Ani, Kemalangan yang Mempersatukan, Meski Prabowo Terlambat

Saya yakin pula, Prabowo sadar bahwa beragam problem bangsa ini menuntut persatuan segera. Silang sengketa semasa pilpres cukuplah sudah.

Selasa, 4 Juni 2019 | 01:28 WIB
0
918
Ani, Kemalangan yang Mempersatukan, Meski Prabowo Terlambat
Peristiwa langka, SBY dan Megawati Bersalaman [Kompas.com]

De mortuis nil nisi bonum boleh saja berarti terhadap kematian (orang yang mati) hanya kebaikan yang pantas dikatakan. Namun dalam sopan-santun hidup sehari-hari, peristiwa kematian tak cuma memaksa kita melupakan segala yang buruk tentang si mati, atau setidaknya menahan diri untuk hanya membahas hal baik sebelum duka terbang pergi. Peristiwa duka juga menuntut kita berbuat baik.

Salah satu tindakan baik yang sudah pakem dalam menyikapi peristiwa duka adalah melayati jenazah dan keluarga yang ditinggalkan. Maka dengan sendirinya, kematian menjadi momentum pemersatu pihak-pihak yang berselisih bahkan bertikai.

Karena itu jangan heran jika "kepergian" mantan Ibu Negara Ani Yudhoyono menganugerahi kita peristiwa langka, mantan Presiden Megawati Soekarnoputri berjabatan tangan, berbicara bertatap-tatapan disertai senyum dengan mantan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono.

Baca Juga: Pernyataan Prabowo di Tengah Duka SBY

Karena kematian itu sepatutnya menyatukan, media warta sebesar Kompas (setidaknya dalam versi daring Kompas.com) merasa penting membuat "daftar hadir" tokoh-tokoh yang datang melayat. Ketika Prabowo Subianto, salah tokoh terpenting bulan-bulan belakangan ini, tak tampak di sana, Kompas.com menurunkan berita "Tokoh yang Berhalangan Hadir pada Hari Pemakaman Ani Yudhoyono."

Jika direnungkan lebih jauh, sebenarnya kematian itu berdampak mempersatukan bukan karena kematian itu sendiri. Kematian bisa berdaya demikian karena ia adalah salah satu bentuk kemalangan. Saya kira segala bentuk kemalangan itu berdampak menyatukan.

Lihat saja ketika gempa dan tsunami melanda Palu tempo hari. Di tengah panasnya masa kampanye, kemalangan orang-orang di Palu bisa menggerakkan para aktor politik "gencatan senjata" untuk sementara waktu, memilih mencurahkan daya untuk aksi tanggap darurat.

Hanya segelintir orang, mungkin oleh terlalu tipisnya nurani, mencoba mengail kekurangan dalam aksi tanggap darurat bencana sebagai amunisi politik.

Tetapi secara umum, para kubu yang berkontentasi berlomba-lomba unjuk kebaikan kepada para korban bencana. Saya berbaik sangka, melihatnya sebagai panggilan kemanusiaan, bukan aksi ambil untung elektoral.

Kematian, juga bencana alam, dan peristiwa kemalangan lain tampaknya berdaya menyatukan karena mampu menyadarkan kita. Apapun agama, etnis, dan pilihan politik, kita adalah sesama manusia, makhluk yang tak abadi, bisa sakit, yang tak berdaya menghadapi kedasyatan peristiwa alam.

Kemalangan membawa kesadaran akan hakikat diri. Kesadaran akan hakikat diri menyadarkan akan tiada bedanya kita: sesama manusia.

Pada masa perjuangan kemerdekaan dulu, bukan main-main pertikaian antara unsur-unsur pejuang kemerdekaan. Tak ada separuhnya pertikaian politik masa kini bisa menyaingi konflik tempo dulu.

Baca Juga: Ani Yudhoyono, "Saya Pasrah, tetapi Saya Tidak akan Pernah Menyerah"

Saat ini pertikaian dua kubu pilpres adalah pertikaian abal-abal. Meski beda faksi, Jokowi dan Prabowo sejatinya berasal dari kelas yang sama: borjuasi. Pada barisan tim sukses mereka ada para pengusaha, baik pengusaha tulen, pun para jenderal pebisnis, yang di balik pertarungan politik ini bersahabat erat dalam perkoncoan bisnis.

Orang-orang di ring satu dua kubu capres itu bergandengan tangan berinvestasi dalam industri keruk sumber daya alam; saling dukung modal dalam mengakuisisi perusahaan A, B, dan C; juga patungan dalam perusahaan-perusahaan pemegang konsesi hutan.

Satu-satunya perseteruan penting di masa kini hanya antara kelompok rakyat yang menghendaki Indonesia ber-Bhineka Tunggal Ika dengan mereka yang meyakini Indonesia lebih baik jika berada di bawah kediktatoran identitas. Selebihnya, hanya tarung-tarungan, hanya sedikit lebih serius dibandingkan World Wrestling Entertainment.

Pada zaman dahulu, pertikaian atau persaingan politik itu bersifat ideologis: antara Islam politik, nasionalis, dan komunis. Namun mengapa ketiga kubu itu bisa bersatu---di tengah pertarungan merebut dukungan rakyat---memerdekaan Indonesia?

Jawabannya adalah kesadaran akan kemalangan.

"... Sebagai Aria Bima-putera, jang lahirnja dalam zaman perdjoangan, maka INDONESIA-MOEDA inilah melihat tjahaja hari pertama-tama dalam zaman yang rakjat-rakjat Asia, lagi berada dalam perasaan tak senang dengan nasibnja. Tak senang dengan nasib-ekonominja, tak senang dengan nasib politiknja, tak senang dengan segala nasib yang lain-lainnja. Zaman senang dengan apa adanja." Demikian tulis Soekarno dalam Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme.

Kesadaran akan kemalangan inilah yang diungkit Bung Karno. Ia katakan, Islam politik, komunis, dan nasionalis tidak akan pernah bisa mewujudkan cita-cita politiknya, gagasan-gagasan besarnya jika Bangsa Indonesia masih malang terjajah. Karena itu, apapun bentuk ideal masyarakat dunia masa depan yang dicita-citakan 3 aliran politik ini, kemerdekaan Indonesia merupakan fondasinya.

Kondisi terjajah adalah kemalangan yang menyadarkan para pejuang kemerdekaan yang berbeda-beda ideologi, berbeda-beda imajinasinya tentang masyarakat masa depan yang semestinya, bahwa hakikatnya mereka adalah satu bangsa, Indonesia.

Pertanyaannya, apakah kita butuh kembali dijajah secara politik agar menyadari hakikat kita sebagai bangsa? Bukankah para TKI yang mati di rantau, petani kehilangan tanah, buruh-buruh berupah rendah, anak-anak gizi buruk, kebencian identitas yang meluas, sudah terlalu layak sebagai kemalangan yang menuntut persatuan, menuntut kita duduk setenda memikirkan langkah bersama sebagai bangsa?

Saya yakin, sekalipun berhalangan hadir dalam pemakaman mantan Ibu Negara Ani Yudhoyono, dan baru melayat datang sampaikan bela sungkawa sehari setelahnya, Prabowo Subianto telah pula sampaikan simpati duka citanya kepada SBY dan keluarga. Prabowo pun turut dipersatukan hatinya oleh kematian Ibu Ani.

Saya yakin pula, Prabowo sadar bahwa beragam problem bangsa ini menuntut persatuan segera. Silang sengketa semasa pilpres cukuplah sudah. Proses hukum yang sedang berlangsung di MK biarlah menjadi mekanisme prosedural mencari keadilan atas klaim-klaim kecurangan. Setelah MK memutuskan dengan seadil-adilnya, tak perlu kekisruhan baru, tak usah lagi ada narasi-narasi jejadian.

Saya yakin, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno akan bersedia diajak Presiden Joko Widodo dan wapres belum terlantik Ma'ruf Amin agar duduk bersama membicarakan kebijakan-kebijakan yang mampu membebaskan Indonesia dari kemalangan-kemalangannya.

Saya yakin, Prabowo masih sepenuh-penuhnya orang Indonesia. Bukan orang Dubai, bukan Jenewa. Tidak pula Rusia, apalagi Amerika Serikat, Turki atau Arab. Orang Indonesia akan riang ria diajak bersatu mengatasi kemalangan bangsa.


Sumber:

  1. Kompas.com (03/06/2019) "Tokoh yang Berhalangan Hadir pada Hari Pemakaman Ani Yudhoyono "
  2. Kompas.com (02/06/2019) "Momen Jabat Tangan Megawati dan SBY di Balik Haru Pemakaman Ani Yudhoyono"