Kalau isu PKI dikaitkan Orde Baru, bukan berarti Orde Baru PKI, karena Orde Baru bukan bagian dari PKI, tapi kekuasaan Orde Baru menjadikan PKI sebagai alat politik mengamankan kekuasaan.
Tidak ada yang menuduh Soeharto itu PKI, kalau ada yang bilang begitu itu namanya pelintiran. Itulah makanya selama 32 tahun berkuasa dia tidak jadikan Indonesia berideologi komunis, tapi Soeharto menjadikan PKI sebagai mainanan Politiknya, untuk melanggengkan kekuasaannya.
Ini sama halnya dengan orang-orang yang menggunakan agama sebagai mainan politiknya. Kalau Soeharto menakut-nakuti masyarakat dengan isu PKI, maka kelompok yang menggunakan agama sebagai mainan politiknya, menakut-nakuti masyarakat dengan isu agama.
Ancaman munculnya kembali PKI itu adalah bagian dari memainkan isu PKI untuk menakut-nakuti masyarakat, modus seperti itu yang jago memainkannya hanya kelompok orde Baru. Jadi harus bisa bedakan menjadikan PKI sebagai mainan tidak difahami sebagai bagian dari PKI.
Soeharto bisa bertahan berkuasa selama 32 tahun itu juga karena menjadikan isu PKI sebagai mainannya. Begitu isu PKI muncul, maka dia akan keluar sebagai pahlawannya, itulah yang membuat kekuasaannya bertahan, dan meninabobokkan masyarakat selama 32 tahun.
Orang-orang yang menjadikan PKI sebagai mainan tidak harus menjadi PKI, karena dia hanya memanfaatkan PKI sebagai alat politiknya. Sama juga orang-orang yang menggunakan agama sebagai alat politik, belum tentu juga beragama secara benar, karena agama hanya digunakan sebagai alat politik, dan cuma dijadikan mainan untuk tujuan kepentingan politiknya.
Naif kalau berpikir bahwa Soeharto bagian dari PKI, karena dia hanya menggunakan PKI sebagai alat politik untuk mencapai kekuasaan, dan nyatanya dia sukses menggunakan dan memanfaatkan PKI sebagai mainannya selama 32 tahun, tanpa harus dia menjadi seorang komunis.
Pada masa Orde Baru berkuasa, siapa pun yang berani bertentangan dengan pemerintah akan dicap sebagai PKI, dan diancam dengan undang-undang Subversif, yang mana hukumannya tidak ada ampunannnya. Syukur-syukur bisa menghirup udara bebas, meskipun tidak bebas banget.
Sejarah mencatat bagaimana Jenderal TNI yang pernah berseteru dengan Soeharto ditangkap, karena dianggap terlibat dengan gerakan PKI. Sebut saja salah satunya, Mayjen TNI Pranoto Reksosamodra.
Baca Juga: Tommy Soeharto, Isu PKI dan Nostalgia Cengkeh di Masa Lalu
Konflik Pranoto dengan Soeharto bermula justru ketika keduanya sedang bersama di pucuk pimpinan Tentara Teritorium (TT) IV Diponegoro. Soeharto sebagai panglima divisi menyelewengkan jabatannya dengan melakukan kegiatan ilegal.
Pada Februari 1966, setelah memegang kendali penuh, Soeharto benar-benar mematikan Pranoto, karier maupun pribadi. Lewat Surat Perintah Penangkapan/Penahanan No.37/2/1966 tertanggal 16 Februari 1966, Soeharto menangkap Pranoto. Sumber
Gus Dur pun pernah mengungkapkan kalau PKI adalah mainan Soeharto, itulah makna kata dari 'mainan' yang dimaksudkan oleh Gus Dur. Bahwa PKI menjadi alat politik Soeharto untuk menjatuhkan lawan-lawannya.
Itulah pentingnya membaca kembali sejarah, namun sumber sejarah yang ditulispun haruslah yang benar, karena banyak sejarah yang ditulis ulang untuk memanipulasi sejarah yang sebenarnya.
Jadi harus cerdas memahami, kalau isu PKI dikaitkan dengan Orde Baru, bukan berarti menganggap Orde Baru PKI, karena memang Orde Baru bukan bagian dari PKI, tapi kekuasaan Orde Baru menjadikan PKI sebagai alat politik untuk mengamankan kekuasaannya.
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews