menerangkan pilihannya tersebut pada PK Ojong. Tentang berbagai sikap Jakob Oetama ini dimuat dalam bukunya, “Syukur Tiada Akhir” Jejak Langkah Jakob Oetama (St Sularto, Penerbit Buku Kompas 2011)
Dan dalam Tajuk Rencananya, ketika Kompas terbit kembali pada 6 Februari 1978, Jakob Oetama pun menulis:
“... Dengan gagah berani dan benar, orang bisa bilang, manusia hidup tidak hanya dari roti. Namun ada ungkapan yang sama benarnya: orang perlu hidup lebih dulu, untuk bisa berfilsafat,”
Jakob Oetama tetap meyakini bahwa keputusan untuk menandatangani permintaan maaf pada Soeharto itu sudah tepat, dan bukan suatu tindakan menjual diri atau kompromis. Melainkan bentuk dari prinsip teguh dalam perkara, tetapi lentur dalam cara. Prinsip yang tak lepas dari pribadi Jakob Oetama sendiri, yang berasal dari kultur Jawa.
Kees de Jong, dari Universitas Nijmegen, dalam disertasinya tentang Kompas (1990) menemukan bahwa filsafat Humanisme Transendental merupakan pandangan hidup surat kabar Kompas. Yang intinya, manusia seyogianya banyak menenggang rasa, karena setiap manusia bisa berbuat salah. Tidak ada malaikat di dunia ini. Manusia amatlah kecil dibandingkan kebesaran Tuhan. Manusia memiliki keagungan sekaligus kekerdilan. Kalau menunjuk pada kekurangan, amatlah banyak kekurangan setiap orang. Tetapi setiap orang niscaya ada baiknya.
Sampai meninggal (9 September 2020), Jakob Oetama yakin bahwa keputusan untuk menandatangani pernyataan minta maaf dan setia kepada pemerintahaan Soeharto itu sudah tepat. Itu menurutnya bukan suatu tindakan menjual diri atau kompromis. Melainkan bentuk dari prinsip teguh dalam perkara tetapi lentur dalam cara. Prinsip dan cara Jakob dalam menghadapi setiap masalah seperti ini mungkin tak lepas dari kulturnya sebagai orang Jawa, dan pernah mengikuti pendidikan di Seminari selama beberapa tahun. Prinsip sebagai pedoman kerja tersebut telah dikembangkan sejak Kompas lahir.
Kalimat-kalimat “Tiada Malaikat di dunia ini” menghujam dalam hati sanubari Jakob, tidak lagi sebagai slogan atau tag line, tetapi dihidupi dan menjadi nilai-nilai kemanusiaan yang senantiasa dia sampaikan dalam berbagai kesempatan dan tulisan. Tiada Malaikat di Dunia ini. Keagungan dan kekerdilan manusia. Itulah hanya sekian dari puluhan kalimat-kalimat kunci dan kata-kata mutiara yang dia coba sampaikan agar menjadi milik diri setiap wartawannya dalam bekerja menggeluti aktivitas jurnalistik.
Kepada Ojong, Jakob mengatakan saat berkompromi dengan penguasa Orde Baru, "Tanda tangan ini basa-basi saja. Tidak akan berlaku seumur hidup." Ojong pun menyerahkan masalah tersebut kepada Jakob apa yang menurutnya terbaik bagi Kompas. Namun demikian, sejak kompromi yang dilakukan Jakob Oetama dengan penguasa Orde Baru itu, Ojong tidak lagi mau mengurus mengenai redaksional Kompas sampai tutup usianya pada 31 Mei 1980.
Akan halnya Soeharto? Penguasa Orde Baru ini tiga hari setelah Kompas terbit kembali, pada acara peringatan Hari Pers Nasional ke-32 pada 9 Februari 1978, saat para wartawan berjabat tangan dengan Soeharto, dan tiba giliran Jakob Oetama. Soeharto menyambut uluran tangan Jakob Oetama, seraya tersenyum dengan senyuman khas. Penguasa Orde Baru itu pun berkata pendek: “Aja meneh-meneh!” (Jangan lagi, ya!). Jakob Oetama menerjemahkan peringatan pendek Soeharto itu sebagai: “Jangan lakukan lagi, saya habisi kamu!”...
***
(JIMMY S HARIANTO, wartawan Kompas 1975-2012)
Foto Dok Kompas/Kartono Ryadi
RAPAT BERDIRI DI PINTU REDAKSI – Suasana hari pertama ketika Kompas dibreidel Soeharto (21/02/1978). Pemimpin Redaksi Kompas, Jakob Oetama (berkacamata) dikerubungi segenap wartawan dan redaktur dalam suasana “rapat spontan” berdiri di depan pintu. Meski surat kabar tak boleh terbit, namun Jakob Oetama dan Redaktur Pelaksana P Swantoro tetap menginstruksikan agar wartawan terus meliput. Tidak dimuat liputannya, akan tetapi terus memantau bidang liputan masing-masing. Sampai dua minggu kemudian ditulis, setelah Kompas kembali boleh terbit.
Jimmy S Harianto
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews