Seperti biasa, Presiden Jokowi kelewat sibuk, untuk menganggapi celotehan seperti itu. Memang tidak penting juga.
Seperti biasa, Presiden Jokowi tidak punya waktu meladeni ocehan yang merendahkan atau menghinanya. Dia kelewat sibuk bekerja untuk bangsa atau bercengkerama dengan keluarga. Tak ada waktu melayani kenyinyiran.
Tapi saya, yang memilihnya sebagai presiden, punya. Selain nganggur, saya punya hape, laptop dan PC, sehingga saya bisa menanggapinya.
Baru baru ini, dia melontarkan pernyatan kontroversial : "Indonesia dikuasai Firaun yang namanya Jokowi, Qorun yang dikuasai Anthony Salim berserta 10 Naga, Haman yang namanya Luhut,” katanya.
Dia sosok yang terkenal di Jogya. Aslinya Jombang, Jawa Timur, tapi ngetop di Jogya. Termasuk yang pernah ke istana, jadi saksi turunnya presiden Suharto Mei 1998, sehingga seharusnya dia punya pembanding di antara Suharto dan Jokowi.
Suharto, kita tahu, penguasa yang bertanggungjawab atas kematian jutaan simpatisan PKI dan orang orang kiri. Juga kematian ribuan Gali / penjahat klas kakap dan kyai serta pendukung NU di tapal kuda. Mengirim tentara ke Aceh untuk menyerbu pesantren, membunuh ulama dan santrinya.
Masuk daftar diktator terkorup klas dunia juga.
Se-Firaun apa Jokowi dibanding Suharto?! Berapa orang yang dibunuh oleh Jokowi ?!
Apa Jokowi yang mengirim lawan politiknya ke pulau Buru, Plantungan yang sebelumnya disiksa di Kodim atau Koramil? Mengisolasi pergaulan dan menghabisi hak penghidupan pengkritiknya, sebagaimana yang menimpa para penandatangan Petisi 50?
Di depan Suharto, dia nampak culun dan takut takut.
Kini - dari jauh, dia melecehkan Jokowi; presiden yang terpilih secara demokratis, dengan menyebutnya sebagai "Firaun".
ADA YANG MENYEBUT dia seorang budayawan. Tapi bukan. Yang budayawan adalah Umar Kayam, Romo Mangun, Goenawan Mohamad, dan WS Rendra.
Ada yang menyebut dia penyair. Bukan juga. Yang penyair adalah Umbu Landu Paranggi, Linus Suryadi AG dan Joko Pinurbo.
Dia musisi ? Bukan juga! Yang musisi Ebiet G Ade, Djaduk Ferianto dan Sheila on 7.
Dia teaterawan. Bukan juga. Yang teaterawan Azwar AN, Heru Kesowo Murti, Jujuk Rabowo dan Butet Kertaradjasa.
Dia aktifis ? Bukan. Yang aktifis Arief Budiman, Romo Sandyawan, Budiman Sudjatmiko dan Widji Tukul.
Bahkan ada yang menyebutnya sebagai Kyai. Tapi bukan juga. Yang kyai adalah Gus Mus, Gus Solah dan Kiai Ali Maksum serta "Kyai Kanjeng", nama gamelan pengiring grupnya yang biasa menghibur para "jemaah makiyah".
Saya mengenalnya sebagai suami dari penyanyi Novia Kolopaking dan ayah dari vokalis grup Letto
Di lebih cocok disebut sebagai pengamen yang rutin manggung, pentas keliling; "mbarang" dan jualan pesan relijius sembari "misuh misuh" atau melucu. Dia sejenis pemain ludruk yang rindu keplokan.
Saya kenal seniman sepertinya. Jika dia merendahkan orang lain atau orang kaya, pejabat, biasanya karena lagi ngarep perhatian, ngarep job, tidak diajak, dan omongannya tidak digubris.
Lalu dia berulah dan cari cari sensasi. Tanda tanda "sindrom keterkenalan" dan masih rindu keplok.
Agak mengejutkan karena dia sudah tua. Sudah kepala tujuh. Pengikutnya menyebut dia sebagai "Mbah Nun". Tapi memang tidak aneh juga. Sebab ada Mbah Amin Rais, sesama warga Jogya yang juga tua, tapi tidak menua atau "ora nuwani" alias berlaku layaknya orang tua. Kelakuannya masih seperti orang jalanan yang brangasan dan kurang wawasan. Mengabaikan tata krama, unggah ungguh. Ndugal.
Entah permintaan apa yang tidak ditanggapi, proposal apa yang ditolak - sehingga dia begitu marah pada Presiden Jokowi.
Ini bukan pertama dia berulah dan melecehkan presiden dan lembaga istana. Tahun 2019 lalu di juga bikin pernyataan kontroversial :
"Saya tidak bisa dipanggil presiden. Saya yang berhak manggil presiden karena aku rakyat. Aku yang bayar. Saya tidak pernah mau dipanggil ke istana dan saya tidak bangga sama sekali. Hina kalau saya sampai ke sana!" teriaknya.
Saat itu, netizen merespon dengan mengirim foto ketika dia sowan ke Pak Harto dan membungkuk bungkuk. "Diundang ke istana gak mau, sowan ke Cendana mau! " Kecam netizen.
Seperti biasa, Presiden Jokowi kelewat sibuk, untuk menganggapi celotehan seperti itu. Memang tidak penting juga.
Ada dia - atau tidak ada dia - Republik Indonesia baik baik saja. Atau tidak baik baik saja.
Kalau saya jadi Presiden Jokowi, saya juga akan cuek.
"Ora pathe'en, " mengutip kata Pak Harto, ketika diminta turun dari jabatannya.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews