Tudingan aji mumpung, memanfaatkan politik dinasti, terasa tendensius. Memangnya ketika lahir boleh milih ayah, agar tak repot kalau mau ngapa-ngapain?
Seorang pengamat politik mengatakan, jika Didi Kempot maju ke Pilwakot Solo, ia bisa mengalahkan Gibran Rakabuming. Karena? Karena Didi Kempot popular. Ambyar!
Menang karena popular masih jadi teori. Pantes banyak artis ketipu. Tapi kesannya jadi kayak menghina orang Solo, yang lebih tahu siapa Didi Kempot dan Gibran. Lord Didi bukan hanya popular di Solo, melainkan hingga Suriname. Tapi apakah orang Suriname ikut nyoblos di Pilwakot Solo? Sementara warga Solo yang punya hak suara, apakah tak mengenal Gibran?
Mendelegitimasi atau mengendors itu khas pengamat partisan. Apalagi dengan preferensi tertentu, menghakimi calon. Di situ amatan menjadi sering tidak adil, di samping tidak jujur.
Politik dinasti karena hanya melihat sisi seseorang adalah anak seseorang. Tak melihat bagaimana prosedur, sistem dan mekanisme semua itu berdasar aturan demokrasi. Dalam sistem demokrasi, tidak sebagaimana kerajaan atau pesantren.
Dari Sukarno jadi hingga Soeharto yang otoriter, atau siapapun, tak bisa mewariskan kepresidenan pada anak-anak mereka. Jokowi tak bisa nunjuk Gibran menjadi walikota, atau gubernur. Tak sebagaimana Soeharto mengangkat Mbak Tutut jadi Mensos, bukankah Jokowi tak pernah ngangkat anak atau kerabatnya ke Istana?
AHY kalah di Pilgub Jakarta, padahal dinasti politiknya moncer. Megawati, anak raksasa Sukarno, berapa kali kalah dalam kontestasi presiden? Mengapa sebagai ketum partai, punya orotitas mencapreskan diri, malah diberikan Jokowi untuk Pilpres 2014?
Tudingan aji mumpung, memanfaatkan politik dinasti, terasa tendensius. Memangnya ketika lahir boleh milih ayah, agar tak repot kalau mau ngapa-ngapain?
Teori kemenangan dalam kontestasi politik berdasar popularitas, juga kacrut rasanya. Apa jaminan Didi Kempot bisa ngalahin Gibran? Kapasitas? Kapabelitas? Dari mana ngukurnya? Dengan popularitasnya, Ahmad Dhani kandas di Pilbup Bekasi, setelah gagal dicagubkan di DKI Jakarta.
Untuk Pilwakot Solo, tentu lebih relevan mendengar yang diketahui dan diinginkan warga Solo. Mereka lebih tahu siapa Didi Kempot dan siapa Gibran. Cara pandang pengamat seperti itu, menghina masyarakat yang tumbuh. Rakyat kini mudah mengakses apapun, termasuk untuk tak mudah percaya teori-teori asbun.
Apalagi Gibran bukan anak mami. Bukan pula anak papi. Ia berlatar belakang pendidikan yang baik. Punya reputasi kemandirian. Track record dan perjalanan karir jelas. Memang kalau jualan martabak tak bermartabat? Fahri Hamzah nyuruh Gibran nggak usah aneh-aneh. Tapi PKS sudah mendekati.
Menjadi anak presiden membuat celaka 13, atau menjadi anak orang sukses bikin karir terhambat? Bisa jadi akan ada doa kurangajar. Anak-anak lebih aman berdoa agar ortunya jadi produk gagal. Karena betapa sakitnya, sukses atas perjuangan sendiri, tapi dibully; Wajar saja, wong ortumu kaya dan kuasa!
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews