Satu hal yang semakin memperkuat keyakinan bahwa dalam masalah kekuasaan tidak pernah ada ukhuwah Islamiyah sejak dulu sampai sekarang.
Saya ketemu dengan beberapa teman kemarin dan kami ngobrol asyik berbagai topik. Meski demikian topik pilpres yang paling hangat. Maklumlah karena informasi tentang ini semakin intens ditemui di berbagai komunitas dan media. Kami akhirnya tiba pada ajaran bijak soal pentingnya memilih pemimpin yang tidak ambisius dan ngotot untuk mendapatkannya.
Ada yang mengutip hadist Nabi SAW yang menyebut, "Kami tidak menyerahkan kepemimpinan ini kepada orang yang memintanya dan tidak pula kepada orang yang berambisi untuk mendapatkannya (HR Bukhari dan Muslim).
“Kalau begitu sebaiknya kepemimpinan tidak diserahkan kepada Prabowo,” demikian kata seorang teman. “Dia itu yang paling berambisi untuk memimpin padahal rakyat sudah dua kali menolaknya. Sekarang dia berambisi untuk menjadi pemimpin yang ketiga kalinya,” sambungnya. Jelas sekali bahwa dia dari Kubu 01.
“Yah, siapa tahu kali ini rakyat bersedia menerimanya karena ingin perubahan," kata teman yang lain. “Bukankah kita harus pantang menyerah dan tetap gigih mengejar cita-cita kita. Justru kita harus meniru kegigihan Prabowo,” jelas dia dari Kubu 02.
“Lha kita kan bicara dalam kapasitas sebagai pemberi amanat kepemimpinan. Hadist itu untuk kita dan bukan untuk Prabowo. Prabowo mah mana peduli sama hadist. Lagipula kan kita bicara soal ambisi dalam mendapatkan jabatan dan kekuasaan dan bukan cita-cita.”
“Menurutku yang paling ambisius itu justru Kyai Ma’ruf. Lha wong sudah menjadi Ketua MUI kok ya masih mau-maunya dan tidak punya malu ingin maju sebagai wakil presiden. Apakah dia belum merasa cukup menjadi panutan umat sebagai ulama? Semestinya sebagai ulama dia harus lebih tahu soal ambisi mendapatkan jabatan dan kekuasaan ini,” seorang teman dari Kubu 02 berapi-api menyampaikan pendapatnya.
“ Siapa bilang Kyai Ma’ruf itu berambisi dan mengajukan diri untuk menjadi cawapres?” sahut Kubu 01. “Beliau itu justru diminta oleh Jokowi untuk menjadi teman seiringnya dalam membangun perekonomian umat yang berlandaskan syariah. Beliau kan ahlinya di bidang perekonomian syariah. Karena berpikir pentingnya membangun perekonomian umat yang yang berlandaskan syariah inilah maka beliau bersedia untuk maju mendampingi Jokowi.” Kata Kubu 01. “Bahkan sebenarnya kalau soal ambisi maka yang paling berambisi untuk mendapatkan kekuasaan dan jabatan itu Sandiaga Uno,” sambungnya.
“Lho kok Sandi…?!”
“Kita jangan tertipu dengan wajah ganteng dan imutnya Sandi, Bro. Dia itu orang yang sangat ambisius. Coba pikir siapa orang di Indonesia ini, termasuk orang partai sekali pun, yang mau mengeluarkan hartanya sebesar trilyunan untuk bisa mendapatkan jabatan dan kekuasaan? Hanya Sandi…!”
“Memang banyak orang kaya yang menggunakan kekayaannya untuk mendapatkan jabatan dan kekuasaan tapi tidak ada yang seambisius Sandi. Hanya Sandi yang mau menggunakan harta kekayaannya yang sangat melimpah itu sampai trilyunan untuk mendapatkan jabatan dan kekuasaan. Makanya Sandi yang dipilih oleh Prabowo karena Sandi yang punya dan mau mengeluarkan uang sampai trilyunan. Para ketua partai yang paling tajir pun tidak ada yang mau mengeluarkan uang sampai trilyunan kayak Sandi.”
“Sandi itu ingin menggunakan kekayaannya demi kemakmuran bangsa, Bro. Baginya harta kekayaan itu titipan dari Allah dan hendaknya dipergunakan untuk sesama umat. Jangan siriklah…!” kata Kubu 02.
“Terserahlah, Bro. Tapi yang jelas duit trilyunan itu benar-benar hanya dipakai untuk bisa mendapatkan jabatan dan kekuasaan. Bayangkan kalau duit sebesar itu kalau dipakai untuk mendirikan berbagai lembaga social demi kemakmuran bangsa. Satu trilyun itu sangat banyak, Bro. Cak Sat iso nggawe puluhan sekolah hebat di seluruh Indonesia dengan uang segitu. Padahal kalau mau berbakti pada nusa dan bangsa kan dia sudah mendapatkan jabatan dan kekuasaan sebagai Wagub DKI. Lha kok amanah yang sudah diterimanya itu malah dicampakkannya demi mendapatkan jabatan dan kekuasaan yang lebih besar. Itu artinya Sandi bukan orang yang amanah.”
“Lha Jokowi kan juga sama. Belum sampai selesai jadi Gubernur DKI sudah mencalonkan diri jadi Capres di 2014,” jawab Kubu 02.
“Ya bedalah, Bro. Bukan Jokowi yang mau tapi dia didorong dan didukung untuk naik ke RI 1. Sebaliknya Sandi malah membeli dukungan dan berani memberi mahar sangat besar pada partai-partai yang mau mendukungnya. Istilahnya itu Jokowi ‘mendapat amanah’ sedangkan Sandi itu ‘membeli amanah’.
Diskusi dan debat semakin seru dan saya berupaya untuk tidak terlibat. Teman-teman saya ini ternyata tidak kurang melek informasinya tentang pilpres ketimbang saya kok. Soal ngototnya malah kayaknya juga tidak kalah dengan saya.
Saya diam-diam berpikir bahwa sungguh tidak realistis berharap agar umat Islam bakal mau mengikuti hadist Rasulullah tersebut!
Jangankan umatnya lha wong para ustadz dan ulamanya saja sudah tidak menggunakan tuntunan agama kok dalam soal kepemimpinan ini. Lha wong jelas-jelas di pihak Jokowi ada ulamanya malah mereka tidak mau kok dipimpin alias diimami oleh ulama. Mereka lebih suka diimami oleh Prabowo yang gagah, mantan jendral, dan jika berpidato sangat berapi-api, meski pun tidak bakalan akan pernah menjadi imam salat mereka meski salat Dhuhur dan Ashar. Dua kali mengadakan ijtima’ tetap tidak bisa menemukan calon imam yang lebih baik ketimbang Prabowo. Artinya memang sudah mentok dan dapatnya ya cuma itu.
Satu hal yang semakin memperkuat keyakinan saya adalah bahwa dalam masalah kekuasaan tidak pernah ada ukhuwah Islamiyah sejak dulu sampai sekarang. Umat Islam itu dalam sejarahnya selalu bertengkar dan kalau perlu saling bunuh membunuh untuk memperebutkan kekuasaan.
Baca saja sejarah Islam sejak wafatnya Rasulullah yang selalu diisi dengan pertengkaran siapa yang layak jadi pemimpin. Lha wong sama-sama ingin mendirikan khilafah saja Al-Qaedah, ISIS, dan Hizbut Tahrir tidak bakalan mau ngalah dan kalau perlu saling gorok kok.
Ukhuwah islamiyah itu mungkin hanya sekedar jargon atau utopia umat Islam saja.
Piye maneh…?!
Surabaya, 10 April 2019
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews