Sembilan puluh tahun lalu mereka disebut pemuda. Kini kita lebih senang melabeli mereka milenials. Generasi milenials, pemuda masa kini adalah mereka yang lahir antara 1981 hingga 1996, demikian definisi terbaru milenials ditegaskan Pew Research Center.
Pada 1928 para pemuda menyatukan tekad, melupakan segala perbedaan dan menyatakan kesungguhan, bersumpah bertumpah darah satu, tumpah darah Indonesia; berbangsa satu, bangsa Indonesia; dan berbahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Pada 1998, dalam gerakan menumbangkan kekuasaan Soeharto dan Orde Baru, para pemuda memodifikasi sumpahnya. Mereka menyatakan bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan; berbangsa satu, bangsa yang gandrung akan keadilan; dan berbahasa satu, bahasa kebenaran.
Rumusan sumpah pemuda era perjuangan reformasi ini sebenarnya bermula pada 1988, dalam peringatan 60 tahun sumpah pemuda.
Bicara tentang berbahasa satu, bahasa kebenaran, saya jadi teringat dua sosok generasi milenials, alias pemuda yang sepekan terakhir ini menyita perhatian publik.
Keduanya sama-sama turunan tokoh terkenal, seharusnya bisa menjadi contoh dari kualitas terbaik pemuda masa kini. Sayang, tingkah laku keduanya bertolak belakang.
Tokoh milenials yang pertama adalah Hanum Rais. Ia anak Amien Rais, orang yang dahulu pernah menjadi tokoh dan diklaim sebagai penjasa besar reformasi.
Hanum Rais adalah generasi milenial awal sebab lahir pada 12 April 1982. Ia lulusan kedokteran gigi namun berprofesi penulis.
Nama Hanum Rais heboh belakangan ini karena keterlibatannya dalam skandal penyebaran kabar bohong Ratna Sarumpaet.
Keterlibatan Hanum Rais unik. Para jubir capres-cawapres Prabowo-Sandiaga umumnya menyebarluaskan kabar bohong Ratna Sarumpaet ditambah kalimat framing yang mengarahkan kesimpulan bahwa Ratna Sarumpaet dipukuli karena kekritisannya kepada pemerintah. Dengan begitu mereka mendiskreditkan capres petahana Joko Widodo sebagai tidak demokratis dan menghalalkan teror untuk membungkam lawan.
Hanum Rais tidak sekedar melakukan framing. Hanum menciptakan kebohongan baru agar orang percaya Ratna Sarumpaet sungguh dipukuli.
Hanum mengarang-ngarang, mengaku-ngaku sebagai dokter yang paham luka yang diderita Ratna Sarumpaet, menyatakan sudah memeriksa luka itu dan memastikan itu akibat dipukuli.
Komunikasi publik yang Hanum Rais sampaikan melalui media sosialnya tergolong aksi strategis jika kita pinjam terminologi Habermas. Hanum melakukannya secara tak langsung untuk menyanggah aksi komunikatif yang dengan tulus dilakukan dr. Tompi untuk mendapatkan kebenaran.
Sebelumnya dr. Tompi menjelaskan, berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya sebagai ahli bedah plastik, luka yang diderita Ratna Sarumpet yang simetris antara sisi kiri dan kanan wajahnya adalah luka khas hasil operasi plastik. Dr. Tompi menawarkan diri untuk memeriksa luka Ratna Sarumpaet. Tawaran ini semata-mata untuk menemukan kebenaran, sebuah aksi komunikatif.
Untuk membantah itu, Hanum Rais bukan menggunakan argumentasi sebagai instrumen bahasa yang sehat dalam aksi komunikatif. Hanum mengeksploitasi perangkat non-bahasa, penipuan. Ia berusaha menghentikan diskusi dan adu argumentasi dengan memanipulasi statusnya sebagai seorang dokter. Ia mencoba meyakinkan publik bahwa sebagai dokter ia telah memeriksa Ratna Sarumpaet dan memastikan lukanya benar akibat pemukulan. Tindakan Hanum Rais adalah aksi strategis.
Jika aksi komunikatif bertujuan mencapai pemahaman bersama, aksi strategis bertarget kemenangan, yaitu diterimanya pandangan pelaku secara mutlak. Tentu Hanum Rais punya maksud terselubung sehingga memaksa publik menerima begitu saja klaimnya yang berbasis kebohongan itu bahwa Ratna Sarumpaet dipukuli.
Jika publik percaya Ratna Sarumpaet dipukuli, akan mudah diarahkan untuk berpikir peristiwa itu terkait sikap kritis Ratna Sarumpaet kepada pemerintah. Unjung-unjungnya Pemeritahan Joko Widodo yang dituding. Hal ini akan menurunkan elektabilas Joko Widodo sebagai capres petahana dalam pilpres 2019 dan sebaliknya menguntungkan Prabowo Subianto.
Hanya saja kita tak tahu, Hanum Rais melakukan ini atas inisiatif sendiri atau karena disuruh bapaknya, Amien Rais, atau diminta oleh tim sukses Prabowo-Sandiaga.
Yang jelas, dengan kebohongannya Hanus Rais mengangkangi semangat sumpah pemuda era perjuangan reformasi, "berbahasa satu, bahasa kebenaran."
Di tengah kekecewaan kita akan Hanum Rais, beruntunglah muncul sosok yang satu ini. Jika Hanum melekatkan citra pembohong kepada generasi milenial, sosok satu ini justru menunjukkan contoh bagaimana bahasa kebenaran itu.
Namanya Gustika Jusuf Hatta. Ia anak Halida Hatta, putri bungsu proklamator NKRI Mohammad Hatta. Jika Hanum Rais adalah angkatan awal generasi milenial, Gustika Hatta tergolong generasi akhirnya. Ia lahir 19 Januari 1994.
Meski belia, kualitas diri Gustika Hatta jangan diragukan. Yang jelas mutu diri lulusan War Studies di King's College London ini lebih jauhlah dibandingkan Dahnil Anzar atau Faldo Maldini.
Gustika Hatta menjadi sorotan publik setelah kicauan pedasnya menanggapi video kampanye Dahnil Anzar dan Faldo Maldini yang menyama-nyamakan Sandiaga Uno dengan Bung Hatta.
"Untuk orang yg kesabarannya minus kyk gue gini denger kakek gue disamain sama sandiaga uno rasanya mau muntah," tulis Gustika di Twitter.
Gustika pantas marah. Ia kesal karena setiap momentum pemilu tiba, nama kakeknya, Datuk Hatta dan Eyang Karno dibawa-bawa, dicatut untuk menaikkan citra diri pada politisi.
Gustika menilai karakter, latar belakang, dan kiprah para politisi itu beda jauh, bahkan bertolak belakang dengan Bung Karno dan Bung Hatta.
Gustika merasa sebagai orang yang mengetahui persis bagaimana gagasan dan perjuangan Bung Hatta, klaim politisi yang menyama-nyamakan diri dengan Bung Hatta tak boleh dibiarkan. Publik tak bisa terus dibohohi. Maka keras dan tegaslah Gustika merespon pernyataan Dahnil Anzhar.
Bagi kaum tua, cuitan Gustika mungkin terlampau pedas, terlalu apa adanya. Namun demikianlah generasi milenial seharusnya. Mereka mengutamakan kejujuran meski pahit dibandingkan kepura-puraan yang membodohi.
Nah, generasi milenial tentu butuh role model, bukan dari kalangan tua, namun dari sesama mereka. Siapakah yang mereka gugu? Hanum Rais yang rela berbohong demi tujuan yang entah apa--dugaan saya demi ambisi politik kubu yang dipihaki ayahnya-- atau Gustika Hatta yang cerdas namun judes, tak sungkan melabrak pihak yang menurutnya memproduksi klaim palsu tanpa dasar itu.
Sebagai bukan generasi milenial, saya tak malu memuja Gustika Hatta. Maju terus, sist, Bung Hatta pasti bangga padamu.
Sumber:
Dipublikasi sebelumnya di Kompasiana.com/tilariapadika
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews