Di tengah kita mengecam para pelaku tindak kekerasan, kita juga mengecam cara-cara tak hati-hati, tak transparan, dan terburu-buru dalam mengambil keputusan sangat penting.
Saat anda membaca catatan saya kali ini, mohon rendahkan emosi dan kedepankan hati. Saya berusaha ungkapkan sejujurnya melihat fenomena demonstrasi yang berujung pada tindakan kekerasan dan perusakan. Mohon bersabar sehingga anda dapat membaca uraian ini sampai habis. Bila anda berhenti membaca di tengah uraian ini, pasti anda tak utuh memahami apa yang saya maksud.
Untuk memulainya, mohon lihat video ini. Lihat awal dan akhirnya. Apa yang bisa kita petik dari pelajaran ini? Untuk memahaminya, kita coba dengan memahami sifat kerumunan expresif (angry/expressive crowd) sebagaimana terlihat pada video ini.
Tiap orang yang menjadi bagian kerumunan ini setidaknya mengalami tiga hal berikut:
1. Terjadi proses deindividualisasi. Nilai-nilai individu terbawa oleh emosi massa. Tokoh dominan yang berhasil mengendalikan psikologi massa dapat memprovokasi kemarahan dan mengarahkan perilaku "massa ikut-ikutan" (floating mass).
2. Terjadi penurunan derajat kehati-hatian (mereka mendadak menjadi pemberani di luar batas normal). Karena itu, aksi beringas mudah sekali terjadi.
3. Terjadi proses mudah ikutan. Satu teriak "lempar batu", yang lain cenderung ikutan.
Bila sejak awal kita fahami bahwa kerumunan ekspresif memiliki sifat seperti ini, maka tiap pengambilan keputusan penting yg menyangkut harkat hidup orang banyak dengan beragam kepentingan, harus mengikuti proses dengan penuh kehati-hatian. Para penentu kebijakan harus membuka dialog luas yang intensif dan tuntas. Waktu dalam mengambilan keputusannya juga harus tepat. Jangan tutup mata, tutup telinga dan tutup hati, Tanpa kehati-hatian, reaksi keras dapat muncul. Salah paham dan kecurigaan mudah terjadi.
Dan Demonstrasi bisa merebak, tak peduli masa Covid-19 atau tidak. Apalagi kita tahu, kelompok penunggang pada saat situasi politik saat ini bisa jadi ikut memanfaatkan. Agen kekerasan baik bermotif politik maupun semata-mata motif ekonomi, telah lama kita kenal keberadaanya.
Apa boleh buat. Saat ini reaksi keras telah terjadi. Aksi vandalisme muncul. Ini jelas harus disesali. Bahkan menurut saya harus dikecam karena ini bukan cara ekspresi yang patut. Perusakan fasilitas umum jelas melukai hati rakyat banyak dan merugikan diri sendiri.
Di zaman kolonial yang penuh penindasan terbuka saja, gerakan tanpa kekerasan bisa dilakukan. Mungkin tokoh gerakan seperti Mahatma Gandhi dari India perlu diperkenalkan kembali. Tokoh yang lahir di India 2 Oktober
1869 ini menginspirasi dunia karena gerakan Ahimsa (gerakan “tidak melukai” dan “cinta kasih”) atau gerakan tanpa
kekerasan yang didasarkan pada rasa cinta kasih kemanusiaan untuk membebaskan rakyat India dari penjajahan Inggris.
Dalam bukunya, My Non-violence, Gandhi menjelaskan konsep ahimsa sebagai berikut:
“Tindakan tanpa kekerasan bukanlah persembunyian bagi pengecut, melainkan bukti moral tertinggi bagi pemberani.
Pelatihan diri untuk tidak melakukan kekerasan membutuhkan keberanian yang jauh lebih besar daripada pelatihan untuk menjadi pendekar pedang. Sikap pengecut sama sekali tak sama dengan sikap tanpa kekerasan. Pengalihan keahlian pendekar pedang kepada tindakan tanpa kekerasan dimungkinkan dan, bahkan terkadang, menjadi sebuah tahapan mudah. Tindakan tanpa kekerasan, oleh karena itu, diibaratkan seperti kemampuan dalam menyerang. Ini merupakan sebuah kesadaran, kemauan menahan diri saat seseorang memiliki nafsu untuk membalas dendam.”
Kita memang perlu kreatifitas dalam mengungkapkan ekspresi. Apapun dan seperti apapun kemarahan membakar hati.
Namun, di satu sisi kita menyesali aksi kekerasan yang menunggangi aksi unjuk rasa, di pihak lain kita juga sesalkan pemicu awalnya. Kita harus ingatkan sekali lagi kepada para politisi di lembaga legislatif (DPR) maupun eksekitif agar dapat berpikiran jernih dalam melihat kondisi saat ini.
Pikiran dan hati yang peka dan bijak dalam menyikapi kondisi sosial politik saat ini sangat penting karena situasi masyarakat kita memang sedang sangat rentan. Sikap kurang sensitif, bisa jadi menjadi biang keladi terjadinya kesalah-pahaman, ketidak-puasan dan bahkan kerusuhan.
Jadi, di tengah kita mengecam para pelaku tindak kekerasan, kita juga mengecam cara-cara tak hati-hati, tak transparan, dan terburu-buru dalam mengambil keputusan sangat penting. "Setiap kali ada api besar, bukankah di sana selalu ada bensin yang tertumpah atau ditumpahkan?" Bangsa ini agaknya memilih jalan terjal dan sulit dalam menyusuri jalan ke depan.
Semoga kedamaian kembali terjadi. Semoga bangsa ini mampu menatap ke depan, dengan satu visi, satu hati.
#iPras2020
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews