Boleh jadi, HMI memang sudah tiada. Namun, bagi kita akan ada jawaban masing-masing yang justru bersemayam di hati masing-masing.
Cendekiawan muslim yang juga pengasuh pondok pesantren Matahari (Maros), menulis artikel dalam kolom Jendela Langit. Terbit di Harian Fajar, 14 Agustus 2021 dengan Judul “HMI Sudah Tiada”.
Sejak pagi, riuh dan beragam komentar yang terkait dengan tulisan tersebut.
Hanya saja, kita sudah mulai menerima bahwa HMI memang kini tidak satu lagi. Ada fraksi yang digerakkan MPO, dan di sisi lain ada HMI yang dulu bersekretariat di Jl. Diponegoro, disingkat Dipo.
Bahkan bukan lagi fraksi MPO dan Dipo saja, sejak dua puluh tahun lalu HMI terbiasa dualisme dalam kepengurusan. Usai kongres Balikpapan Ketika Muchlis Tapitapi membentuk Pj Ketua Umum.
Perilaku ini direplikasi berkali-kali sampai kini. Terakhir ketika, Arya Kharisma membentuk Pj Ketua Umum yang merupakan pecahan dari kepengurusan Ketua Umum Saddam Al Jihad.
Bukan hanya HMI Dipo, juga HMI MPO yang sudah mulai berdualisme. Praktik ini sampai ke badko, cabang dan juga komisariat. Level terendah struktur organisasi HMI.
Terkadang, dimulai dari urusan PB yang ternyata perhelatan kongres di Surabaya maret lalu tidak mengakhiri dualisme. Justru masih wujud sampai sekarang.
Kemana arah HMI? Itu yang menjadi sebuah tanya.
Dua sisi, antara optimisme dan juga pesimisme. Berpijak pada salah satunya, manzilah baina manzilatain. Atau justru berada sekaligus pada keduanya.
Kita mulai dari berita buruk dulu. “Perkelahian” menjadi jalan pemecahan masalah. Dimana Ketika wujud ketidaksepakatan, justru pilihannya pada membentuk kepengurusan yang lain.
Bahkan Cak Nur sendiri saking gemesnya terhadap HMI, sampai mengusulkan pembubaran HMI (Media Indonesia, 2002). Bahkan itu disampaikan dalam sebuah seminar, bukan saja sebagai forum ilmiah bahkan dilaksanakan oleh LIPI. Saya mengartikannya, ini bukan pesan biasa. Namun, ada kandungan yang tersirat di dalamnya sehingga pesan ini perlu disampaikan.
Cak Nur sendiri wafat 2005. Semasa itu, PB HMI mengalami perpecahan kepengurusan untuk kali kedua. Kali ini, bahkan sampai ke pengurus cabang. Cak Nur berpulang ke rahmatullah, di masa-masa HMI mengalami cobaan dan juga ujian.
Lalu, masihkah ada HMI? Jawabannya sangat bergantung kepada pengalaman dan juga penglamaan kita masing-masing.
Dalam satu kesempatan, 2006-2008 justru saya berpendapat bahwa HMI itu merupakan sebuah peluang dan juga kesempatan.
Mendapatkan amanah untuk memanggul peran sebagai wakil sekretaris jendral bidang hubungan internasional. Justru dengan posisi itu menjadi sebuah kesempatan untuk turut belajar. Sekaligus, sebuah peluang untuk turut menjadikan HMI sebagai bagian dari “riset”.
Setelah 13 tahun berlalu, usai Kongres Palembang 2008. Saya tak lagi sebagai pengurus HMI. Justru, kini mendapatkan sebuah peran baru. Mempromosikan bagaimana transformasi HMI mengadaptasi keperluan mahasiswa zaman now.
Ada tuntutan bagi mahasiswa untuk memublikasikan karya-karya akademiknya melalui artikel jurnal. Dalam posisi seperti ini, HMI perlu turut untuk tetap berada dalam kisaran nadi mahasiswa.
Tetap saja, HMI menyimpan romantisme Yogyakarta. Namun, itu tidak lagi cukup dengan hanya itu saja.
HMI tetap perlu relevan. Sampai sejauh 76 tahun ini, tulis Jakarta Post “sulit membayangkan Indonesia tanpa HMI”.
HMI juga ketika dikritik, tetap nyaman-nyaman saja. Saat mengkritiknya, kita tidak dilabeli sebagai kafir, bughot, atau apapun itu. Bahkan, warga HMI dan juga alumniya tetap saja menerima kritik itu dengan pikiran terbuka.
HMI juga tetap menjadi tulang punggung bagi keberadaan KAHMI. Ketika tiga huruf itu, maka KAHMI dengan sendirinya juga akan tidak wujud lagi.
Jelang 1 abad, keluarga besar HMI kini mulai berbenah. Bahkan dengan sekecil apapun itu. Amal usaha mulai tampak. Ada perguruan tinggi, juga ada unit pengumpul zakat yang responsive ketika wabah melanda. Memang kecil, tetapi sekecil apapun itu selalu dibarengi dengan harapan.
Boleh jadi, HMI memang sudah tiada. Namun, bagi kita akan ada jawaban masing-masing yang justru bersemayam di hati masing-masing.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews