Upayakan Pemilu Damai Melalui Tulisan

Kamis, 28 Februari 2019 | 20:03 WIB
0
426
Upayakan Pemilu Damai Melalui Tulisan
Penandatanganan Pemilu Damai

Suhu politik menjelang pemilihan umum presiden dan wakil presiden 2019-2024 ini rasanya kian memanas saja. Apalagi sekarang sudah semakin dekat, kurang dari 2 bulan lagi waktu kampanye yang tersisa. Tentu kedua kubu calon presiden yang langsung berhadap-hadapan ini akan terus berupaya mati-matian meraih dukungan maksimal.

Sayangnya, upaya-upaya kampanye ini tak diikuti dengan cara-cara yang pantas. Banyak sekali semburan fitnah, hoax, mewarnai pemilu kali ini. Yang lebih membahayakan, semburan fitnah ini terus disebar. Mulai kasus Ratna Sarumpaet yang bengap karena dipukuli, padahal bengap habis operasi plastik, hingga hembusan kabar berita surat suara yang sudah tercoblos, padahal surat suara saja belum tercetak saat itu.

Baru-baru ini viral beredar video kampanye hitam yang dilakukan door to door dari rumah-rumah kontrakan di daerah Karawang, Jawa Barat, oleh emak-emak yang tergabung dalam relawan PEPES yang menjadi pendukung pasangan calon nomor urut 02, Prabowo-Sandi.

Emak-emak ini menyebutkan, jika Jokowi terpilih, tak ada lagi suara Adzan, perempuan tak lagi mengenakan hijab, perempuan berpasangan dengan perempuan, dan laki-laki dengan sesama lelaki.

Ajaib, kan?

Darimana asal pemikiran seperti ini?

Bagaimana mungkin Pak Jokowi yang seorang muslim dan taat beribadah ini akan melarang suara Adzan? Apalagi calon wakil presidennya, Kyai H. Ma'ruf Amin, ketua MUI, pengasuh Pondok Pesantren, ahli ekonomi Syari'ah, apa iya akan melakukan pelarangan Adzan?

Secara logika sederhana saja jelas-jelas ga mungkin.

Masalahnya, masyarakat yang disasar adalah yang kurang edukasi dan akses infonya terbatas. Emak-emak, pun orang-orang dibalik PEPES, tampak sengaja menyasar masyarakat seperti ini. Mudah menelan bulat-bulat info sesat yang disebar, tanpa melakukan cross check.

Upaya seperti ini berpotensi memunculkan gerakan sengit di masyarakat. Jelas upaya-upaya kampanye menyesatkan seperti yang dilakukan emak-emak PEPES ini sangat memprovokasi. Membuat masyarakat terpecah belah pikirannya, terhasut kebencian. Melahirkan bibit-bibit perpecahan.

Apa ini Pemilu Damai?

Apa iya masyarakat dibiarkan terus dicekoki upaya kampanye hitam semacam ini?

Tak ada kah cara lain yang lebih elegan dan bermartabat?

Jika bicara sportifitas, idealnya kedua kubu cukup lah beradu program, "menjual kelebihan masing-masing". Menjual visi misi yang akan dijalankan saat terpilih. Menjual rencana ke depan yang mungkin untuk diwujudkan. Kecuali cara-cara positif sudah "tak laku", tak ada lagi yang tertarik, tak lagi menarik untuk "dijual", mungkin akhirnya cari jalan pintas. Tapi, tetap saja lah, sejelek-jeleknya "barang dagangan", tetap tak etis lah kalau melakukan cara-cara kotor.

Tentu kita semua, masyarakat Indonesia, ingin Pemilu yang aman damai. Berjalan lancar, tanpa gangguan.

Cukup lah bangsa kita pernah melalui masa kelam kerusuhan di tahun 1998, saat bang Ely Salomo, salah satu pembicara dalam aksi Ikrar Penulis Pemilu Damai, masih aktif sebagai aktifis. Masa kelam ini masih membekas dalam benak saya.

Pada pertengahan tahun 1998, saya memasuki masa kuliah semester akhir. Saat itu terjadi perpecahan dan kerusuhan di mana-mana, penjarahan dan pembakaran di banyak titik membuat rasa takut membuncah, saya dan adik tak berani pulang ke rumah kami yang berada di pinggiran Jakarta. Untung lah adik eyang saya tinggal dekat kampus kami di kawasan Salemba. Kami memilih menginap, mengingat jalur pulang harus melalui banyak titik berbahaya. Melalui media cetak dan TV nasional, akhirnya saya tahu, banyak korban saat itu. Banyak ruko dan pusat perbelanjaan yang dijarah dan dibakar, kendaraan yang lalu lalang pun tak luput jadi korban. Ribuan orang jadi korban, menyisakan trauma mendalam. Ekonomi hancur babak belur.dan harga tak terkendali.

Cukup sekali!

Apa iya mau terulang kembali?

Apa iya, karena berbeda pilihan, berbeda visi misi, membuat kita saling bertikai?

Apa iya, rela mengorbankan masyarakat dan anak-anak yang tak punya kepentingan politik?

Kang Pepih Nugraha, tokoh dibalik besarnya Kompasiana dan founder PepNews!, berinisiasi mengajak para penulis untuk turut berpartisipasi menciptakan Pemilu yang damai. Pada 17 Februari 2019 lalu, sekitar 30 penulis bertemu, berkumpul di Hotel Santika Slipi, Jakarta. Kami saling bertukar pikiran tentang kebebasan berpendapat hingga upaya melawan intoleransi, radikalisme, dan terorisme melalui tulisan.

Zulfikar Akbar bercerita tentang kebebasan pendapat, cara santun menyuarakan aspirasi melalui media sosial. Bang Zul, demikian panggilannya, bercerita tentang kasusnya saat menyuarakan pendapat melalui media sosial yang menyebabkannya dikeluarkan dari harian tempatnya bekerja. Menurut Bang Zul, tetap lah berani menyatakan pendapat, tapi ingat lah untuk memperhatikan pagar-pagar batas yang ada. Jangan melanggar pagar orang lain. Bang Ely Salomo bercerita tentang kelamnya masa-masa kerusuhan tahun 1998. Cukup sudah! Cukup sekali peristiwa yang menimbulkan luka dan trauma itu terjadi. Jangan ada lagi.

Kita masih ingin hidup untuk anak cucu kelak kan? Pikir kan lah itu teman-teman. 

Yuk teman-teman penulis, mari berkontribusi menciptakan pemilu damai melalui tulisan. Buat lah tulisan sejuk yang membawa kedamaian dan mampu menentramkan. Kita ini hanya akan menghadapi Pemilu, bukan Perang Badar, perang antar suku, atau perang saudara. Bukan! Negara kita cuma mau pemilu!

Ingat lah, anak cucu!

Mereka yang akan jadi korban jika orang dewasa hanya memikirkan egonya!

 

***