Kekuasaan Demi Uang dan Uang Demi Kekuasaan

Mungkin bisa mencontoh politikus Amerika Serikat, mengumpulkan dana kampanye melalui acara makan malam yang bisa berbiaya mulai dari ratusan dolar per orang sampai puluhan ribu dolar.

Rabu, 2 Oktober 2019 | 10:38 WIB
0
385
Kekuasaan Demi Uang dan Uang Demi Kekuasaan
Ilustrasi uang (Pixabay.com)

Kekuasaan demi uang dan uang demi kekuasaan bagaikan lingkaran setan di dalam dunia politik. Ketika ingin berkuasa maka dibutuhkan uang dan ketika berkuasa banyak terjadi usaha untuk mengembalikan modal.

Memang harus diakui bahwa tanpa uang sulit atau bahkan tidak mungkin untuk bisa hidup di dunia ini. Orang harus bekerja demi uang agar bisa terpenuhi kebutuhan hidupnya.

Tetapi uang hanyalah alat yang tidak salah, balik lagi tergantung manusia bagaimana dalam menyikapinya. Apakah memperalat uang atau diperalat uang?

Keinginan meraih jabatan publik

Banyak orang yang ketika telah berhasil baik secara ekonomi atau akademis misalnya, akan mencari tantangan baru. Contohnya adalah kecelakaan Donald Trump menjadi presiden Amerika Serikat.

Sebenarnya hal ini bisa dikatakan baik, karena asumsinya adalah mereka telah puas dengan apa yang mereka capai sehingga ingin menyumbangkan sisa hidupnya untuk menjadi pejabat publik.

Tetapi tidak selamanya asumsi ini benar. Banyak pula yang ingin meraih apa yang tidak bisa diraih dengan hanya mengandalkan uang atau modal yang lain. Ingin menjadi seperti priyayi misalnya, yang dipuja puji rakyat kecil.

Juga tidak sedikit yang ingin berkuasa karena ingin menumpuk kekayaan.

Memang uang tidak bisa membeli segalanya. Seperti, tidak ada yang bisa dilindungi oleh Paspampres selama jabatannya bukan Presiden Indonesia, wakil presiden atau mantan. Tidak ada yang bisa, setiap saat naik pesawat Air Force One jika bukan Presiden Amerika Serikat. Tak peduli berapa banyak uang yang Anda miliki.

Motivasi ini yang akan menentukan, ketika menjadi pejabat. Apakah menjadi pelayan rakyat? Atau hanya menjadi pejabat yang  minta dilayani rakyat?

Pejabat yang kedua akan berusaha melanggengkan kekuasaan, mencegah bukan elite untuk bisa masuk ke dalam kekuasaan. Ketika ada orang seperti Joko Widodo yang mendobrak kebiasaan, bukan golongan yang termasuk elite tetapi berhasil meraih jabatan publik tertinggi di Indonesia. Tidak sedikit orang yang iri hati dan mungkin malah dendam karena tidak berhasil meraih jabatan ini, walau sudah masuk kategori elite.

Untuk meraih jabatan publik yang dipilih oleh rakyat melalui pemilu memang dibutuhkan uang yang tidak sedikit. Biaya kampanye, yang jika dibagi lebih detail, misalnya untuk iklan, rapat umum, bagi-bagi kaus dan suvenir, mahar untuk partai politik serta bahkan membagikan amplop berisi uang agar dipilih.

Amplop uang yang oleh 37 persen pemilih akan diterima dan menjadi pertimbangan untuk memilih sang pemberi menurut survei LIPI tahun 2019.

Kemungkinan besar amplop uang ini yang menyebabkan biaya untuk menjadi pejabat publik menjadi mahal. Mahalnya biaya politik, termasuk biaya penyelenggaraan pemilu, berulang kali dijadikan alasan untuk membuka wacana pemilihan dikembalikan kepada DPRD untuk pejabat daerah.

Biaya Kampanye dan Partai Politik

Transparansi biaya kampanye memang sudah mulai dilakukan walau belum sempurna. Tetapi kalau melihat ke pendanaan partai politik (parpol) belum terlihat adanya upaya untuk menegakkan transparansi.

Padahal parpol adalah kendaraan untuk menjadi pejabat publik. Jika boleh  malah bisa dikatakan pabriknya politisi yang akan mengisi jabatan DPR, DPRD, Gubernur, Bupati, Walikota sampai Presiden.

Jika pabrik politisi ini kotor maka apakah bisa diharapkan akan menghasilkan produk yang bersih dan berkualitas? Kemungkinan kecil!

Mungkin sudah saatnya parpol diperlakukan sebagai lembaga publik yang setiap tahun diaudit oleh auditor independen keuangannya. Terlebih jika parpol sudah mendapatkan dana bantuan negara, mungkin malah harus diaudit BPK.

Silakan jika pengusaha besar seperti Prabowo, Surya Paloh, Harry Tanuwijaya, dan lainnya ingin menyumbang dana untuk pengembangan partai mereka. Asalkan semua transparan, dari mana dana itu berasal. Jika dari usaha mereka, ya silakan.

Mungkin juga bisa mencontoh politikus Amerika Serikat, mengumpulkan dana kampanye melalui acara makan malam yang bisa berbiaya mulai dari ratusan dolar per orang sampai puluhan ribu dolar.

Penyalahgunaan dana kampanye di Amerika Serikat bisa dihukum cukup berat. Seperti ketika kampanye Presiden Obama 2008 didenda sebesar USD 375 ribu hanya karena tidak menyerahkan laporan keuangan.

Semua dana masuk dan keluar harus tercatat rapi dan dibuka ke publik.

Hal ini demi agar pejabat publik terpilih tidak dijadikan sapi perahan dan akhirnya korupsi. Seperti ketika parpol disebut menerima uang korupsi e-KTP oleh Jaksa Irene Putrie dalam sidang dakwaan Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tipikor, 9 Maret 2017.

Walau mungkin lebih banyak korupsi yang dilakukan karena serakah.

Mungkinkah ini terjadi?

Gubrak, plak! Suara tubuh saya terjatuh dan tangan saya bertemu jidat. Sedang bermimpi di siang bolong ternyata.

 Ronald Wan

***