Jokowi-Amin Bakal Menang di DKI, Ini Alasannya

Selasa, 12 Maret 2019 | 09:24 WIB
0
1400
Jokowi-Amin Bakal Menang di DKI, Ini Alasannya
Joko Widodo dan Ma'ruf Amin (Foto: arahkita.com)

Mayoritas masyarakat Indonesia tahu bahwa dua dari calon peserta kontestasi Pilpres 2019, yaitu capres Joko Widodo (Jokowi) dan cawapres Sandiaga Uno (Sandiaga) sama-sama pernah memimpin ibukota. Jokowi mantan gubernur dan Sandiaga mantan wakil gubernur. Jokowi menjabat sebagai gubernur selama dua tahun, sedangkan Sandiaga menjabat sebagai wakil gubernur selama sebelas bulan.

Dengan masa jabatan yang sedikit panjang dibanding Sandiaga, tentu kelekatan hati dan kesan masyarakat DKI Jakarta kepada Jokowi lebih lama. Apalagi kemudian Jokowi yang populer dan dengan restu warga akhirnya terpilih menjadi presiden.

Betul bahwa perolehan suara pasangan Jokowi-Ahok pada Pilkada DKI 2012 dengan pasangan Anies-Sandiaga pada Pilkada DKI 2017 silam terpaut berbeda, selisih 4,14 persen, di mana Jokowi-Ahok memperoleh suara sebesar 53,82% dan Anies-Sandiaga mendapat suara 57,96%. Namun sepertinya tidak akan beririsan dengan perolehan suara di Pilpres 2019.

Belum lagi bahwa terkait atau tidak, salah satu penyebab suara Anies-Sandiaga terangkat pada waktu itu karena terbelitnya Ahok atas kasus penodaan agama. Barangkali tanpa belitan kasus Ahok, mungkin saja perolehan suara Anies-Sandiaga, kalaupun tetap unggul, persentasenya belum tentu sebesar itu.

Jika dulu yang dihadapi Sandiaga adalah Ahok, sekarang ini Jokowi, yang notabene presiden sekaligus capres petahana. Bersama Prabowo Subianto, Sandiaga bakal bersusah payah. Di samping karena popularitas dan elektabilitas mereka yang masih rendah, mayoritas kekuatan di parlemen yang dimiliki Jokowi (bersama Ma'ruf Amin), baik di level pusat maupun daerah kiranya pasti membuat Prabowo-Sandiaga tertatih-tatih.

Dan belum lagi persoalan lainnya, di antaranya kurang kompaknya perjuangan tim, logistik yang minim, terpecahnya konsentrasi partai koalisi, serta tersendatnya pemilihan wakil gubernur baru ibukota.

Fokus pada prediksi di area ibukota. Di atas telah disinggung mengenai kelekatan hati dan kesan warga terhadap para mantan pemimpin mereka. Kedua aspek ini bersentuhan dengan tingkat keikhlasan dan kepuasan warga.

Bila tingkat keikhlasan warga terhadap dua para petarung ini, sepertinya keputusan Jokowi dulu meninggalkan ibukota lebih tinggi dibandingkan dengan Sandiaga. Apa yang diikhlaskan terhadap Sandiaga, jejak terbaiknya belum ada karena memang masa pengabdiannya bagi warga cukup singkat, sehingga kesan puas pun jauh dari harapan.

Program-program unggulan yang sempat digaungkannya bersama Anies juga tampaknya tidak berkembang, semisal OK-OCE. Sampai sekarang OK-OCE 'bak' hilang ditelan bumi. Walaupun akhirnya kembali dipasang di level nasional, yang tentunya bagi warga yang terlanjur kecewa sudah tidak menarik lagi.

Patut diingat memang sebagian besar organisasi massa (ormas) yang berkontribusi menghimpun suara para pemilih pada Pilkada 2017 yang lalu berafiliasi dengan tim pemenangan Anies-Sandiaga. Di antaranya misalnya FPI, FBR, Bang Japar dan sebagainya.

Namun ternyata, salah satu di antara ormas tersebut yaitu FBR beberapa waktu yang lalu telah resmi mendeklarasikan dukungan kepada pasangan Jokowi-Amin. Setidaknya ormas inilah yang cukup menyita perhatian karena ormasnya warga asli DKI Jakarta. Artinya ormas yang seharusnya menjadi harapan bagi Prabowo-Sandiaga hilang.

Selain potensi keberadaan ormas, hal lain yang turut melemahkan posisi Prabowo-Sandiaga di ibukota adalah pasifnya Anies berpartisipasi mengangkat kepercayaan warga terhadap Prabowo-Sandiaga.

Keputusan Anies untuk tidak terlibat menjadi bagian dari tim pemenangan Prabowo-Sandiaga bisa dinilai sebagai sikap ideal seorang kepala daerah yang netral. Namun sesungguhnya potensi dan gerakan Anies sangat diharapkan oleh Prabowo-Sandiaga.

Sekali lagi, tulisan ini hanya fokus pada prediksi yang bakal terjadi di DKI Jakarta. Tidak menyinggung efek peranan Prabowo dan Ma'ruf Amin, meskipun ada juga benang merahnya. Dan pula tidak sampai dihubungkan dengan jejak perjuangan buruk mantan pasangan capres-cawapres Prabowo-Hatta pada 2014 silam, yang lagi-lagi mungkin tetap diadopsi sebagian atau penuh saat ini.

***