Semiotika Kampanye 01

kampanye Jokowi putihkan GBK bukanlah hanya untuk dominasi muslim baik dari NU maupun kalangan santri, tapi juga menghadirkan semua warna identitas.

Senin, 15 April 2019 | 12:08 WIB
0
381
Semiotika Kampanye 01
Joko Widodo (Foto: Lawa-justice.co)

Banyak yang menarik dari kampanye kandidat 01 Jokowi-Amin yang dihelat pada 13 April kemarin setelah 02 beraksi memutihkan Stadion GBK.

Kalau dilihat dari sudut pandang komunikasi politik, memang kedua kandidat sudah menjalankan kampanye dengan baik, minimal selaras dengan apa yang didefinisikan Roger dan Storey bahwa kampanye merupakan serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu.

Meminjam pula definisi Pfau dan Parrot (1993) bahwa kampanye memang merupakan suatu proses yang dirancang secara sadar, bertahap dan berkelanjutan dan dilakasanakan pada rentang waktu tertentu dengan tujuan mempengaruhi khalayak sasaran yang telah ditetapkan.

Dengan demikian, kampanye kedua paslon ini sudah masuk kategori kampanye yang dikenal sebagai tindakan komunikasi yang terorganisir yang diarahkan pada khalayak tertentu, pada periode waktu tertentu guna mencapai tujuan tertentu.

Setidaknya, ada dua tujuan dari kampanye itu sendiri yaitu; Pertama, diarahkan untuk menciptakan perubahan pada tataran pengetahuan kognitif. Pada tahap ini pengaruh yang diharapkan adalah munculnya kesadaran, berubahnya keyakinan atau meningkatnya pengetahuan khalayak terhadap isu tertentu. Kedua, diarahkan pada perubahan sikap. Sasarannya adalah untuk memunculkan simpati, rasa suka, kepeduliaan atau keberpihakan khalayak pada isu-isu yang menjadi tema kampanye.

Menariknya, kampanye Jokowi selama ini bahkan hingga ke panggung kampanye akbar, Jokowi-Amin sangat lihai memainkan semiotika komunikasi politik, dimana publik mampu merasa menjadi bagian dari gerakan kampanye Jokowi-Amin. Ada beberapa faktor terkait hal ini:

Pertama, Jokowi-Amin tak kehilangan otentisitas ketokohan politiknya di mata masyarakat. Jokowi masih dikenal politikus populis yang lahir dari rahim masyarakat. Jokowi muncul sebagai perwakilan artikulasi kepentingan politik masyarakat. Sedangkan Amin, tetap istiqomah sebagai politisi ideolog; sebuah representasi nilai-nilai normatif yang diusung kelompok muslim Indonesia, lebih khusus NU.

Kedua, Retorika Jokowi yang santun dan memukau. Retorika sebagai “art of speech” (seni berbicara), sudah dilakoni Jokowi-Amin dengan baik. Bukan hanya tutur kata yang halus dan meyakinkan, tapi didukung pula oleh komunikasi nonverbal mereka yang begitu baik. Sebagai contoh, Jokowi memulai kampanye dengan salam pembuka yang beragam dengan sejumlah bahasa daerah yang ditutup dengan bahasa persatuan: Bahasa Indonesia.

Otomatis, Jokowi ingin menunjukkan secara semiotika (symbol) kebahasaan bahwa para loyalis dan pemilihnya sudah mewakili keberagaman Indonesia.

Hal ini amat terbalik dengan kampanye kubu 02 yang justru mengandalkan keseragaman kelompok, seperti Islam HTI dan FPI juga sejumlah artis Hijra-ers.

Ketiga, Komunikasi simbolik yang dimainkan dengan apik. Jokowi mempertahankan kesan kesederhanaannya lewat celana hitam dan kemeja putih, sedangkan Pak Kyai Ma’ruf tetap sarungan ala kaum santri dengan balutan koko putih. Kesan semacam ini juga diteriakkan secara lantang di GBK bahwa tanggal 17 siap “putihkan” TPS karena memang mereka sedari awal sudah memilih warna putih sebagai warna “identitas kandidat”.

Selain itu, teriakkan memutihkan ini pun nampak sedikit menyindir sebab Prabowo-Sandi yang meneriakkan putih-putih juga, ternyata tidak sama sekali secara simbolik menggunakan warna putih, baik di kertas pencoblosan maupun pada sebagian besar kampanye mereka.

Keempat, Pesan persatuan dalam heterogenitas Keindonesiaan. Harus diakui bahwa kampanye Jokowi putihkan GBK bukanlah hanya untuk dominasi muslim baik dari NU maupun kalangan santri, tapi juga menghadirkan semua warna identitas, mulai dari perbedaan agama, suku, ras bahkan antargolongan lainnya. Berbeda halnya dengan Prabowo, yang lebih mengesankan keislaman saja.

***