Rakyat Papua marah besar. Gedung DPRD di Manokwari, Papua Barat dibakar. Pangdam VIII Kasuari dan Kapolda Papua Barat yang mencoba meredakan situasi justru dilempari massa sehingga harus dievakuasi.
Peristiwa di Manokwari hanyalah asap. Apinya berada di Malang dan Surabaya, Jawa Timur. Provokasi sesungguhnya bukan datang dari akun-akun di media sosial seperti kata Humas Polri, melainkan dari cara polisi menangani situasi.
# Pembiaran Bentrokan Horizontal di Malang
Kamis (15/8) mahasiswa Papua yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) di Kota Malang menggelar unjukrasa. Polisi berpandangan aksi itu tidak diperbolehkan sebab salah satu tuntutannya menyinggung soal kemerdekaan Papua.
Tindakan polisi melarang aksi unjukrasa yang mengangkat aspirasi kemerdekaan bisa dipahami. Ia diperintah undang-undang untuk mencegahnya.
Tetapi di saat yang sama, Polisi juga melanggar undang-undang dengan membiarkan sekelompok ormas bertindak seolah-olah punya wewenang untuk membubarkan aksi massa itu.
Dalam UU Ormas No 16/2017 disebutkan ormas dilarang "melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan." Ormas yang mengambilalih tugas dan wewenang penegak hukum adalah pengacau keamanan, pelanggar hukum yang seharusnya ditindak tegas.
Gara-gara pembiaran terhadap ormas-ormas yang menghadang unjukrasa mahasiswa Papua, bentrokan pecah. Mahasiwa Papua membalas lemparan batu yang dilakukan kelompok ormas pengacau keamanan.
Bukannya mengamankan kedua pihak, polisi Malang hanya mengamankan mahasiswa Papua. Sementara ormas pengacau keamanan yang memprovokasi bentrokan dengan melemparkan batu dan melontarkan caci-maki rasis tampak dibiarkan, bahkan seolah-olah bahu membahu dengan polisi.
Lima orang mahasiwa Papua terluka dalam bentrokan horizontal tersebut.
# Pembiaran Pengepungan oleh Ormas dan Tindakan Berlebihan Aparat TNI dan Polri di Surabaya
Kejadian di Surabaya, Sabtu (17/8) hampir sama. Sekelompok ormas, ada yang berseragam Front Pembela Islam (FPI) dan Pemuda Pancasila, mengepung asrama Papua sambil meneriakkan yel-yel "bantai Papua." Konon mereka dipicu foto yang beredar di WAG, menampilkan bendera merah putih dibuang ke selokan dan tiang bendera dipatahkan.
Bukannya membubarkan massa ormas yang mengepung asrama Papua dan melakukan penyelidikan terhadap kebenaran dugaan pengrusakan tiang bendera, polisi justru bertindak berlebihan, melontarkan tembakan gas air mata untuk mengevakuasi mahasiswa Papua yang sedang berlindung dari ancaman amukan massa ormas. Korban yang seharusnya dilindungi malah diperlakukan sebagai penjahat.
Tindakan polisi mengangkut mahasiswa Papua untuk diperiksa terkait dugaan pengrusakan bendera sudah tepat. Tetapi pembiaran terhadap ormas-ormas pengacau keamanan yang melontarkan seruan rasis adalah keliruan besar.
"Di Surabaya, kami justru mengamankan mahasiswa Papua karena jika tidak, akan diserang oleh massa ormas yang kondisinya sudah terprovokasi," ujar Frans Barung Mangera, Humas Polda Jatim. Ini khas jawaban polisi di masa Orde Baru dahulu. Bukannya menindak tegas ormas-ormas pelanggar hukum, polisi justru menggunakan mereka sebagai legitimasi tindakan represifnya terhadap rakyat.
# Bukan Pola Penanganan yang Pancasilais
Penanganan persoalan Papua harus Pancasilais. Dalam Pancasila, kebangsaan (sila ke-3) dan kemanusiaan (sila ke-2) setara posisinya. Bung Karno mengistilahkan kombinasi dua sila ini sebagai sosio-nasionalisme. Kebangsaan tidak bisa ditegakkan tanpa kemanusiaan. Orang-orang Papua kian sulit dibujuk mencintai NKRI jika aksi-aksi rasis yang dilakukan ormas-ormas pengacau keamanan terus dibiarkan bahkan terkesan dipelihara oleh aparat.
Saya kira Kapolri perlu mengevaluasi Polda Jawa Timur. Jika ternyata pembiaran keterlibatan ormas-ormas pengacau keamanan menjadi pola yang dengan sengaja ditempuh jajaran kepolisian di Jawa Timur dalam menangani aspirasi pemuda dan rakyat Papua, Kapolda Jatim layak diberhentikan dari jabatannya.
Selanjutnya, penataran P4 dan pendidikan HAM perlu digelar massif bagi jajaran kepolisian seperti janji Presiden Joko Widodo dalam debat capres tempo hari.
Sumber:
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews