Sejarah akan berulang, kalau kita tidak mau belajar dari sejarah, kitalah tuan di negeri ini, bukanlah kaum pendatang yang sama sekali tidak merasa memiliki negara ini.
Paskakemerdekaan, ada yang sangat dikuatirkan Bung Karno setelah dia melihat situasi politik, dan berbagai gejolak politik yang diamatinya, yakni perpecahan bangsa. Berbagai gerakan politik yang didasari kepentingan golongan atau kelompok, seperti PRRI dan DI/TII, yang senantiasa mengancam persatuan bangsa.
Seperti yang dikatakan Bung Karno:
"Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri."
Ucapan Bung Karno itu menjadi kenyataan, selama politik masih dilandasi kepentingan kelompok dan golongan, situasi seperti yang dibayangkan Bung Karno itu akan terus terjadi.
Prabowo Subianto adalah orang yang sangat mengagumi Bung Karno, bahkan berbagai atribut yang dipakai Bung Karno pun dipakai Prabowo. Mulai dari gaya berpakaian, gaya pidato, bahkan property mic yang digunakan Bung Karno saat berpidato.
Satu hal yang positif dari sikap Prabowo, beliau sadar bangsanya diambang perpecahan akibat Pilpres, dan beliau melihat ada kepentingan yang lebih besar harus diperjuangkan, ketimbang kepentingan pribadinya. Dia rela menyingkirkan kepentingan pribadinya, demi kepentingan bangsa, sehingga rela melakukan rekonsiliasi politik dengan Jokowi, yang merupakan lawan politiknya.
Prabowo sangat sadar, ada kelompok dibelakangnya yang menginginkan negara ini porak-poranda, dengan memanfaatkan situasi dengan dalih dukungan terhadap Prabowo. Dan Prabowo juga juga sadar kalau orang-orang yang mengatasnamakan dukungan itu mempunyai agenda sendiri, itu semua hampir terjadi pada 22 Mei 2019.
Mana ada militansi pendukung Prabowo, nafsu menghancurkan itu bukanlah cerminan dari sebuah sikap militansi, terhadap sebuah dukungan. Semua itu lebih merupakan manifestasi dari memanfaatkan kesempatan.
Pada kenyataannya, memang tidak ada pendukung Prabowo, jadi tidak ada yang Prabowo tinggalkan, ketika dia masuk ke dalam pemerintahan. Mereka yang selama ini ada dibelakang Prabowo, adalah orang-orang yang cuma tidak menginginkan Jokowi, yang berprisip 'asal bukan Jokowi.'
Itulah makanya bangsa ini tetap terbelah, meskipun Prabowo sudah bersatu dengan Jokowi, karena orang-orang yang katanya mendukung Prabowo itu memang punya agenda lain. Tidak suka Prabowo masuk ke pemerintahan, dan merasa dihianati Prabowo, itu hanyalah sebuah dalih.
Masyarakat yang masih memiliki 'akal sehat,' harusnya mau melihat secara objektif, apa sebetulnya yang sedang terjadi. Prabowo sudah merasa lebih nyaman ada di pemerintahan, karena dengan demikian beliau bisa membaktikan sisa umurnya untuk kepentingan bangsa.
Sementara orang-orang yang pernah berada dibelakang Prabowo, tetap menjadi oportunis politik yang terus bergentayangan di jagat politik. Terus menebar narasi kebencian atas nama membela bangsa dan negara, sanggup menjadi 'gelandangan' politik, hanya demi eksistensinya sebagai pengusung kebencian.
Hanya orang-orang yang berjiwa patriotik yang masih membutuhkan keutuhan bangsa ini, dan hanya orang-orang yang dikuasai syahwat kekuasaan yang tidak lagi memikirkan keutuhan bangsa ini. Ancaman perang saudara itu selalu ada, karena memang ada pihak-pihak, atau negara yang kepentingannya terhadap negara ini terganggu.
Pihak-pihak inilah yang sangat menginginkan bangsa ini hancur, karena berkeinginan mengangkanngi potensi sumber daya alam yang dimiliki negara ini. Sejarah akan berulang, kalau kita tidak mau belajar dari sejarah, kitalah tuan di negeri ini, bukanlah kaum pendatang yang sama sekali tidak merasa memiliki negara ini.
Ucapan Bung Karno ini akan menjadi kenyataan, kalau bangsa ini dengan mudah mau dibodohi oleh berbagai kemasan, yang sama sekali hanyalah bagian dari permainan kelompok yang memiliki kepentingan terhadap kekuasaan. Padahal kepentingan bangsa ini diatas kepentingan apa pun.
Ajinatha
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews