Mengapa Tim Kampanye Pilpres Tak Melirik Keseksian Entitas Sepak Bola Nasional?

Rabu, 30 Januari 2019 | 07:07 WIB
0
184
Mengapa Tim Kampanye Pilpres Tak Melirik Keseksian Entitas Sepak Bola Nasional?

 

 
 

Hiruk pikuk kampanye Pilpres2019 dipenuhi janji-janji politik masing-masing kubu capres. Dari janji para tim pemenangan, masyarakat awam dibawa ke dalam imajinasi kesejahteran, kemudahan, keamanan, kejayaan negeri dan lain sebagainya. Kecenderungan yang terlihat, tim kampanye lebih suka mengangkat isu klasik , yakni ekonomi rakyat, kesehatan, ketenagakerjaan, dan lain sebagainya.  

Para tim pemenangan masing-masing kubu capres masuk dan menawarkan program (janji politik) ke beragam elemen atau entitas kemasyarakatan. Mulai dari entitas budaya, entitas sosial, entitas intelektual/akademisi, entitas pekerja, buruh, petani dan nelayan. Bahkan kini mereka tak segan-segan masuk secara masif ke entitas keagamaan. Beragam entitas itu dianggap ceruk suara,  yang bisa diraih untuk pemenangan kubunya.

Namun sampai hari ini, sudah lebih dari separuh waktu kampanye Pilpres berjalan tidak terdengar secara masif para tim kampanye masuk ke entitas penggemar sepak bola. Padahal entitas ini memiliki jumlah penggemar dan antusiasme yang besar pada sepakbola nasional. Tentu saja hal tersebut sangat potensial menjadi ceruk suara untuk pemenangan.  

Jumlah Penggemar Sepak Bola

Bila ada pertandingan sepak bola, apalagi Timnas Indonesia berlaga, stadion sepak bola sangat ramai dan riuh dengan penonton. Belum lagi yang hanya menyaksikan siaran langsung melalui televisi dan saluran media lainnya. Bahkan saat pertandingan sepakbola, jalanan bisa relatif sepi karena masyarakat nonton sepak bola.

Penggemar sepakbola di Indonesia sangat banyak. Indonesia disebut salah satu negara penggila bola teratas di dunia. Dalam penelitian Nielsen Sport  ; 77% penduduk Indonesia penggemar berat sepak bola, terutama ketika menyaksikan Timnas Indonesia berlaga. Sementara yang aktif bermain sepakbola 17%.  Dalam hal persentase penggemar sepak bola,  Indonesia hanya kalah dari Nigeria yang mencapai  83%.  

Dengan jumlah penduduk Indonesia sekitar 260 juta, maka 77 persennya  adalah sekitar 200,2 juta orang. Kalau diasumsikan separuhnya atau 100 juta memiliki hak pilih, maka jumlah tersebut merupakan ceruk suara yang potensial untuk dipengaruhi secara politis. Kalo bisa didapatkan  sepertiganya, maka jumlah suaranya lumayan besar, tuh! Heuheuheu...

Sementara menurut data lansiranFacebook, ada 5 negara dengan jumlah basis penggemar atau suporter bola di dunia di jejaring sosial tersebut. Urutan pertama diduduki Brasil dengan 53,3 juta jiwa. Urutan kedua adalah Amerika Serikat dengan jumlah 48,9 juta. Sedangkan di posisi ketiga adalah Indonesia dengan jumlah 24,3 juta jiwa.

Bila dilihat dari jumlah, potensi suara dari ceruk entitas sepak bola tanah air sangat luar biasa. Tinggal bagaimana setiap kubu capres membuat program kampanye yang hebat untuk memajukan sepakbola nasional, khususnya mengangkat prestasi Timnas Indonesia.

Selama ini penggila sepak bola di tanah air sangat merindukan gebrakan pengelolaan dan prestasi Timnas Indonesia. Tak usahlah sampai ke tingkat dunia. Menjadikan timnas Indonesia berjaya di tingkat Asia saja sudah bagus.  

Janji kampanye kepada entitas sepak bola nasional bukan sebuah hal yang tabu. Dibutuhkan suatu konsep yang berani---di luar yang selama ini ada. Tentunya harus tetap membumi.

Tim kampanye bisa menggodok konsep itu harus sejak jauh hari--dengan melibatkan pelaku sepakbola nasional yang berintegritas. Tentunya tidak melakukan intervensi pada statuta PSSI yang berhamba pada FIFA. Jadi, PSSI dijadikan mitra kerja. Bukan direbut paksa secara politis karena berbahaya, Timnas dan PSSI bisa kena sangsi internasional.

Kaitan Sepabola dengan Ekonomi dan Kesejahteraan

Selama ini kampanye Pilpres lebih banyak bicara ekonomi mikro. Janji menaikan harga hasil pertanian-perkebunan-nelayan. Janji menurunkan harga bahan pokok. Janji brokrasi yang bersih, dan lain sebagainya.

Dalam materi kampanye pilpres, bidang ekonomi bagai jadi panglima. Namun dipandang 'hanya' sebagai kegiatan dan barang yang sifatnya konvensional.

Padahal sepakbola juga memiliki potensi besar untuk menggerakkan ekonomi. Dengan jumlah 77 persen penggila bola akan banyak melibatkan simpul-simpul penggerak ekonomi rakyat. Mulai dari industri usaha kecil dan menengah (UMKM), indutri kreatif (jasa), industri konstruksi, industri pengembangan sumber daya manusia, kesehatan, dan lain sebagainya.

Di negara maju seperti di benua Eropa dan Amerika, sepakbola telah menjadi industri besar yang dikelola secara modern dan profesional. Putaran uangnya sangat besar. Selain itu, industri sepakbola mampu mengharumkan nama negaranya.

Bila dilihat dari potensi pasar di dalam negeri mereka sebenarnya masih kalah dengan negra kita dari segi jumlah penggila sepakbola. Itulah mengapa mereka "mengekspor hegemoni" sepakbolanya ke negara lain yang gila bola. 

Munculnya komunitas fans klub bola eropa di negara kita, seperti komunitas fans klub Barcelona, Real Madrid, Juventus, AC Milan, MU, Arsenal dan lain-lain merupakan bagian hegemoni tersebut.

Padahal potensi pasar dalam negeri kita sendiri saja sangat luar biasa--dengan jumlah penduduk penggemar sepak bola kita yang jauh besar dari negara-negara benua Eropa seperti Italia, Spanyol,  Inggris, Perancis dan lain-lain.

Menurut badan akuntansi kelas duniaPricewaterhouse Coopers, dengan populasi lebih dari 260 juta jiwa, Indonesia akan menjadi penggerak penting dunia di abad ke-21. Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomu terbesar keempat di dunia pada tahun 2050 mendatang.

Dengan potensi itu, banyak negara dari berbagai belahan dunia akan berlomba-lomba membangun kerjasama dengan Indonesia di berbagai bidang, termasuk sepakbola. 

Lihat saja berbagai klub besar sepakbola Eropa sangat antusias menanamkan investasi dan pengaruhnya di negara kita dengan berbagai program seperti coaching clinic, Sekolah Sepak Bola (SSB) yang berafiliasi dengan klub besar tertentu di Eropa. Mereka juga  mendatangkan pemain kelas dunia untuk bermain dan jumpa penggemar, dan program lain sebagainya.

Dengan tidak melirik sepak bola nasional sebagai ceruk suara kampanye pilpres, partai politik kita seolah "terjebak" pada isu klasik. Tidak ada terobosan yang radikal di luar isu tersebut. Padahal materi isu klasik itu juga bisa diangkat marwahnya dari entitas sepakbola yang hebat.

Satu hal yang nyata yang tak dimiliki isu klasik tersebut adalah sepakbola mampu secara cepat membuat rakyat Indonesia bangga dan disegani dunia. Kalau mau jadi "Macan Asia" atau "Raksasa Asia", maka sepak bola juga menyediakan peluang untuk itu.

Para tim kampanye pilpres 2019 jangan takut mendekati entitas sepak bola nasional. Datang dan rayu lah mereka dengan konsep dan program kerja yang mantap surantap. Sebagai pendukung radikal Timnas Sepak Bola Indonesia,  kalau aku dirayu, aku sih rapopo...

***