Di Kota Nusantara nanti, bisa jadi takkan ada kesemrawutan begini. Semua ruang dibangun terencana. Pemimpinnya bukan seorang gubernur, tapi kepala otorita.
Belantara beton Jakarta yang kian senja sebagai ibu kota negara. Gedung-gedung dan rumah-rumah berhimpitan. Beririsan. Kota dengan napas yang sesak, tak memiliki paru-paru yang cukup untuk menghalau udara kotor. Hutan-hutan kota mengerut, permukiman meruyak.
Berpuluh-puluh tahun, satu demi satu, ruang-ruang terbuka untuk publik di ibukota, dipreteli oleh pemerintah sendiri. Tiga ruang publik besar, Monas, Kemayoran dan Gelora Bung Karno, telah cuil oleh bangunan yang justru dibangun oleh pemerintah dan kerabatnya.
Idealnya, Jakarta yang luasnya 65.000 hektare ini memiliki sedikitnya 30 persen areal ruang publik atau sekitar 19.500 hektare. Tapi, saya pernah membaca data Dinas Tata Kota, Jakarta baru memiliki sekitar 6.000-an hektare ruang terbuka di seluruh Jakarta dan Kepulauan Seribu atau tak sampai 10 persen dari luas ibukota, itu pun sudah termasuk kompleks pemakaman.
Luas ideal, 30 persen ruang terbuka hijau, pernah dimiliki Jakarta hanya sampai akhir tahun 1960-an. Seiring berkembangnya ibu kota, jengkal demi jengkal tanah di Jakarta disulap menjadi areal menanam beton-beton yang menjulang serta rumah-rumah baru.
Hari ini, DPR mengesahkan ibu kota negara yang baru di satu tempat di jantung Kalimantan. Namanya Nusantara.
Pembangunannya sudah berjalan jauh-jauh hari sebelumnya, semenjak Presiden Jokowi memutuskan untuk memindahkan ibu kota negara.
Di Kota Nusantara nanti, bisa jadi takkan ada kesemrawutan begini. Semua ruang dibangun terencana. Pemimpinnya bukan seorang gubernur, tapi kepala otorita.
Sementara Jakarta nanti tetap seperti ini: jadi belantara beton dan rumah-rumah. Ia menjadi kota bisnis, kota keuangan, tetap berderak jadi pusat segala kesibukan.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews