Oleh : Galang Faizan Akbar
Tokoh pendidikan harus anti radikalisme karena ia adalah teladan yang akan ditiru. Oleh karena itu para pendidik harus dipastikan anti radikalisme dan memiliki rasa nasionalisme yang tinggi.
Sekolah adalah tempat untuk menerima pendidikan yang baik, dan seorang guru sangat dihormati karena ia mengajarkan ilmu pengetahuan kepada para murid. Sedangkan kepala sekolah memimpin lembaga pendidikan tersebut agar makin baik dan memiliki banyak prestasi.
Namun alangkah sayangnya ketika ada tokoh pendidikan yang bukannya mencari cara agar murid-muridnya bertambah cerdas, malah terpapar radikalisme. Sebagai pendidik tidak seharusnya ia menjadi pendukung kelompok radikal dan teroris.
Kepala Pusat Litbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Balitbang Diklat Kemenag RI, Mohsen, menyatakan bahwa sektor pendidikan perlu jadi perhatian serius untuk mencegah radikalisme dan ekstrimisme sejak dini. Ia menyarankan untuk dilakukan ‘vaksinasi’ anti radikalisme terhadap tokoh pendidikan sehingga akan terbentuk imunitas yang kuat.
Mohsen menambahkan, wawasan toleransi dan moderasi beragama perlu digenjot di setiap sektor pendidikan. Dengan demikian, bangunan pemahaman moderasi beragama akan terbangun dengan kokoh.
Dalam artian, tokoh pendidikan wajib diberi pemahaman anti radikalisme karena ia berperan penting di sekolah. Jangan sampai seorang guru terlibat radikalisme dan menyebarkannya di dalam kelas, karena murid-muridnya akan terpengaruh. Guru adalah sosok yang dihormati dan jangan sampai malah dicerca gara-gara terlibat kelompok radikal dan teroris.
Seorang guru akan ditiru oleh murid-muridnya, oleh karena itu ia wajib memberi teladan dan berperilaku postif. Jangan malah menyebarkan radikalisme secara diam-diam karena akan berbahaya. Para murid diracuni otaknya lalu mereka bercita-cita jadi pengebom andal, bukannya ingin jadi dokter atau insinyur.
Pendidik harus anti radikalisme karena lingkungan sekolah harus bersih dari terorisme dan radikalisme. Apalagi jika berstatus sebagai pegawai negeri dan ia bisa diskors karena perbuatannya yang menghianati negara. Pendidik yang terlibat radikalisme sangat memalukan dan harus diberi hukuman agar tidak mengulangi perbuatannya yang tidak nasionalis.
Oleh karena itu saat ini penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) guru harus lebih ketat daripada tahun-tahun sebelumnya. Selain tes matematika dan pengetahuan umum, ada tes untuk mencari tahu apakah seorang peserta ujian CPNS terhubung dengan kelompok radikal atau tidak. Penyaringan dilakukan dengan ketat agar tidak ada PNS guru yang terilbat radikalisme.
Sementara itu, Bupati Jepara Dian Kristiandi menyatakan bahwa para murid dan guru harus waspada terhadap radikalisme di sekolah. Penyebabnya karena menurut sebuah survey, ada lebih dari 10% sekolah yang terpapar oleh radikalisme.
Dalam artian, radikalisme di lingkungan pendidikan sangat berbahaya karena bisa meracuni pemikiran para murid yang polos, apalagi jika mereka masih SD. Jangan sampai anak-anak malah bercita-cita jadi teroris dan mengebom fasilitas umum. Mereka harus bebas dari radikalisme yang bisa merusak bangsa.
Untuk mencegah radikalisme di lingkungan pendidikan maka bisa digunakan beberapa cara. Pertama, perlunya kurikulum anti radikalisme yang mengajarkan tentang serba-serbi radikalisme, agar para murid bisa mengetahui ciri-cirinya. Tidak perlu takut untuk mengajarkan mereka mengenai sejarah radikalisme, organisasinya, dll. Penyebabnya karena justru setelah paham, mereka akan menghindarinya.
Cara kedua adalah dengan pendidikan literasi media. Para murid tidak hanya diajarkan cara membaca dan membuat resensi buku. Namun mereka juga diberi ilmu literasi media, terutama pada media online. Saat ini ada media online buatan kelompok radikal, yang sengaja menyebarkan hoaks dan propaganda, dengan tujuan untuk mencari pendukung dari netizen di seluruh Indonesia.
Jika para murid memahami literasi media maka mereka tidak akan mudah terpancing oleh propaganda dan bertekad untuk anti hoaks. Mereka paham bagaimana membedakan antara berita asli dan berita palsu. Setelah paham, maka akan mengajarkannya ke orang tua di rumah, sehingga makin banyak orang yang paham literasi media digital.
Cara ketiga adalah dengan mengajarkan para murid untuk berpikir kritis. Para guru wajib mengajarkannya karena jangan hanya menuntut murid untuk diam dan menulis saat pelajaran. Keterampilan untuk berpikir kritis sangat diperlukan karena mereka akan sadar bahwa radikalisme dan terorisme itu salah, karena berpikir bahwa yang diajarkan oleh kelompok radikal sangat berlebihan. Tidak mungkin ada khilafah karena Indonesia adalah negara pluralis.
Jika para murid biasa berpikir kritis dan diberi ruang untuk berpendapat, bahkan berdebat, maka mereka akan tumbuh jadi pribadi yang tangguh dan cerdas. Jika ada rayuan dari kelompok radikal maka tidak akan mempan, karena mereka sangat kritis dan mempertanyakan, apa hebatnya sistem khilafah? Sistem ini hanya cocok di negara monarki, sedangkan Indonesia adalah negara demokrasi.
Tokoh pendidikan harus anti radikalisme karena ia adalah guru yang digugu dan ditiru, dan perbuatan jeleknya (yang radikal) otomatis akan ditiru oleh para murid. Oleh karena itu guru harus diberi ‘vaksin’ berupa pemahaman anti radikalisme. Sebagai pendidik ia harus nasionalis dan tak boleh jadi penghianat negara.
)* Penulis adalah kontributor Persada Institute
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews