"Tiga gajah bertarung, rusa mati di tengah-tengah"
Pasca hari pencoblosan pada Pilpres dan Pileg 2019 ternyata justru makin panas! Ada ketidakpuasan kubu 02 terhadap hasil yang dicapainya yang dieksperesikan dengan menciptakan narasi kecurangan oleh penyelenggara pemilu.
Narasi itu memiliki berbagai bentuk turunan politis yang berkembang didalam masyarakat yang lekat dengan media sosial (medsos) dan teknologi informasi saat ini.
Narasi kecurangan muncul jauh hari sebelum hari pencoblosan Pilpres 2019 berlangsung, kemudian mendapatkan legitimasinya ketika berbagai proses perhitungan suara berjalan tidak sempurna di tingkat operasional. Kesalahan hitung, kekurangan kertas suara, penemuan kertas suara tanpa tuan, petugas meninggal kelelahan, politik uang, dan lain sebagainya.
Sasaran narasi kecurangan itu ditujukan kepada KPU, namun interpreasi politis sengaja diperluas di tingkat masyarakat awam menjadi kecurangan pemerintahan Jokowi yang saat ini menjalankan roda pemerintahan.
Kubu Politik, KPU dan Pemerintahan Jokowi
Hal yang ternyata "sengaja dibuat rancu" dalam pemahaman publik adalah tidak adanya pembedaan kubu 01 (Jokowi/Ma'ruf) sebagai partisipan Pilpres 2019, dengan pemerintahan Jokowi yang sedang berjalan. Di dalam pemerintahan itu ada lembaga KPU (Komisi Pemilihan Umum), sebuah lembaga negara yang secara sah menurut undang-undang bertugas sebagai penyelenggara pemilu selama negara ini berdiri, jadi bukan hanya selama pemerintahan Jokowi.
Lembaga KPU terbentuk melalui proses politik yang transparan. Para Komisioner KPU merupakan personel penting pengambil keputusan penyelenggaraan pemilu. Mereka bekerja dalam satu era perpolitikan (5 tahun), yang pada era sekarang juga melibatkan semua partai politik peserta pemilu 2019. Didalamnya ada partai politik kubu 02 (Gerindra, PAN, PKS) serta kubu 01 (PDI Perjuangan, Golkar, Hanura, Nasdem, dll).
Sejatinya, kalau bicara tentang KPU, bukan semata pemerintahan yang sedang berkuasa, melainkan semua partai politik peserta Pemilu. Anggota KPU pusat atau Komisioner KPU dipilih partai politik dalam mekanisme di DPR RI, sedangkan KPU daerah dipilih dalam mekanisme di DPRD yang didalamnya merupakan partai-partai politik sama dengan yang di tingkat pusat.
Dalam proses pelaksanaan Pemilu, KPU bersama partai-partai politik peserta pemilu merupakan pelaksana nyata di lapangan, mulai dari saat pencoblosan di setiap TPS, perhitungan suara tingkat TPS, rekapitulasi tingkat kelurahan, tingkat kecamatan, KPU Daerah sampai pada perhitungan tingkat KPU Pusat.
Konteks bangunan proses tersebut seringkali luput dari perhatian dan pemahaman publik, sehingga narasi kecurangan diidentikkan dengan kecurangan dilakukan pemerintahan yang sedang berkuasa.
Ketika narasi kecurangan sudah membesar dan melahirkan berbagai turunan narasi, kemudian akan memuncak pada rencana aksi 22 Mei, maka seluruh masyarakat yang terkena imbasnya. Mereka diliputi kecemasan dan ketakutan bahwa aksi tersebut akan menjadi tragedi politik yang berdarah-darah, dan lain sebagainya.
Aksi 22 Mei dan "Jebakan Batman"
Narasi kecurangan dan aksi 22 Mei (people power?) sebagai satu paket narasi besar kemudian harus berhadapan dengan narasi besar lainnya, yakni Makar. Di situlah kemudian muncul "pemain lain" dalam psywar (perang psikologis) politik kubu 01 dengan kubu 02. Pemain tersebut adalah aparat keamanan (TNI dan Polri).
TNI dan Polri hadir ke gelanggang sebagai pembela negara, bangsa, dan rakyat Indonesia, bukan terhadap kubu politik tertentu karena kubu politik bersifat temporer, dan partai politik bersifat tidak tetap---bisa saja di periode masa depan jadi bubar atau tidak lolos aturan pemilu.
Selama negara NKRI berdiri maka TNI dan Polri menjadi garda terdepan pembela negara dari berbagai ancaman, baik dari dalam maupun luar negeri. Sayangnya, turunan narasi kecurangan yang telah berkembang juga menyerang TNI/Polri yang digambarkan tidak netral, dan bagian dari kubu 01.
TNI dan Polri tidak tinggal diam terhadap perang narasi.
Mereka memunculkan narasi besarnya, yakni Makar---sebagai labeling kepada pihak kelompok/aktor politik dan kelompok masa yang membuat kekacauan negara, atau mencoba melakukan perebutan kekuasaan secara inkonstitusional. Celakanya, hal tersebut lekat dengan agenda perhitungan suara Pilpres/Pileg, dari awal proses sampai pada pengumuman tanggal 22 Mei 2919.
Bila menyimak lebih jauh narasi aksi 22 Mei dihadapkan dengan narasi makar, sebagian publik akan mengira hal itu sebuah "jebakan batman". Pertanyaannya ; "Jebakan Batman" dari siapa? Aparat aparat keamanan kah? Atau, segelintir aktor politik? Hal ini akan sangat menarik untuk disimak. Kelak akan terjawab lewat kacamata hukum, yang kemudian menjadi catatan penting bagi sejarah politik bangsa ini.
Narasi vs 'Narasi' vs "Narasi"
Kini puncak perang narasi yang terbentuk berupa perang tiga gajah besar, yakni Kubu 01, kubu 02, dan TNI/Polri. Dimana posisi pemerintahan Jokowi? Untuk era sekarang, pemerintahan Jokowi berada bersama rakyat. Kenapa? Karena secara sah, suka atau tidak suka, pemerintahan Jokowi sebagai representasi rakyat dan negara.
Dalam perang segi tiga itu, masing-masing memperjuangkan misinya. Kubu 01 dan 02 berkelahi memperjuangkan kepentingan politiknya masing-masing. TNI/Polri (dipaksa kondisi) ikut berkelahi karena harus memperjuangkan kepentingan rakyat, bangsa dan negara Indonesia agar tetap tegak dan berwibawa dimata rakyat dan bangsa-bangsa seluruh dunia yang sedang menyimak arena perang segitiga tersebut.
Perlu dicatat bahwa peradaban demokrasi Indonesia kini menjadi rujukan hebat bangsa-bangsa lain di dunia. Kita tak ingin rujukan itu hancur karena ambisi ngawur kelompok politik dalam negeri, apalagi oleh segelintir aktor politik yang tega menjual bangsa dan negaranya di arena pertarungan tak beradab.
Posisi KPU kini seolah menjadi arena puncak perang narasi besar ketiga gajah. Kalau nanti KPU porak poranda oleh aksi anarkis yang berdarah-darah sampai menyebabkan kehilangan banyak nyawa, maka disitulah kehancuran peradapan politik bangsa yang telah susah payah dibangun bersama seluruh bangsa Indonesia sejak kemerdekaan RI, khususnya setelah era reformasi 98.
Nama Indonesia akan jatuh pada level paling rendah dan hina, seperti ketika terjadi tragedi Mei 1998. Haruskah itu terulang justru ketika manusia Indonesia sudah semakin maju dan cerdas dibandingkan masa lalu? Ini akan jadi sebuah ironi seperti tiga gajah bertarung, rusa mati di tengah-tengah.
Mari kita sepakat bahwa kita tak ingin ironi itu terjadi. Selamat Hari Kebangkitan Nasional, bro/sist!
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews