Keprihatinan Mahfud MD dan Jokowi Belajar Komunikasi dari Soeharto

Kini, Jokowi harus menggunakan Johnny G Plate, atau memecatnya. Kegundahan Mahfud MD tak mampu mengendalikan medsos pantas. Karena Tim Komunikasi Jokowi tidak sekuat Soeharto.

Sabtu, 21 Agustus 2021 | 08:34 WIB
0
193
Keprihatinan Mahfud MD dan Jokowi Belajar Komunikasi dari Soeharto
Ali Moertopo dan Soeharto (Foto: boombastis.com)

Saya sejak dulu paling senang dengan PR. Public Relations adalah salah satu kunci keberhasilan untuk mencapai tujuan politik – dan bisnis. Belajarlah dari Soeharto. Jokowi tak perlu belajar PR dari SBY yang tukang fitnah recehan.

Mantu anak koruptor Annisa Pohan sampai SBY tukang nyinyir. SBY cuma menjiplak satu strategi PR Soeharto, Ali Moertopo. Yakni merangkul teroris FPI dan HTI, dan kelompok kanan untuk menyerang Jokowi.

SBY ingat. Ali memakai DI TII untuk menghancurkan PKI; dengan isu ateis ciptaan Ali Moertopo. Pelaksana Sarwo Edhie Wibowo, menunggangi NU. SBY tidak menjiplak 100% cara membangun hoaks ala Soeharto. Maka, gagal.
Komunikasi Soeharto paling sukses. Harga cabe keriting di Pasar Induk Kramatjati dan Pasar 45 Manado diketahui publik . Hal penting dan politis, Soeharto sampaikan lewat Harian Angkatan Bersenjata, Suara Karya, dan TVRI. Sebelumnya awal 1965-1966, Harian API, milik Harmoko.

Jangan pikir zaman jadul tidak ada medsos! Medsos zaman Soeharto berbentuk komunikasi mulut ke mulut. Isu dan fitnah disebar. Sengaja dibuat (framing) yang disampaikan agen, kurir berita, untuk membentuk opini.

Eyang saya Presiden Soeharto adalah ahli komunikasi paling top. Dia dekati musuh; dikunci. Dalam khasanah Jawa: Dipangku mati. Dengan cara itu, dia akan mampu mengetahui seluruh gerak-gerik musuh, dan target.

Kisah keberhasilan PR Soeharto dimulai sejak rancangan G30S. PR sebagai bagian strategi disusun sendiri oleh Soeharto. Peran dibagi-bagi. Ada pion dan scapegoat (kambing hitam). Ali Moertopo sebagai otak; Letkol Untung sebagai Scapegoat.

Maka untuk menjalankan misi G30S, Gestapo, dia memercayakan Letkol Untung, karibnya. Untuk di permukaan; yang disebarkan ke berbagai kelompok – musuh dan internal.

Ali untuk fungsi lain. Soeharto memilihnya untuk pembangunan strategi isu. Ali super cerdas. Lulusan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Pernah jadi opsir spionase Belanda tahun 1942 di Nederlands Force Intelligence Service (NEFIS). Dia kabur tahun 1943, karena tahu Belanda akan kalah.

Hebatnya komunikasi Soeharto, hingga sampai eksekusi mati, 6 Maret 1966, Untung tetap percaya Soeharto akan menyelamatkannya. Soebandrio termakan isu yang disebar Ali Moertopo. Dan, menguatkan kedekatan Soeharto dan Untung.

Terus dari mana Untung tetap percaya Soeharto akan menyelamatkannya? Lewat informasi yang disebarkan oleh Ali Moertopo ke kelompok PKI: ke kubu DN Aidit. Sampai ke Soebandrio. Begitu Soebandrio termakan hoaks, maka dia tersangkut, disangkutkan. Cerdas bener Soeharto.

Dengan, demikian Soeharto menciptakan dua pisau informasi hoaks. Satu pisau mengungkap kedekatan Untung dengan DN Aidit, dan Bung Karno. Satu pisau informasi lagi mengarah ke geng Soeharto sendiri. Letkol Untung.
Soeharto berhasil membangun opini, lewat kaki tangan terpercaya: Ali Moertopo.

Ali pentolan Opsus (Operasi Khusus) dalam dan luar negeri yang bahkan mampu mengerdilkan Biro Pusat Intelijen (BPI) pimpinan Soebandrio.

Lebih hebat lagi. Ali Moertopo dekat sekali dengan Jenderal Ahmad Yani. Yani adalah target hoaks isu Dewan Jenderal, yang menjadi target G30S bikinan eyang Soeharto sendiri. Top.

Dan, diseminasi hoaks ala Soeharto sukses. Publik geram: Letkol Untung, selain DN Aidit, tertuduh perancang G30S. Bukan Soeharto.

Di kemudian hari Soeharto, setelah keberhasilan G30S Soeharto memainkan political psycho. Psikologi politik. Dia menciptakan seluruh bangunan komunikasi ke trio Ali Moertopo, lalu Benny Moerdani, dan terakhir Harmoko. Dengan, tak lupa menghancurkan nama AH Nasution dan Bung Karno, lewat hoaks dan desas-desus yang dibangun oleh Ali Moertopo.

Cara komunikasi Jokowi di Solo mantap. Ada Eko Sulistyo di sana. Woro-woro dengan foto dan dokumen. Medsos belum maksimal. FB dan Blackberry jadi andalan. Foto dengan tukang becak. Nasionalisme dibangun dengan isu mobil SMK. Top. Ketika di KSP, Eko Sulistyo memampangkan Monumen Candi Hambalang. Cukup menghancurkan SBY.

Kini, Jokowi harus menggunakan Johnny G Plate, atau memecatnya. Kegundahan Mahfud MD tak mampu mengendalikan medsos pantas. Karena Tim Komunikasi Jokowi tidak sekuat Soeharto: baik intelijen maupun pelaku lapangan. Tim Komunikasi milenial Istana tanpa didukung kemampuan intelijen sebrilian Ali Moertopo dan Harmoko hanya membuahkan buih kegaduhan tanpa esensi.

Ninoy Karundeng.

***