Gibran, Antara Aspirasi dan Aji Mumpung

Jangan buru-buru menghakimi Gibran hanya karena ia muda dan belum berpengalaman di dunia politik. Semua orang juga awalnya belum berpengalaman.

Sabtu, 14 Desember 2019 | 21:47 WIB
0
291
Gibran, Antara Aspirasi dan Aji Mumpung
Gibran Rakabuming Raka (Foto: kompas.com)

Dalam sebuah perdebatan, seorang netizen yang warga Solo tidak terima ketika saya mengatakan Gibran menggunakan 'Aji Mumpung' dalam pencalonannya menjadi bakal calon walikota. Ia mengatakan setiap WNI memiliki hak politik yang sama untuk memilih dan dipilih, anak seorang Presiden sekalipun.

Itu benar. Lalu di mana 'Aji Mumpung' nya ?

Aji mumpung adalah ketika seseorang mampu melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain, alias ia memiliki privilege yang orang lain tidak punya.

Jika semua orang mampu melakukannya, maka itu disebut dengan "sistem".

Dalam hal ini Gibran menggunakan privilege nya sebagai 'anak Presiden' potong kompas menemui Ketua Umum Partai untuk mendapatkan rekomendasi tanpa melalui sistem yang berlaku dalam partai tersebut.

Jika ia bukan 'anak Presiden', apakah anak 'kemarin sore' yang sebelumnya bukan merupakan kader partai, ujug-ujug bisa langsung menemui Ketua Umum tanpa melalui sekian 'meja' di bawahnya ?

Jelas tidak! Itulah 'Aji Mumpung'.

Pertama kita harus jujur dahulu mengakui bahwa Gibran memang menggunakan privilege nya dalam Pilkada Kota Solo 2020.
Ini penting untuk mendidik diri kita sendiri agar mampu menjadi rakyat pemilih rasional yang cerdas dan kritis.

Yang tidak memilih calon pemimpin hanya berdasarkan faktor kesukaan berdasarkan latar belakang tertentu yang tidak berhubungan dengan kualifikasi yang dibutuhkan untuk menjadi pemimpin (karena nasab, pertemananan/kekeluargaan, kesamaan ideologi, dan lain sebagainya).

Jika kita tidak belajar mendidik diri kita sendiri menjadi pemilih nasional, kelak akan kehilangan critical thinking kita dan bisa jadi terjebak menjadi seperti warga DKI. Apa yang terjadi di Pilkada DKI 2017 adalah pembelajaran bagi seluruh warga +62.

Bagaimana ketika kita memilih pemimpin tidak dengan alasan kerasionalan, hilang lah critical thinking kita. Apapun capaian yang dihasilkan pemimpin terpilih, entah sangat buruk, mengkhianati janji kampanyenya, dan seterusnya. semua harus diterima tanpa protes sedikit pun, karena pemilihnya sudah dibutakan oleh alasan memilihnya yang membabi buta.

Untuk selanjutnya, baru kita menggali, apa sih latar belakang atau yang memotivasi seorang Gibran 'ujug-ujug' ingin masuk ke politis praktis ?

Terutama ini juga penting bagi bukan warga Solo yang tidak mengetahui keadaan langsung di Kota Solo. Supaya jika ingin menjulid pun, julidnya berbobot dan berdasar, tidak asal bunyi.

Sebagaimana diketahui, Gibran menyatakan ingin maju, setelah proses seleksi di internal partai Kota Solo sudah selesai. Makjinguk Gibran nongol, ada apa?

Kabarnya ini adalah aspirasi suara muda masyarakat Kota Solo sendiri yang tidak puas dengan calon petahana yang akan diusung partai. Mayoritas masyarakat Kota Solo tidak puas dengan kemunduran Kota Solo semenjak ditinggal Jokowi.

Sepuluh tahun dipimpin oleh pemimpin gaek dengan gaya kepemimpinan khas feodalisme sudah cukup. Masyarakat Kota Solo menginginkan sosok pemimpin muda yang bisa melakukan perbaikan, bahkan mungkin mengharap lebih baik lagi dari kepemimpinan Jokowi.

Bagi masyarakat manapun, memang akan sulit menerima, jika sebelumnya sudah dipimpin oleh pemimpin yang sangat baik dan menghasilkan output pembangunan yang memuaskan warganya, kemudian penggantinya melakukan kemunduran. Rakyat pasti teriak, akan terjadi di manapun demikian.

Maka menjadi sangat wajar juga, jika warga Solo sendiri yang mendorong- dorong Gibran untuk maju, meskipun proses seleksi internal partai sudah selesai. Bahasa kasarnya, "bagaimanapun caranya kami ingin elo yang memimpin kami. Pintu belom tertutup, gunakan privilege lo. Masih bisa!"

Gibran mungkin sudah 'zolim' terhadap bakal calon lain sesama partai, tapi ini juga bentuk perlawanan terhadap 'kezoliman' calon lain yang dipandang tidak kompeten untuk memimpin Kota Solo.

Zolim vs Zolim. Pada akhirnya karena republik ini menganut sistem pilkada langsung, maka biarlah warga Kota Solo sendiri yang memutuskan nanti di TPS nya masing-masing.

Berandai-andai seandainya saya menjadi warga Kota Solo, bisa jadi saya juga bagian yang menyikapi positif 'keajimumpungan' Gibran.

"Ini kota gue. Gue yang akan merasakan pahit manisnya kinerja pemimpin gue. Maka gue yang paling berhak memilih dan yang paling tahu siapa yang seharusnya dipilih".

Yes, mereka yang bukan warga Solo, seperti saya ini, yang sedang mencibiri Gibran dengan 'keajimumpungan'nya, menjulidi Presiden Jokowi dengan Dinasti Politik nya, hingga menyinyiri Ibu Iriana yang mendukung nepotisme, tidak akan merasakan pahit manis nya kinerja Walikota Solo periode 2020-2024.

Jadi apa hal kita menghakimi calon walikota Solo di luar bilik TPS ?

Lagipula saya menilai warga Solo yang mendukung pencalonan Gibran cukup rasional. Gibran sosok muda yang "tidak jelek-jelek amat". Dia sudah membuktikan diri sebagai pengusaha muda yang cukup berhasil merintis usahanya secara mandiri dari nol, tanpa bayang-bayang bapaknya.

Meskipun posisi bapaknya sedikit banyak mempengaruhi kemajuan usahanya, namun tidak dalam bentuk fasilitas dan berbagai kemudahan dari sebuah kebijakan politis bapaknya kepada pengusaha misalnya.

Dari sisi itu saja, jelas menunjukkan Gibran adalah sosok muda yang cerdas dan seorang pembelajar. Apa dipikir menjadi pengusaha muda yang sukses itu mudah? Tidak mudah, bro! Butuh kecerdasan, kerja keras, keuletan dan sikap pembelajar. Tapi secara riil dia sudah membuktikan dia cukup berhasil. Tidak dengan kata-kata macam motivator di atas panggung, "10 langkah anti gagal menjadi entrepreneur sukses", tapi dengan bukti nyata.

Dan kualifikasi tersebut menurut saya cukup menjadi modal Gibran memimpin sebuah kota. Cerdas, ulet, kerja keras dan pembelajar.

Seorang pembelajar akan mampu cepat beradaptasi menghadapi lingkungan dan tantangan baru. Itu yang penting.

Jadi jangan buru-buru lah menghakimi Gibran hanya karena ia muda dan belum berpengalaman di dunia politik. Semua orang juga awalnya belum berpengalaman. Pengalamannya adalah ketika kita memberi kesempatan kaum muda untuk memimpin!

Indonesia dengan populasi sekian banyak masih krisis pemimpin, bro!

Kenapa? Karena kita suka sekali mencibiri kemampuan kaum muda, bahkan sebelum mereka memulai.

Hasilnya? Kita selalu punya pemimpin, "kamu lagi kamu lagi".

Sadar tidak, bahwa sesungguhnya kita sendiri lah yang memelihara feodalisme dan oligarki?

Inlander. Operdomsyeehh...!

***
.