Kehadiran FPI sesungguhnya mewakili keberadaan Indonesia. Dimana pendiriannya, tidak dapat dilepaskan dari dukungan politik kelompok tertentu.
Duduk di ruang tengah, mengecek surat eletronik, istri saya masuk ruangan dan langsung bertanya “berbahayakah FPI?”
Saya kemudian menjawab “itu sepenuhnya urusan kementerian, saya tidak ada data”. Sebelum itu, Mentri Agama RI mengemukakan bahwa FPI tidak memperpanjang Surat Keterangan Terdaftar (SKT) di Kementerian Dalam Negeri.
Rupanya pertanyaan ini kemudian masih saya ingat, hingga tiga hari setelahnya.
Saya tak akan menjawab kepadanya secara khusus. Saya memilih untuk mengetikkan ini, sehingga bisa menjadi ajang bertukar pikiran sekaligus dengan pembaca.
Front Pembela Islam dalam Pandangan Para Sarjana
Setidaknya, FPI telah menjadi bahan kajian di pelbagai perguruan tinggi. Tidak saja di perguruan tinggi dalam negeri tetapi juga perguruan tinggi luar negeri.
Wilson (2014) menuliskan FPI terkait dengan pemilihan umum. Terbit di ISEAS Perspective, Singapura.
Begitu pula dengan Jahroni (2004) telah menuliskan di Studia Islamika, jurnal yang dikelola Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Tulisan Jahroni menguraikan dinamika FPI, 1998-2003. Facal (2020) mengemukakan bahwa FPI telah berkontribusi dalam tumbuhnya sikap intoleransi di kalangan masyarakat muslim Indonesia.
Ketiga tulisan tersebut, kesemuanya terbit dalam jurnal-jurnal kenamaan dalam kajian keilmuan. Tidak saja isinya, proses review dan juga penerbitan yang terjaga dengan baik. Sehingga maklumat yang disampaikan dapat diterima sebagai sebuah informasi.
FPI dalam Sorotan Media Massa.
Bagitu pula dengan media massa nasional seperti Kompa, dan Republika senantiasa memberitakan pelbagai aspek terkait FPI.
Adapun media global juga memberitakan FPI ketika pembubaran. Bahkan tiga media yaitu Channel News Asia, The Strait Times, dan The Star, menyebut FPI dengan Islam garus keras.
Aljazirah, media yang berkantor pusat di Qatar, menyajikan berita terkait pemimpin FPI, Rizieq Shihab di mata publik.
Berita pembubaran FPI diliput pula Nikkei Asia, media terbitan Jepang. Serta diliput pula oleh media Jerman, Deutsche Welle (DW).
New York Times, Amerika Serikat juga menyebut FPI sebagai organisasi Islam garis keras. Sementara itu, Israel Hayom mendeskripsikan FPI dalam pelbagai aktivitas yang menyerang kelompok yang tidak sejalan dengannya.
Potret Sisi Lain FPI.
Baik dalam terbitan jurnal ilmiah, maupun media massa sesungguhnya merupakan potret FPI. Keputusan pemerintah terkait dengan pembubaran FPI merupakan kewenangan sepenuhnya pemerintah, sehingga pembubaran ini dapat diuji melalui wadah hukum yang tersedia.
Dengan kasus-kasus penyerangan, termasuk diantaranya pembubaran diskusi buku di Salihara, 4 Mei 2012. Maka, ini tentu potret kelam yang menghiasi keberadaan FPI.
Namun, juga kadang FPI mendapatkan tempat yang simpatik di hati masyarakat. Dimana ketika banjir menerjang perumahan Antang, Makassar, FPI-lah merupakan kelompok pertama yang turun memberikan bantuan penanganan banjir.
Soal berbahaya atau tidak, artikel ini tidak akan menjawab itu. Namun, kehadiran FPI sesungguhnya mewakili keberadaan Indonesia. Dimana pendiriannya, tidak dapat dilepaskan dari dukungan politik kelompok tertentu.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews