Membaca Serangan PSI ke PDIP

Ade Armando dan barisan PSI sepertinya ingin ambil jalan pintas dapatkan Ganjar, namun ogah berkomunikasi dengan PDIP.

Selasa, 9 Mei 2023 | 13:02 WIB
0
207
Membaca Serangan PSI ke PDIP
Ade Armando (Foto: suara.com)

Dalam suasana politik liberal saat ini, berdirinya banyak partai tidak didasari pada pertimbangan ideologis, apalagi penguatan infrastruktur Partai. Bahkan ada partai baru yang ingin cepat besar tanpa melalui proses yang matang. Hal inilah yang berlaku pada PSI (Partai Solidaritas Indonesia). 

Sebuah Partai yang didirikan, namanya meniru PSI (Partai Sosialis Indonesia) ala Sjahririan tapi tidak didasari pada ideologi sosialis Sjahrir. PSI lebih menampilkan kemampuan bermanuver ala Partai pragmatis yang mendasarkan pada entertainment gerakan muda yang tiba-tiba masuk politik dan dengan kekuatan yang baru itu mencoba menjadi “king maker” atas percaturan politik negeri ini.

Cara yang paling mudah bagi PSI adalah mengganggu PDIP, mencoba membaca kelemahan PDIP, tapi kerap kali salah langkah dan salah kira. Dengan mengganggu PDIP, PSI mengira bisa menjadi king maker alternatif dari kekuatan nasionalis.

Percobaan pertama ingin menjadi King Maker adalah saat peristiwa Ahok. Saat itu PSI mengipas-ngipasi Ahok untuk bergerak tanpa dukungan Partai. Ahok dibiarkan sendiri dengan dibantu kelompok relawan. Saat itu di tubuh PSI selalu menghidupkan api kebencian pada Megawati, ini bisa terbaca dari catatan twitter Tsamara Amany yang kemudian hari hal itu disesali oleh Tsamara setelah keluar dari PSI.

Tapi akhirnya Ahok cepat sadar, tidak mudah terjebak pada bujuk rayu PSI yang mendorong jalan independen. Pro kontra pun terjadi dan ketika Ahok bergabung ke PDIP sangat terlambat akibat api yang dikipas oleh kader-kader PSI. Andai saja sejak awal Ahok mau masuk PDIP tentunya SBY, JK dan kelompok-kelompok radikal berhitung kalkulasinya dalam mempermainkan emosi agama dalam menghadapi Ahok. 

Kasus kedua, ketika PSI menggunting dalam lipatan terhadap koalisi besar pendukung Jokowi dalam Pilpres 2019. Sebagai Partai Baru Ketum PSI saat itu Grace Natalie berpidato lantang di KPU (19 Feb 2019) melawan partai-partai mapan. Serangan Grace begitu mudah dipatahkan oleh Osman Sapta Odang dengan mengatakan “Jangan ajari itik berenang”.

Setelah itu dalam setiap kesempatan PSI selalu menjadi duri dalam daging dalam koalisi Jokowi. Kadang PSI menyerang Golkar atas kasus korupsi, dan pada giliran lain, mereka melakukan serangan membabi buta ke Megawati dan PDIP.

Di situ PDIP tetap bersikap bijak tanpa melakukan serangan balik karena menjaga soliditas pendukung Jokowi. Namun ketika dalam kampange terakhir di GBK, PSI menyalib di tikungan dengan memenuhi setiap penggir jalan di kompleks GBK dengan pajangan Baliho Grace dan PSI semua Partai yang bekerja keras untuk kemenangan Jokowi pun meradang melihat permainan “menyalip di tikungan ala PSI”.

Terkuaklah dari mana PSI mendapat sponsor konglomerat yang konon jumlahnya di atas Rp2 Trilyun. Dana kampanye super jumbo ini tidak pernah diungkap oleh Ade Armando.

Kasus ketiga adalah ketika PSI mencoba memainkan king maker dengan merebut Ganjar Pranowo sebagai Capres yang dicalonkan PSI. Untung di sini Ganjar melihat fungsi partai yang sesungguhnya sehingga Ganjar menyatakan merasa ‘tidak kenal’ dengan PSI. Lalu PDIP dengan langkah cerdik mengunci Ganjar agar segaris dengan PDIP dan di sinilah PSI uring-uringan menyalahkan PDIP. Hal ini nampak ketika Ganjar menolak Israel, orang PSI bernama Ade Armando menyatakan bahwa Ganjar mengikuti perintah Megawati karena klenik.

Di sini terlihat sekali keterasingan Ade Armando terhadap ideologi Bung Karno terutama soal geopolitik apa yang dilakukan Ganjar dan Koster adalah soal pemahaman prinsip geopolitik Sukarno yang dipahami kader-kader PDIP. Sekaligus menandakan PSI terasing dengan konsep kader yang berwatak ideologis.

Dalam berbagai tuduhannya, bahkan Ade Armando berusaha menenggelamkan PDIP. Jadi Ade Armando dan barisan PSI sepertinya ingin ambil jalan pintas dapatkan Ganjar, namun ogah berkomunikasi dengan PDIP.

Setelah melihat peluang Ganjar tidak bisa diatur oleh PSI, maka PSI merapat ke Golkar dan mendorong adanya koalisi besar, berharap dalam koalisi besar PSI bisa memainkan peran aktif. Tentunya banyak yang mengindikasikan merapatnya PSI ke Golkar adalah menolak PDIP dan Ganjar dalam Pemilu 2024. 

Ketika PSI tidak diakui PDIP sebagai pendukung Ganjar seperti hal-nya PPP mereka marah-marah bahkan mengatakan PDIP sombong, padahal dalam sistem kelembagaan Partai semua hal yang terkait dalam politik harus dikomunikasikan secara formal, pencalonan PSI oleh Ganjar tak lebih dari suara yang mencoba bermain sendiri tanpa mempedulikan kelembagaan PDIP dimana ada Ganjar di dalamnya. Dan itu jelas menyalahi fatsoen politik. 

Dua serangan menohok Ade Armando ke PDIP soal pemahaman Bung Karno terhadap Israel adalah klenik dan membangun framing PDIP sombong ini sungguh menyakiti hati kelompok ideologis di PDIP. Ganjar harus dilindungi dari penyakit pragmatis Ade Armando ini. Sikap Ade Armando yang juga dosen UI sangat tidak ilmiah bila menilai pandangan Bung Karno sebagai klenik, padahal pandangan Bung Karno soal geopolitik sudah terbukti ilmiah dan banyak kebenarannya terjadi saat ini menyikapi konstelasi tata susunan hubungan internasional. Padahal Ganjar dicalonkan RI-1 adalah untuk mengusung idealisme dalam pemikiran Sukarno untuk Indonesia Raya. Lalu bagaimana bisa PSI yang terasing dengan gagasan Bung Karno ikut-ikutan dukung Ganjar? 

Dan PSI yang membidik untuk dapatkan suara dukungan anak-anak muda dalam garis Nasionalis membidik wilayah PDIP sah-sah saja, tapi itu harus dilakukan dengan sikap fair dan tak usah menjelek-jelekkan PDIP dalam hal ini PKS lebih gentleman dalam menghadapi PDIP ketimbang PSI yang kerap menikam dari belakang. 

Apa yang dilakukan Ade Armando dengan menuduh PDIP sombong, kini berbalik arah akibat inkonsistensi PSI. Rekam jejak digital membuktikan itu. Setelah melihat elektoral Ganjar turun akibat penolakan timnas Israel, bukannya PSI membela Ganjar. Ade Armando dan tim sosmed PSI rame-rame menghajar PDIP dengan menyalahkan Ganjar yang dianggap terlalu taat pada garis ideologi Partai. Puncaknya pada tanggal 1 April 2023 di Karanganyar, Jawa Tengah, Sekjen PSI Dea Tunggaesti menegaskan bahwa PSI mengecam Ganjar Pranowo dan melakukan evaluasi dukungannya dalam Pilpres 2024. Sikap PSI yang mau enaknya sendiri inilah yang membikin gamang PDIP. Terlebih dengan pengalaman buruk tahun 2019 dalam kampanye Pilpres dimana PSI lebih sering menusuk dari belakang. Meskipun demikian, apa yang disuarakan oleh Sekjen PDIP yang secara halus mendorong agar etika politik dikedepankan, dan bagaimana kerjasama partai politik harus melakukan komunikasi formal partai dengan partai sebagai keseriusan dukungan, sebenarnya merupakan pernyataan ala politisi Jawa yang menyampaikan pesan secara simbolik.

Adalah Ade Armando yang lagi-lagi tidak bersikap rasional. Pernyataan Hasto yang hanya menyebut PPP dan Hanura tanpa menyebut PSI menjadi alasan utama dan keluarlah pernyataan tanpa landasan jelas: bahwa PDIP Sombong. Dengan tulisan ini, Ade Armando sebaiknya membuka seluruh rekam jejak digital, termasuk pernyataan Sekjen PSI tanggal 1 April 2023 yang mengecam dan akan melakukan evaluasi terhadap Ganjar. Ketika tidak ada pijakan yang bisa dipegang atas sikap PSI, dan ketika pura-pura bermitra namun PSI selalu mendowngrade mitranya, serta PSI sendiri yang sudah menyatakan menjadi Sister Party nya Golkar, apakah sikap PDIP tersebut dikatakan sombong?

Karena itulah PSI hanyalah dicatat manuvernya yang sangat cair, namun tidak kokoh dalam prinsip. Gugatan PSI ke Mahkamah Konstitusi tentang batasan usia capres dan cawapres dengan maksud menjodohkan Prabowo dengan Gibran, adalah politik adu domba yang sangat berbahaya. Sama ketika Sjahrir melakukan “kudeta pertama” terhadap Soekarno-Hatta, sehingga tampilah Sjahrir membubarkan kabinet Hatta dengan alasan dipenuhi oleh kekuatan pro Jepang, agar Sjahrir bisa leluasa mengatur perundingan dengan Belanda, namun jalan Sjahrir itu ditentang Tan Malaka akibat dari kudeta senyap Sjahrir itu luas kekuasaan Republik Indonesia mengecil karena perundingan-perundingan yang oleh Tan Malaka dibilang "Masak kita berunding dengan maling".

Anton DH Nugrahanto