Lewonu

Cara yang mereka pilih itulah yang membuat mereka tidak akrab—atau malahan tidak kenal—dengan kemanusiaan, dengan hati nurani.

Jumat, 4 Desember 2020 | 06:17 WIB
0
238
Lewonu
Ilustrasi teroris (Foto: tempo.co)

Satu

Dusun V Lewonu (Levonu), jauh dari Jakarta. Dusun transmigran di Desa Lembantongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah itu, terpisah jarak lebih dari 1.500 kilometer dari pusat kekuasaan di negeri ini. Secara jarak, memang Tokelemo jauh dari Jakarta. Tetapi, semestinya, secara hati dan pikiran dekat dengan Jakarta. Sebab, Lima Lewonu adalah bagian dari Indonesia. Lima Lewonu adalah Indonesia.

Akan tetapi, ketika hari Jumat (27/11) silam empat penduduk Dusun V Lewonu—Yasa, Pinu, Naka, dan Pedi—dibunuh secara tidak beradab oleh sekelompok orang bersenjata, yang belakangan disebut sebagai kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Ali Kalora, getarannya kurang begitu terasa di Jakarta yang sedang disibukan oleh berbagai urusan.

Ketika pembunuhan itu terjadi, Jakarta sedang dipusingkan oleh terus bertambahnya korban Covid-19. Ketika, kelompok orang bersenjata itu membunuh dan membakar Pos Pelayanan Gereja Bala Keselamatan dan sejumlah rumah, Jakarta sedang berurusan dengan mereka yang merasa berada di atas hukum tidak mau menaati protokol kesehatan untuk memutus rantai penularan Covid-19.

Ketika ketenteraman, ketenangan, dan kedamaian dusun transmigran dikoyak-koyak oleh orang-orang yang tidak memiliki belas kasihan dan hati nurani, Jakarta sedang direpotkan oleh mereka yang lebih suka bermain-main api, yang bisa membakar negeri, merusak persatuan dan kesatuan.

Apa salah mereka, penduduk di daerah transmigrasi itu? Mereka hanyalah orang-orang kecil, yang hidup di daerah terpencil, menjalani hidup sebagai transmigran, tanpa agenda apa pun—apalagi politik—dan motif aneh-aneh. Motif mereka hanya satu: mempertahankan hidup dengan cara bertani.

Mereka hanya ingin hidup damai dan tenteram menjadi rakyat negeri yang katanya berdasar nilai-nilai relijius, yang saling hormat-menghormati, yang menjunjung tinggi persaudaraan, toleransi, gotong-royong, dan Pancasila. Mereka hanya ingin hidup jujur—sebagai petani—bukan sebagai pejabat yang korup; yang seperti “Petruk munggah bale” yang dalam peribahasa Jawa disebut “Kere munggah bale”, yang karena nafsunya ingin mendapatkan drajat, semat dan kramat (kedudukan, harta dan kewibawaan), akhirnya jatuh tersungkur.

Tetapi, para petani itu, para transmigran itu yang ingin hidup apa adanya, sederhana, bersahaja, jujur, tidak mengganggu orang lain,  menjadi korban kebiadaban, yang benar-benar tidak berperikemanusiaan dan sungguh-sungguh bertentangan dengan nilai-nilai luhur agama apapun. Mereka tidak berdaya. Mati!

Jakarta, pada akhirnya, sadar bahwa ada persoalan besar nun jauh di sana, di wilayah yang terpisah lebih dari seribu kilometer. Ada masalah besar yang dihadapi anak bangsanya yang hanya ingin menjadi warga negara yang baik tetapi diperlakukan secara semena-mena, kejam, biadab. Maka  tidak bisa dibiarkan saja.

“Saya mengutuk keras tindakan-tindakan di luar batas kemanusiaan dan tidak beradab yang menyebabkan empat orang saudara-saudara kita meninggal dunia dalam aksi kekerasan yang terjadi di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah,” kata Presiden Jokowi dalam pernyataannya seperti disiarkan YouTube Sekretariat Presiden, Senin, 30 November 2020, tiga hari setelah tragedi itu terjadi.

Jokowi juga menegaskan, “Sekali lagi saya tegaskan tidak ada tempat di tanah air kita ini bagi terorisme.” 

Dua

Terorisme. Kata “terorisme” berasal dari kata dalam bahasa Latin, terrere, yang antara lain berarti menakuti; mengejutkan; menggentarkan. Adalah negarawan dan filsuf dari Inggris Edmund Burke (1729-1797) yang pertama kali menggunakan istilah “terorisme” untuk menjelaskan apa yang terjadi selama Revolusi Perancis.

Istilah tersebut digunakan untuk menggambarkan régime de la terreur atau Pemerintahan Terror, yang berkuasa di Perancis, Juni 1793-Juli 1794. Pemerintahan Teror dipimpin oleh pemerintah yang didominasi kaum Jacobin radikal—kelompok politik radikal atau ekstremis—yang menggunakan terorisme negara untuk mencapai tujuan ideologi revolusioner.

Siapa saja yang menentang mereka ditangkap, dihukum mati karena dianggap sebagai musuh revolusi. Selama setahun berkuasa Pemerintahan Teror ini mengeksekusi antara 17.000 – 40.000 orang; dan sekitar 200.000 tahanan politik mati di penjara karena terserang penyakit dan kelaparan (Gus Martin; 2011).

Kata ini, terorisme, walau muncul dari negeri yang jauh, sudah demikian akrab dengan telinga kita. Berulangkali terjadi aksi terorisme di negeri ini. Tragedi bom di Sari Club dan Paddy’s Club Kuta Legian Bali 12 Oktober 2002, yang menewaskan 202 orang, adalah bukti nyata bahwa teror adalah aksi yang sangat keji; yang tidak memperhitungkan, tidak memperdulikan dan sungguh-sungguh mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan.

Di tempat lain, sebut saja di Poso, Sulawesi Tengah. Menurut kantor berita Antara, (30/11/2020) di wilayah itu berulangkali terjadi tindak terorisme. Misalnya,  penembakan dan pengeboman Gereja Anugerah pada 12 Desember 2004, bom GOR Poso pada 17 Juli 2004, bom Pasar Sentral pada 13 November 2004, bom Pasar Tentena pada 28 Mei 2005, bom Pura Landangan pada 12 Maret 2005, bom Pasar Maesa pada 31 Desember 2005, bom Termos Nasi Tengkura pada 6 September 2006, bom Senter Kawua pada 9 September 2006, dan penembakan sopir angkot Mandale.”

Pada bulan Mei 2018, terjadi serangkaian serangan bom bunuh diri di Surabaya. Aksi teror bom terjadi di tiga gereja di Surabaya. Ledakan bom terjadi di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela (STMB), Gereja Kristen Indonesia (GKI) di Jalan Diponegoro Surabaya dan Gereja Pentakosta di Jalan Arjuno Surabaya. Ledakan bom tersebut merenggut korban jiwa dan puluhan orang terluka.

Masih di bulan Mei, Mapolda Riau juga diserang sekelompok teroris. Mapolrestabes Surabaya dan Rusunawa Wonocolo Sidoarjo, pada bulan Mei 2018, juga menjadi sasaran penyerangan. Masih banyak lagi, terjadi aksi terorisme di negeri ini, beberapa waktu lalu. Sebut saja, bom Borobudur yang terjadi pada tanggal 21 Januari 1985. Lalu, mulai tahun 2000 rangkaian aksi terorisme terjadi dimulai dengan Bom Kedubes Filipina, 1 Agustus 2000.

Ketiga

Berbagai aksi teror tersebut jelas telah melecehkan nilai kemanusiaan martabat bangsa, dan norma-norma agama. Ketika terorisme bersentuhan, berkaitan dengan agama, maka akan lebih banyak menimbulkan petaka karena para teroris menggunakan segala potensinya agar tidak gagal dalam aksinya. Sebab, kegagalan dianggapnya sebagai kegagalan ideologi agamanya (M Juergensmeyer; 2000).

Menurut Gus Martin, terorisme atas nama agama telah menjadi model utama kekerasan politik di dunia moderen. Ini tidak berarti bahwa terorisme atas nama agama ini adalah satu-satunya model karena nasionalisme dan ideologi tetap menjadi katalisator yang kuat untuk perilaku ekstremis. Namun, ekstremisme agama telah menjadi isu sentral komunitas global. Di era moderen, terorisme agama telah meningkat dalam frekuensi, skala kekerasan, dan jangkauan globalnya. Pada saat yang sama, penurunan relatif telah terjadi dalam terorisme sekuler.

Apa pun istilahnya, kelompok penebar teror seperti yang terjadi di Sigi, tidak berhak mengatasnamakan sebagai elemen agama. Oleh karena, agama apapun tidak membenarkan tindakan teror. Teror adalah tindakan anti-kemanusiaan.

Satu hal yang pasti adalah terorisme selalu dicirikan dengan penggunaan kekerasan, kekejaman terhadap  sasaran mereka, entah itu rakyat sipil, polisi atau militer. Kekerasan dan kekejaman menjadi ciri khasnya. Penggunaan kekerasan itu bertujuan untuk menciptakan ketakutan pada khalayak yang lebih luas untuk mencegah berbagai pihak melakukan sesuatu, atau sebaliknya, untuk memaksa mereka melakukan perilaku tertentu.

Cara yang mereka pilih itulah yang membuat mereka tidak akrab—atau malahan tidak kenal—dengan kemanusiaan, dengan hati nurani.

Terorisme adalah potret kekejaman atau malah kekejian manusia terhadap manusia lain. Ini “kekejian yang membinasakan.” Mereka ini menghancurkan martabat manusia, jati diri manusia, dan harkat sebuah bangsa yang beradab. Karena itu, tepat yang dikatakan Jokowi, “tidak ada tempat di tanah air kita bagi terorisme.”

Itu juga berarti tidak ada tempat bagi terorisme di Dusun V Lewonu, misalnya, tempat hidup orang-orang sederhana, rakyat kecil yang hanya ingin mencari penghidupan yang layak, bermartabat, dan terhormat sebagai manusia.  

Hal itu akan menjadi kenyataan bila ada tindakan cepat dan tegas terhadap semua bentuk terorisme, yang mengenakan topeng aneka wajah.  Sebab, prinsip dasar terorisme, spirit of terrorism menurut Jean Baudrillard (2002), adalah sistem kematian. Jadi teror adalah permainan kematian. Maka itu perlu tindakan cepat dan tegas untuk menghentikan “permainan” itu.  Sebab, terorisme tetaplah terorisme.

***