Saat ekonomi perlu putaran, eh, di rekening-rekening Pemda masih ada Rp198 triliun yang mengendap. Bukannya dicairkan agar masyarakat bisa menikmati tetesannya malah dipendem di bank.
Dan semalam akhirnya diumumkan, PPKM diperpanjang sampai 25 Juli 2021. Kalau tren positifnya melandai, bakal dibuka pelan-pelan. Mirip pengantin baru.
Yang tampil mengumumkan langsung Presiden Jokowi. Dia tampil menjawab keresahan publik. Dia berdiri siap menghadapi anak panah kritik.
Yups. Dalam situasi seperti ini kita butuh pemimpin yang hadir. Yang keputusannya tegas dan terukur.
Saya merasakan PPKM telah menjungkalkan banyak orang. Saat ekonomi mandeg, orang sibuk berfikir soal isi perutnya. Sementara ruangan RS masih berjubel.
Pemerintah sudah memikirkan bagaimana dampaknya bisa dikurangi. Setidaknya program bagi-bagi untuk rakyat terus dilanjutkan.
Pada awal 2020 saja, sudah Rp1.400 triliun APBN kita dialokasikan buat menahan dampak Covid19 ini. Bandingkan. Untuk membangun ibukota baru, anggaran yang dibutuhkan sekitar Rp500 triliun. Artinya biaya Covid19 itu mestinya sudah bisa membangun 3 ibukota baru.
Satu hari sebelum pengumuman itu saya sempat diajak zoom metting dengan bu SMI. Ada yang menarik informasinya.
Sebagai pengatur lalu lintas keuangan, Menkeu ternyata sudah banyak mengalokasikan dana ke pemerintah daerah. Harapannya Pemda sigap menyalurkannya lagi ke masyarakat.
Dalam kondisi normal saja 1/3 APBN kita disalurkan ke daerah. Ada yang berbentuk DAU, DAK, bagi hasil pajak, insentif khusus, atau dana desa. Sementara dalam kondisi begini, jumlah itu jauh lebih besar lagi.
Sayangnya duit di rekening Pemda sering dibiarkan saja. Pemdanya malas.
Duit ada. Keluhannya segudang. Birokrasinya rakus. Bukannya kerja yang serius, malah bikin tambah ribet.
Nah, di sinilah yang sering jadi kendala. Para raja-raja kecil penguasa daerah leletnya minta ampun. Bahkan malah ada yang nyari kesempatan dalam kesempitan.
Saat ekonomi perlu putaran, eh, di rekening-rekening Pemda masih ada Rp198 triliun yang mengendap. Bukannya dicairkan agar masyarakat bisa menikmati tetesannya malah dipendem di bank.
Ada juga yang perencanaan APBD-nya sok optimis. Misalnya Jabar. Dalam APBD 2021, mereka gak memasukan fariabel kemungkinan gelombang kedua. Sok yakin. Makanya Kang Emil akhirnya mengeluh, duit mereka gak cukup buat mengantisipasi kondisi.
Belum lagi DKI yang sering hambur-hanburin duit buat yang gak perlu. Kelebihan Bayar Transjakarta Rp415 miliar. Kelebihan bayar Damkar Rp6,5 miliar. Kelebihan bayar proyek PLTS di atap sekolah Rp1,2 miliar.
DP Formula E saja sampai Rp560 miliar. Plus bank garansi Rp400 miliar. Padahal sampai 2022 nanti, nama Jakarta gak ada dalam liat event Formula E itu.
Pas dibutuhkan duit buat memfasilitasi rusun Nagrak sebagai lokasi alternatif penanganan pasien Covid19, malah minta sumbangan ke Dubes asing.
Di Jatim, Gubernurnya malah merayakan ulang tahun dengan kerumunan. Mirip Anies yang sowan ke Rizieq, padahal mestinya Rizieq karantina mandiri sehabis dari LN.
Ulah Pemda kayak gini, ada yang memang karena sengaja, karena afiliasi politik pimpinannya. Ada yang pimpinan daerahnya gak ngerti bagaimana bekerja yang bener. Ada yang mau cari untug. Ada yang pengecut, bersembunyi di ketiak ketidakberdayaan. Dengan harapan toh, yang akan disoroti publik hanya pemerintah pusat saja.
Yang paling sial kalau kepala daerahnya sejenis Kadrun kelas kakap. Ini termasuk kategori perbuatan yang memuakkan.
Ketika vaksin digencarkan, misalnya. SMI sudah mengirim duit ke Pemda agar mereka menggelar vaksinasi. Mengejar target 2 juta perhari. Wajar. Mereka punya RSUD, punya Puskesmas. Punya dinkes.
Sialnya banyak yang gak jalan. Kedodoran dalam pelaksanaan.
Akhirnya Menkeu menarik lagi dananya. Dialihkan ke TNI dan Polri agar mereka gercep melakukan program itu.
Asal tahu saja. Honor nakes juga sudah cair. Tapi ya, itu tadi. Terhambat di daerah. Nyebelin, gak tuh?
Walhasil, dalam kondisi begini model otonomi daerah dengan mentalitas birokrasi Pemda yang masih babak belur, jadi salah satu penghambat penyelesaian masalah. Para kepala daerah itu, mensesapkan kepalanya ke dalam pasir. Seolah gak mau melihat kenyataan.
Tidak semua Pemda begitu. Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, kita tahu hampir saban hari keliling memastikan kondisi warganya. Gak ada capeknya.
Tapi berapa banyak kepala daerah yang seperti Ganjar. Kebanyakan malah gagap.
Malah ada Gubernur daerah khusus ibu tiri, sekalinya kerja malah lucu. Yang disiapkan hanya petimati, lahan kuburan sama membangun kremasi.
Ketika sidak, sok galak. Eh, salah sasaran. Kantor sektor essensial kena sidak juga.
Sementara di depan hidungnya banyak warga menggelar sholat Iedul Adha tanpa prokes. Gubernur diem bae. Takut kehilangan lumbung suara.
Kayaknya jenis Gubernur yang ini hanya sibuk mengurus orang mati. Bukan menolong orang sakit agar terus bertahan hidup.
Bila kondisinya begini terus, kita memang masih akan sangat lama bisa keluar dari rundungan pandemi ini. Jokowi gak bisa kerja sendiri. Para pemimpin daerah juga bertanggung jawab terhadap rakyatnya dan wilayahnya.
Begini. Pak dan Ibu Gubernur. Pak Walikota. Pak Bupati. Anda semua sudah banyak menikmati fasilitas dari rakyat. Hidup enak dari pajak rakyat.
Saat ini rakyat butuh perhatianmu. Butuh kerja kerasmu. Sebentar saja. Agar kami semua bisa kembali hidup normal.
Kalau nanti sudah normal, Anda mau foya-foya dan jadi pencoleng lagi silakan. Itu bukan urusan kami lagi. Paling urusannya dengan KPK.
"Mas, PPKM diperpanjang percuma, kalau gak keras. Panang doang, kalau gak keras ibu-ibu gak suka, " celetuk Abu Kumkum.
Eko Kuntadhi
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews