"Asketisme" Politik Pemilu Serentak 2019

Kualitas dan konsistensi kepemimpinannya diuji dalam menjalankan roda pemerintahannya berpihak terhadap rakyat, atau sebaliknya.

Jumat, 12 April 2019 | 10:05 WIB
0
512
"Asketisme" Politik Pemilu Serentak 2019
Ilustrasi surat suara (Foto: VOA Indonesia)

Persoalan pemilihan umum Presiden – Wakil Presiden, dan legislatif (baca: DPD RI, DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD kab/kota) pada 2019 ini, satu sisi meniscayakan harapan yang krusial, yaitu konsolidasi demokrasi substantif bagi kepentingan kesejahteraan publik.

Akan tetapi, di sisi lain, gelombang hoaks, kebencian, fitnah, dan lain sejenisnya, terus memvirusi pergumulan kehidupan politik anak bangsa ini.

Baik pemilihan presiden, maupun legislatif, secara sadar harus dimaknai menentukan sirkulasi proses demokrasi pemilihan eksekutif dan legislatif, dan merancang bangun naisb pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.

Program–program yang ditawarkan kedua pasangan calon presiden – wakil presiden, secara subyektif rasional, mesitnya harus dapat dikritisi secara kritis. Apakah memang programnya tersebut dapat dijalankan, atau memang sekedar basa basi politik untuk mendulang suara saja, bukan justru sebaliknya, udara politik nasional ini terpolusi oleh berbagai macam kebohongan, fitnah, dan manuver – manuver halalkan segala alat.

Begitu pun, dengan mereka calon legislatif (pusat dan daerah), bukan menjual visi misi untuk kepolitikan di legislatif, namun motiviasi dan komitmen yang akan diperjuangkan di lembaga legislatif tersebut untuk kepentingan rakyat.

Pertimbangan sentimentil isu – isu yang tidak produktif seperti suku, agama, ras, dan atnar golongan (SARA) di arena demokrasi itu, harus dihindari. Pertimbangan sentimentil SARA, sungguh terlalu kecil urusan sirkulasi pemilihan presiden – wakil presiden, dan legislatif, hanya semata – mata kekuasaan, mengorbankan keindahan negara Indonesia dengan cara – cara yang tidak produktif.

Untuk itulah, pertama, rakyat sebagai pemilih, mesti menyadari arti penting melakukan tindakan menentukan pilihannya. Menentukan pilihannya bukan karena “mobilisasi” atas dasar yang tidak rasional, namun rakyat sebagai pemilik kedaulatan harus benar–benar berdasarkan keyakinannya atas program yang ditawarkan kandidat calon presiden–wakil presiden, dan komitmen yang akan diperjuangkan oleh calon – calon legislatif.

Rakyat pemilih dalam berpartisipasi itu tidak hanya asal “memilih”, tanpa mengindahkan program – program yang ditawarkan pasangan calon presiden – wakil presiden, dan juga motivasi dan komitmen para calon legislatif.

Justru harus jauh lebih dari sekedar memilih, rakyat punya keyakinan atas program – program pasangan calon presiden – wakil presiden, dan begitu juga yakin dengan komitmen yang akan diperjuangkan calon – calon legislatif.

Setidaknya keyakinan subyektif rasional dengan melihat, mencermati dan mengkritisi terhadap program – program yang ditawarkan, dan komitmen yang akan diperjuangkannya, bila terpilih untuk diwujudkan.

Kedua, memang, menjadi tantangan presiden terpilih dalam merealisasikan program – programnya itu, membangun sinergi dan meyakinkan lembaga parlemen untuk mendapat persetujuan program – programnya dalam ruang legislatif.

Legislatif mempunyai kewenangan atau peran pula untuk menyetujui atau sebaliknya atas program – program janji kampanyenya pasangan presiden terpilih. Di ruang legislatif tersebut, para anggota dewan akan mengkritisi atau “menguji” program – program kampanye presiden terpilih, layak untuk “disahkan” atau sebaliknya. Hal ini tidak bisa dihindari oleh presiden terpilih untuk pula meyakinkan secara rasional terhadap parlemen.

Itu sebabnya, ketiga, kekuasaan kepala negara (pemerintahan) yang diperolehnya melalui pemilihan langsung oleh rakyat, adalah merupakan bagian integral yang harus dijalankan dengan benar dalam menjalankan kekuasaannya. Artinya, kekuasaannya itu, dalam merealisasikan program – programnya melalui kebijakan – kebijakan pemerintahannya, disandarkan bagi pementingan kesejahteraan masyarakat luas dalam segenap bidang.

Dengan demikian, pemilihan presiden – wakil presiden secara langsung oleh rakyat, tampaknya bukan hanya “lulus” secara prosedur yang minimalis secara demokratis. Namun sejatinya harus jauh lebih dari itu, perwujudan demokrasi prosedural, membumi dalam demokrasi substantif penyelenggaraan pemerintahannya.

Kita kembali dapat melihat, mencermati, dan menilai kualitas kepemimpinan kepala pemeirntahan terpilih dalam merealisaiskan program – programnya dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan bagi berdayanya Indonesia dan masyarakatnya.

Kualitas dan konsistensi kepemimpinannya diuji dalam menjalankan roda pemerintahannya berpihak terhadap rakyat, atau sebaliknya. Dan rakyat sudah sejatinya melanjutkan partisipasinya dalam proses perjalanan pemerintahan, dengan ulet menagih janji. Semoga!

Bandung, 11 April 2019

Silahudin

***