Bola Panas Pilpres Menggelinding ke Jalanan

Ketidakpercayaan pada MK sebagai kanal penyelesaian perselisihan pemilu menggeser konflik ke jalanan membuat demokrasi kita kembali mundur.

Rabu, 22 Mei 2019 | 07:25 WIB
0
538
Bola Panas Pilpres Menggelinding ke Jalanan
Demo di depan Bawaslu (Foto: Detik.com)

Bawaslu RI memutuskan KPU bersalah dan terbukti secara sah melanggar prosedur dan tata cara pendaftaran dan pelaporan lembaga survei.

KPU disebut tidak mengumumkan jadwal pendaftaran penghitungan cepat serta abai menyurati lembaga survei yang telah menjalankan hitung cepat menyerahkan laporan sumber dana serta metodelogi mereka dalam batas waktu maksimal 15 hari setelah hasil hitung cepat diumumkan.

Selanjutnya Bawaslu menghukum KPU segera mengumumkan lembaga survei yang melakukan penghitungan cepat tapi tidak memasukkan laporannya ke KPU.

Putusan Bawaslu rupanya jauh dari ekspektasi banyak pihak yang menghendaki sanksi berat terhadap KPU. Karena dianggap gagal atau tidak kredibel menyelenggarakan pilpres mereka berharap Bawaslu memerintahkan pemenang didiskualifikasi atau pilpres diulang dan seterusnya, dan seterusnya. Sayangnya Bawaslu memutuskan lain, kesalahan KPU menyangkut hal yang sama sekali tidak memiliki implikasi terhadap hasil akhir perolehan suara dalam pilpres.

Sebenarnya bukan sekali ini lembaga survei dipermasalahkan dan diadukan. Lima tahun lalu Denny JA dilaporkan oleh Fadli Zon ke Bareskrim Mabes Polri karena dituduh sebagai pihak yang berpotensi mengganggu ketertiban umum dan mengarah kepada tindakan makar. Hal itu karena LSI Denny JA mengumumkan lebih awal kemenangan paslon Jokowi-Jusuf Kalla lewat quick count.

Melihat potensi konflik terkait hitung cepat ini, menjelang pilpres 2019, DPR kembali menghidupkan aturan yang pernah dianulir MK terkait larangan lembaga survei mengumumkan hasil hitung cepat saat pemilihan masih sementara berlangsung. UU hanya memberi toleransi paling cepat 2 jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat.

Merasa dirugikan dengan pembatasan ini sejumlah stasiun televisi dan Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI) mengajukan pemohonan uji materi UU Pemilu ke MK menjelang pilpres kemarin. Para pemohon menganggap pembatasan waktu pengumuman hitung cepat mengebiri hak publik untuk memperoleh informasi hasil pemilihan lebih cepat.

Menurut Burhanuddin Muhtadi, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia pada mulanya quick count berfungsi sebagai guidens bagi publik untuk mengawasi potensi berbagai kecurangan karena real count dilakukan secara berjenjang dan membutuhkan waktu lama.

Dengan tingkat akurasi yang tinggi, quick count bagi penyelenggara berperan sebagai komparasi terhadap hasil real count.

Sebaliknya hakim MK berpandangan bahwa pengumuman hasil hitung cepat seharusnya tidak diumumkan selama pemilihan masih berlangsung karena berpotensi mempengaruhi pemilih yang belum menentukan pilihan.

Baca Juga: Quick Count: Ketika Politisi, Ilmuwan dan Ulama Berkolaborasi Membunuh Sains

Terlepas perbedaan pandangan antara keduanya, tidak bisa dipungkiri langkah cerdas hakim MK ini setidaknya telah menyelamatkan institusinya dari sasaran tembak karena bisa dianggap bersekongkol dengan lembaga survei. Bayangkan andai putusan MK mengenai uji materi UU Pemilu membolehkan lembaga survei merilis hasil hitung cepat di saat pemungutan suara masih berlangsung?

Keputusan BPN Prabowo--Sandi menolak maju ke MK membuat bola panas pilpres yang seharusnya bergeser ke MK tetap berada dalam genggaman KPU. Sinisme 'KPU pasti salah di mata yang kalah' sepertinya tidak akan beranjak menjadi 'MK pasti tidak adil di mata yang kalah'. Padahal faktanya, MK telah berulang kali mengabulkan permohonan pemohon perselisihan yang diajukan padanya.

Ketidakpercayaan pada MK sebagai kanal penyelesaian perselisihan pemilu lalu menggeser konflik ke jalanan membuat demokrasi kita kembali mundur, setidaknya dibanding lima tahun sebelumnya.

***