Bawaslu RI memutuskan KPU bersalah dan terbukti secara sah melanggar prosedur dan tata cara pendaftaran dan pelaporan lembaga survei.
KPU disebut tidak mengumumkan jadwal pendaftaran penghitungan cepat serta abai menyurati lembaga survei yang telah menjalankan hitung cepat menyerahkan laporan sumber dana serta metodelogi mereka dalam batas waktu maksimal 15 hari setelah hasil hitung cepat diumumkan.
Selanjutnya Bawaslu menghukum KPU segera mengumumkan lembaga survei yang melakukan penghitungan cepat tapi tidak memasukkan laporannya ke KPU.
Putusan Bawaslu rupanya jauh dari ekspektasi banyak pihak yang menghendaki sanksi berat terhadap KPU. Karena dianggap gagal atau tidak kredibel menyelenggarakan pilpres mereka berharap Bawaslu memerintahkan pemenang didiskualifikasi atau pilpres diulang dan seterusnya, dan seterusnya. Sayangnya Bawaslu memutuskan lain, kesalahan KPU menyangkut hal yang sama sekali tidak memiliki implikasi terhadap hasil akhir perolehan suara dalam pilpres.
Sebenarnya bukan sekali ini lembaga survei dipermasalahkan dan diadukan. Lima tahun lalu Denny JA dilaporkan oleh Fadli Zon ke Bareskrim Mabes Polri karena dituduh sebagai pihak yang berpotensi mengganggu ketertiban umum dan mengarah kepada tindakan makar. Hal itu karena LSI Denny JA mengumumkan lebih awal kemenangan paslon Jokowi-Jusuf Kalla lewat quick count.
Melihat potensi konflik terkait hitung cepat ini, menjelang pilpres 2019, DPR kembali menghidupkan aturan yang pernah dianulir MK terkait larangan lembaga survei mengumumkan hasil hitung cepat saat pemilihan masih sementara berlangsung. UU hanya memberi toleransi paling cepat 2 jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat.
Merasa dirugikan dengan pembatasan ini sejumlah stasiun televisi dan Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI) mengajukan pemohonan uji materi UU Pemilu ke MK menjelang pilpres kemarin. Para pemohon menganggap pembatasan waktu pengumuman hitung cepat mengebiri hak publik untuk memperoleh informasi hasil pemilihan lebih cepat.
Menurut Burhanuddin Muhtadi, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia pada mulanya quick count berfungsi sebagai guidens bagi publik untuk mengawasi potensi berbagai kecurangan karena real count dilakukan secara berjenjang dan membutuhkan waktu lama.
Dengan tingkat akurasi yang tinggi, quick count bagi penyelenggara berperan sebagai komparasi terhadap hasil real count.
Sebaliknya hakim MK berpandangan bahwa pengumuman hasil hitung cepat seharusnya tidak diumumkan selama pemilihan masih berlangsung karena berpotensi mempengaruhi pemilih yang belum menentukan pilihan.
Baca Juga: Quick Count: Ketika Politisi, Ilmuwan dan Ulama Berkolaborasi Membunuh Sains
Terlepas perbedaan pandangan antara keduanya, tidak bisa dipungkiri langkah cerdas hakim MK ini setidaknya telah menyelamatkan institusinya dari sasaran tembak karena bisa dianggap bersekongkol dengan lembaga survei. Bayangkan andai putusan MK mengenai uji materi UU Pemilu membolehkan lembaga survei merilis hasil hitung cepat di saat pemungutan suara masih berlangsung?
Keputusan BPN Prabowo--Sandi menolak maju ke MK membuat bola panas pilpres yang seharusnya bergeser ke MK tetap berada dalam genggaman KPU. Sinisme 'KPU pasti salah di mata yang kalah' sepertinya tidak akan beranjak menjadi 'MK pasti tidak adil di mata yang kalah'. Padahal faktanya, MK telah berulang kali mengabulkan permohonan pemohon perselisihan yang diajukan padanya.
Ketidakpercayaan pada MK sebagai kanal penyelesaian perselisihan pemilu lalu menggeser konflik ke jalanan membuat demokrasi kita kembali mundur, setidaknya dibanding lima tahun sebelumnya.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews