Usai Kongres, Apa yang Selesai?

Selasa, 30 Maret 2021 | 06:35 WIB
0
203
Usai Kongres, Apa yang Selesai?
HMI (Koleksi Kalaliterasi)

Satu persatu delegasi peserta pemilik suara kongres tiba di kampung halaman, dan juga kediaman masing-masing.

Begitu pula ketibaan para penggembira, juga mulai berdatangan. Lokasi kongres telah bersih, berganti dengan aktivitas lainnya.

Adakah Kongres telah menghasilkan keputusan yang menjadi pondasi bagi kepengurusan untuk satu periode ke depan?. Kita tunggu terbentuknya kepengurusan.

Hanya saja, satu catatan yang dapat kita simak Bersama. Betapa menyusun “kabinet” merupakan kerumitan tersendiri.

Bahkan dalam kesempatan pelantikan 2016 di Ciputat, sambutan dan semua seremonial untuk memulai pelantikan telah dilaksanakan. Tetapi susunan pengurus tak kunjung usai juga.

Maka, lantunan Indonesia Raya dan Himne HMI, terpisah dengan prosesi pelantikan. Adapun acara untuk pengambilan sumpah pengurus akhirnya dihelat dini hari.

Ini dapat menjadi gambaran bahwa untuk sebuah struktur sama rumitnya dengan memenangkan pertarungan suara di kongres.

Satu hal lagi, kemeriahan pelantikan tidak dibarengi dengan kemeriahan wujud kerja. Hasil kongres Ambon, mengabarkan suasana pelantikan dengan pakaian serba putih dan kemewahan tersendiri.

Hanya saja, dalam perjalanannya justru memunculkan adanya kepengurusan ganda.

Kesepakatan untuk menyatukan suara di kongres, tidak diteruskan ke kesepakatan dalam bekerja bersama, begitu juga bersama-sama bekerja.

Kemampuan yang dicapai sebatas mengkonsolidasi suara, hanya saja mengartikulasikannya dalam bentuk sebuah pekerjaan masih memerlukan waktu untuk mencapainya.

Secara khusus, saya menelusuri kabar dari instagram pengurus cabang yang berpartisipasi dalam kongres.

Bolehjadi apa yang digambarkan mas Airlangga menjadi fenomena tersendiri.

Kehadiran para peserta, dan juga penggembira tidak disemarakkan dengan aktivitas keilmuan.

Justru yang terlihat hanyalah jalan-jalan ke seentaro destinasi wisata di Jawa Timur, tak ketinggalan Gunung Bromo.

Rangkaian seminar, ataupun bedah buku, tidak lagi mewarnai aktivitas kongres. Bahkan kericuhan, saling lempar kursi menjadi rutinitas.

Tidak saja bagi HMI-wan, begitu pula dengan HMI-wati yang turut dalam perebutan palu sidang. Bahkan menjadikannya “tongkat” estafet di antara sesama peserta.

Kongres mahasiswa tak ubahnya dengan kongres yang lain. Hanyalah sekedar kehadiran para pemilik suara, kemudian didampingi oleh mentor dan juga don yang “menjahit” dan merapikan suara itu.

Sama sekali tidak disandingkan dengan aktivitas keilmuan yang menjadi bagian kegiatan kongres.

Atau penjelasannya adalah masa-masa pagebluk covid-19.

Namun, itu tidak menjadi kondisi untuk menyerah. Tentu Jawa Timur memiliki infrastruktur digital yang memungkinkan aktivitas akademik tetap dapat berlangsung.

Lagi-lagi, diseminasi maklumat tidak dieksekusi oleh pengurus. Justru keberadaan Lembaga kultural HMI-lah yang menjadi penyebar informasi. Ada Historia HMI, begitu pula Yakusa, keduanya bersama-sama mengabarkan perjalanan detik demi detik kongres dan juga munas Kohati.

Struktur kepengurusan, dan juga panasko, semuanya tersita pada urusan lain. Tidak ada yang ditumpukan untuk mendokumentasikan momentum historis dua tahunan ini.

Begitu pula kesemarakan kongres tidak diwarnai dengan gagasan para kandidat. Hanya poster profil pribadi yang melintasi lini masa media sosial.

Selain pernyataan Presiden RI, Joko Widodo di seremonial pembukaan, dan begitu pula denga pernyataan Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, usai kongres ketika ketua umum terpilih dan pengurus demisioner bersilaturahmi, tak terlihat uraian ataupun taklimat pers dari panitia maupun para kandidat.

Padahal dengan ketersediaan flatform media sosial dan perangkat lainnya melalui laman web, memungkinkan untuk menyebarluaskan informasi mengenai arah perjalanan HMI pada periode yang akan datang.

“Pesta” telah selesai. Perdebatan untuk mengungulkan calon ketua umum juga telah selesai. Kini, ketua umum telah terpilih, dan kontestasi untuk duduk dalam susunan kepengurusan di PB juga dimulai.

Satu hal lagi, saya membayangkan dimana kongres sejatinya akan menjadi kesempatan tertinggi memutuskan urusan strategis organisasi.

Kemudian, setelahnya semua kader pasca kongres akan mengeksekusinya di wilayah kepengurusan masing-masing.

Begitu pula dengan penggembira yang datang. Mereka menyambangi majelis ilmu, dan pulang dengan setumpuk buku yang merupakan oleh-oleh dari kajian ataupun seminar yang disambanginya.

Namun, itu utopis. Kongres HMI kini tak ubahnya dengan perhelatan partai politik. Dimana urusan yang menjadi perhatian utama dan satu-satunya hanyalah pada urusan suara para cabang.

Mari menantikan kongres berikutnya, semoga ini bukan yang terakhir, dan dua tahun yang akan datang, semuanya sudah berubah.