Billboard ini terpampang di Kota Semarang. Beberapa kali saya lewat billboard ini. Kemarin, waktu saya iseng 'stalking' akun penyebar hoaks CIA minta maaf ke Osama, yang saya debunk di FAFHH, saya menemukan bahwa ada posting yang menyebutkan bahwa billboard ini mengajarkan ngebut, mengemudi tidak aman.
Seperti biasa, ujung-ujungnya salah Jokowi. Namun, benarkah posting yang menyebutkan bahwa billboard ini mengajarkan mengemudi tidak aman?
Saya tertarik menganalisisnya dengan cara sederhana, yang bisa dilakukan oleh lulusan SD sekalipun, yaitu membagi panjang ruas dengan waktu tempuh yang diklaim, lalu mencocokkannya dengan batas kecepatan tol. Saya menggunakan data pada Wikipedia untuk panjang ruas tol. Batas kecepatan tol yang digunakan untuk analisis ini adalah 100 km/jam.
SEMARANG - SOLO 1 JAM, NGEBUTKAH?
Saya sendiri waktu mencoba ruas Semarang - Solo bersama dua orang teman saya, itu malam hari. Kecepatan tertinggi saya 90 km/h, dengan batas kecepatan tol saat ini 100 km/h (keterangan di GPS). Saya nyetir santai, karena sudah malam, hujan, kondisi saya habis nyetir panjang (itu habis trip Semarang-Jogja-Solo), di kursi tengah kawan saya lagi tidur, dan kalau ngebut lagi nanti kawan saya satunya yang jadi codriver bakal ngamuk. Ya, satu jam lah sampai Semarang. Sesuai billboard itu.
Panjang ruas Semarang - Solo adalah 72,64 km berdasarkan data di Wikipedia. Artinya, apabila saya menempuhnya dalam satu jam, kecepatan rata-rata saya ya kurang lebih 72,64 km/h lah. Jauh di bawah batas kecepatan tol 100 km/h. Bahkan, masih di bawah batas kecepatan tol 'yang lama', yaitu 80 km/h.
SEMARANG - JAKARTA 5 JAM, NGEBUTKAH?
Mengingat ruas ini belum pernah saya coba, saya tidak dapat menyampaikan pengalaman pribadi sebagaimana saat membahas ruas Semarang - Solo. Panjang tol di sini dihitung dari ruas Jakarta-Cikampek (72 km), Cipali (116 km), Palimanan-Kanci (26 km), Kanci-Pejagan (35 km), Pejagan-Pemalang (57 km), Pemalang-Batang (39 km), dan Batang-Semarang (75 km). Diasumsikan semua ruas tol ini sudah tersambung sempurna (tidak ada tol yang masih fungsional).
Panjang total ruas ini adalah kurang lebih 420 km. Apabila ditempuh dalam 5 jam, bagi saja 420÷5=84. Artinya, kecepatan rata-ratanya adalah 84 km/h. Jelas bahwa ini di bawah batas kecepatan 100 km/h.
SEMARANG - SURABAYA 3 JAM, NGEBUTKAH?
Meskipun lebaran 2018 lalu saya menyetir di ruas ini, namun sambungan ruas ini belum seperti sekarang. Masih banyak ruas yang hanya fungsional. Panjang ruas tol ini dihitung dari ruas Semarang-Solo (dibulatkan jadi 73 km), Solo-Ngawi (90 km), Ngawi-Kertosono (87 km), Kertosono-Mojokerto (40 km), dan Mojokerto-Surabaya (36 km). Untuk menyederhanakan, lagi-lagi dianggap semua ruas sudah tersambung.
Totalnya adalah 326 km. Kita bagi dengan waktu tempuh yang diklaim, yaitu 3 jam, maka hasilnya adalah 326÷3=108,67. Artinya, kecepatan rata-ratanya sekitar 109 km/h (dibulatkan ke atas). Jelas ini sedikit melebihi batas kecepatan yang diperbolehkan, yaitu 100 km/h.
KESIMPULAN
Kalau hanya membandingkan kecepatan rata-rata sesuai klaim baliho dan batas kecepatan, hanya klaim Semarang - Surabaya 3 jam yang melebihi batas kecepatan maksimum, dan bedanya terhitung 'kecil' yaitu 9 km/h. Ruas lainnya jauh di bawah batas kecepatan maksimum 100 km/h, bahkan tidak berkisar jauh dari 'batas lama' 80 km/h.
Analisis saya ini belum memperhitungkan hal-hal lain seperti jenis mobil, kondisi mobil, beban yang dibawa mobil, kondisi jalanan, kondisi pengemudi. Cara analisis saya ini juga bisa dibilang menganggap jalan tol lurus, tanpa belokan, dan datar, yang mana kenyataannya tentu tidak demikian.
Saya terbuka untuk koreksi dan diskusi, karena saya bukan ahli tol, hanya mahasiswa goblok yang iseng membuat analisis dengan cara SD. Apabila ada yang lebih paham soal tol ini, sila koreksi analisis saya yang dangkal ini.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews