"Mosok sih Bun?"
"Iya, kenalan Bunda mau masuk Honda aja bayar dua puluh lima juta"
Percakapan saya pagi ini dengan si Anggrek Bulan.
Adik nomor tiga baru lulus Sarjana Pendidikan. Unimed di Medan. Tapi mencari Pekerjaan dimana-mana tidak ada. Akhirnya mengajar di Sebuah Pesantren dengan honor 250ribu perbulan.
Oh, iya. Honda itu maksudnya honor daerah. Kalau Yamaha, Ya kumaha, beginilah nasib kita bernegara.
Begitu sulitnya mencari Pekerjaan di Negeri ini, sampai-sampai buat jadi Guru Honor mesti pakai "uang terima kasih".
Gimana lagi kalau masuk PNS, masuk Polri, TNI dan Abdi Negara lainnya, apakah harus pakai "Uang Terima Kasih" juga?
Terus yang Ngga-Mulia-JKW dan LBP dengan santai malah kasih Negara Asing untuk mengelola Tambang-tambang kita. Cilokonya, Negara asing teraebut malah datang lengkap membawa Tenaga Kerjanya sendiri.
Saya jadi teringat Youtuber muda yang jadi TKI di Korea Selatan.
Ada followernya yang tanya "Bro, jadi TKI di Korea Selatan apa tidak diributkan warga Korea Selatan seperti TKC di Indonesia"
"Di Korea Selatan ini Lapangan Kerja sangat banyak. Pemerintahnya mengutamakan Lapangan Kerja duluan buat Warga Korea Selatan. Tapi masih kurang, makanya diterima warga asing dan dipekerjakan. Kalau di Indonesia berbeda. Rakyatnya saja masih banyak yang Pengangguran karena ngga ada Pekerjaan, eh masuk Tenaga Kerja China. Ya saya sendiri pasti marah. Eh, buset, Ndan" jawab si Youtuber.
Saya berharap jawaban yang sangat sederhana dan mudah dipahami ini bisa dicerna otak rakyat Indonesia. Karena sampai sekarang masih banyak Pendukung Pak Jokowi membela kehadiran TKA Asing. Mereka sih lumayan, dapat kerjaan jadi Buzzer dari Kakak Pembina. Biarpun gajinya cuma cukup buat makan, rokok dan sesekali modal kencan dengan Waria ( baca kisah Buzzer yang sekarang jadi Komisaris BUMN yang berhubungan dengan Transportasi Laut), bagi makhluk-makhluk IQ setara Keledai itu, sudah cukup.
Malah ada Pejabat Pemerintah yang membela TKA dengan alasan, rakyat kita juga banyak yang jadi Tenaga Kerja Asing di Negara lain. Misalnya Malaysia, Taiwan, Hongkong dan Saudi.
Kalau dekat, ingin rasanya saya sumpal mulut Pejabat Tolol itu dengan kertas tissue toilet yang sudah terpakai.
Pertama, rakyat kita menjadi TKI umumnya di sektor Informal. Tenaga Unskill. Jadi Pembantu Rumah Tangga, Kuli dan jenis Pekerjaan yang warga Negara tujuan memang tidak mau.
Saya kasih contoh :
Sekitar tahun 2008, saya Liburan dari Perusahaan ke Malaysia. Saya lupa nama daerahnya, sebuah taman masih di Kuala Lumpur. Saya ke Toilet. Bayar beberapa sen. Wanita Petugas Pembersih Toilet dan Pengutip Uang Kebersihan berasal dari Indonesia. Sebuah Kabupaten di Jawa Tengah. Biarpun berbicara sudah cakap melayu, tapi logat medoknya ngga bisa menjauh.
Warga Malaysia tidak ada yang mau jadi Petugas Kebersihan Toilet. Makanya mereka butuh tenaga kerja asing. Jadi tidak ada ceritanya TKI kita bersaing apalagi merebut Lowongan Kerja di Negara Tujuan.
Berbeda dengan yang sekarang terjadi di Negeri kita ini. Rakyat masih banyak yang jadi Buruh Harian dengan gaji dibawah dua jutaan, bahkan masih banyak yang Pengangguran karena tidak ada Pekerjaan. Eh, Pemerintah dungu sekarang malah nemasukkan ribuan Tenaga Kerja dari China dengan gaji belasan juta.
Saya kira hanya rakyat yang sakit jiwa yang ngga sakit hati.
Kedua, ini yang membuat saya sedikit putus asa. Bayangkan seorang Pejabat Pemerintah melakukan Pembelaan atas Tenaga Kerja Asing dengan mencontohkan kalau rakyat kita juga jadi TKA di Negara lain!
Tulul. Bukannya dia sedang mempermalukan wajah Pemerintah sendiri. Artinya rezim yang berkuasa sekarang dia akui gagal menyediakan Lapangan Kerja buat rakyat Indonesia. Sampai-sampai rakyat kita di kirim jadi kuli ke Negara Asing.
Mau sakit hati lebih dalam?
Bahkan masa PPKM karena Pandemi Covid-19, banyak Rakyat kita yang di PKH. Tapi Tenaga Kerja China tetap berdatangan....
Menangislah di dalam Kubur wahai Para Pejuang Kemerdekaan Negeri ini, pengorbanan kalian hanya menghasilkan Boneka-boneka baru !
#TY
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews