Cendekiawan Perempuan dan Keberadaannya di Indonesia Kini

Perempuan-perempuan Indonesia, sebagaimana tergambar dalam aktivitas Muhammadiyah dan NU, menjadi bagian dalam aktivitas keilmuan.

Kamis, 22 April 2021 | 01:39 WIB
0
196
Cendekiawan Perempuan dan Keberadaannya di Indonesia Kini
RA Kartini (www.kompas.com)

Penguasaan ilmu pengetahuan bukanlah semata-mata untuk kenikmatan filsofis. Melainkan justru sebuah ikhtiar untuk mencari kesempatan untuk menebar bagi kemanfaatan secara luas.

Itu diantara gugatan yang disampaikan Ali Syariati (1985). Ilmu pengetahuan tidak dapat dilepaskan dari pencarian nilai kemanusiaan.

Kita berpaling sejenak menyaksikan para cendekiawan Indonesia di saat ini. Tidak lagi terbatas pada laki-laki saja. Tetapi juga para perempuan Indonesia sudah menapaki kekuasaan dalam ilmu pengetahuan.

Pada saat yang sama, perguruan tinggi umum, begitu pula perguruan tinggi keagamaan. Dengan kelembagaan negeri maupun swasta, diduduki oleh para pemimpin perempuan.

Diskursus di akhir abad 20 dimana riset dan produktivitas karya ilmiah terkait dengan argumen kesetaraan jender (Nasaruddin Umar, 1999), tafsir kebencian (Zaitunah Subhan, 1999) keduanya dari perspektif keagamaan berusaha menghadirkan posisi perempuan yang istimewa.

Bukan lagi karena asumsi terkait tulang rusuk. Tetapi pemahaman keagamaan yang komprehensif, sehingga memandang perempuan sebagai makhluk yang melengkapi keberadaan laki-laki.

Tidak saja pada kelembagaan perguruan tinggi, tetapi telah wujud kerelaan untuk memberikan ruang bagi perempuan untuk turut dalam ritual keagamaan.

Ketika itu, tiga perempuan di Makassar yang masing-masing mendapatkan tugas tambahan sebagai rektor, mendapatkan kesempatan untuk menyampaikan ceramah tarwih di masjid Al Markaz, Makassar.

Ini menjadi sebuah tanda, dimana peran-peran keagamaan tidak semata disandang laki-laki semata.

Setelah dua dasawarsa berlalu, apa yang dikemukakan Nasaruddin Umar maupun Zaitunah Subhan, sesungguhnya memiliki impak yang meluas di masyarakat.

Namun, tidak sebatas keduanya saja. Kemelimpahan maklumat dan diskursus setelahnya, juga menjadi daya dukung.

Walaupun di masa itu, ada juga gugatan terkait kepemimpinan perempuan. Dimana Megawati yang digadang-gadang sebagai calon presiden oleh PDIP.

Namun, gugatan itu tidak mengkristal. Sebab dalam perhelatan sidang MPR setelah kejatuhan Gus Dur, justru Megawati terpilih menjadi Presiden RI kelima.

Saat ini, ketua DPRD, sampai juga DPR RI. Begitu pula, bupati, wakil bupati, walikota, wakil walikota, tidak ada jabatan publik yang luput dari perempuan.

Bukan saja karena afirmasi 30% untuk posisi legislatif, kemampuan politisi perempuan juga menyandingi kemahiran para politisi laki-laki.

Dengan kondisi seperti ini, persoalan utamanya bukan pada laki-laki atau perempuan lagi. Tetapi justru mengerucut pada kompetensi dan meritokrasi.

Perempuan Indonesia masa kini, meneruskan ap ayang telah dilakukan para perempuan pendahulu. Bukan saja Kartini, ada Hajjah Rangkayo Rasuna Said, begitu pula perempuan dari pelosok Indonesia yang mengukuhkan betapa perempuan Indonesia menjadi pilar perjuangan mewujudkan Indonesia.

Dalam pelbagai lini kehidupan, justru perempuan menyandingi dan juga melengkapi apa yang dilakukan para laki-laki.

Di Muhammadiyah, jikalau laki-laki dipimpin oleh KH Ahmad Dahlan. Maka, di perempuan ada Siti Walidah, dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan. Turut mendirikan serta mengembangkan organisasi perempuan Muhammadiyah yang dinamai Aisyiyah.

Pada saat yang sama, di Nahdhatul Ulama (NU) ruang suara perempuan juga mendapatkan tempat dengan pembentukan Muslimat. Muktamar NU ke-16 di Purwokerto, pada tanggal 26 Rabiul Akhir 1365 H, bertepatan dengan 29 Maret 1946 menerima dengan suara bulat pembentukan badan otonom NU.

Sebagai potret dua organisasi keagamaan Indonesia, maka ini menjadi gambaran betapa perempuan tidak lagi dipandangan hanya sebagai pelengkap keluarga semata. Juga, perempuan menjadi bagian dalam menggerakkan kehidupan.

Perempuan-perempuan Indonesia, sebagaimana tergambar dalam aktivitas Muhammadiyah dan NU, menjadi bagian dalam aktivitas keilmuan. Perguruan tinggi Muhammadiyah dan NU tidak membatasi kepemimpinan pada laki-laki tetapi juga kesempatan yang sama pada perempuan.

Sementara di belahan dunia lain, perempuan masih berjuang untuk mendapatkan kesempatan mengemudikan mobil, memiliki hak suara di pemilihan umum, dan keberadaan di kertas suara untuk menjadi calon anggota parlemen.

Di Indonesia, perempuan telah berkiprah dalam pelbagai bidang yang tak terbatas.

***