kita sepertinya perlu mengingat kembali pesan salah seorang novelis terbaik Indonesia, Pramodya Anata Toer, yang pernah mengatakan bahwa : “Kita haruslah berbuat adil sejak dari dalam pikiran”.
Daerah kita memang tidak selalu bergerak maju. Yang biasa terjadi adalah maju satu langkah, mundur tiga petak. Atau maju tiga langkah lalu diikuti dengan dua langkah mundur. Inilah yang kiranya seringkali dialami oleh daerah kita.
Para pembuat kebijakan didaerah kita, meski memiliki setumpuk pengalaman dibirokrasi beserta gelar yang panjang, tapi tidak selalu mengajari kita untuk lebih berkembang ke arah kedewasaan, tetapi malah mundur ke arah pembodohan dan pemakluman.
Akhirnya, tak heran ketika banyak daerah sudah mulai bergerak ke arah pemetaan untuk memaksimalkan potensi daerah demi mencapai kesejahtraan masyarakat, kita justru masih berkutat soal hal-hal remeh-temeh.
Kebijakan Tanpa Jiwa Dan Nalar Sehat
Masalah program internet desa yang dibiayai dari anggaran dana desa Tahun 2020, dan perluasan jaringan radio dengan total anggaran 1,8 M di kabupaten Timor Tengah Selatan adalah beberapa contohnya. Ini adalah bentuk kongkalikong tanpa melihat apa yang menjadi masalah dan kebutuhan paling mendasar yang dialami oleh masyrakat kita.
Dua contoh yg saya kemukakan diatas adalah contoh kongkrit dimana para pamangku kebijakan kita tidak ditopang dengan kajian dan nalar sehat. Nalar yang sehat dan kajian untuk menopang kebijakan-kebijakan seolah sudah menjadi barang langka di daerah kita. Kalau dalam pengambilan kebijakan selalu menggunakan nalar yang sehat, dan jiwa yang bersih, maka ia akan bergerak untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan mendasar dari masyrakat serta mampu melampaui sekat-sekat kedaerahan, agama, budaya, serta mengantarkan manusia pada kesadaran dasar sebagai mahluk semesta. Dan bukan malah sebaliknya.
Kesalahan Elit Dan Kesalahan Kita
Di sisi lain, korupsi juga masih terus menjadi masalah yang tak terselesaikan di kabupaten kita. Upaya untuk memerangi korupsi pun selalu saja dibuat mainan oleh para pejabat busuk.
Dewan Perwakilan Rakyat kita pun seakan pasrah ditengah kewenangan mereka untuk menjalankan fungsi kontrol kepada eksekutif. Belum berhenti disitu, bahkan lembaga penegak hukum didaerah kita pun seringkali tak mampu mempertahankan kebebasan dan kewibawanya. Mereka hanya tajam ketika berhadapan dengan masyarakat desa.
Akhirnya, kita membuat indikasi-indikasi liar bahwa jangan-jangan lembaga ini pun sudah jatuh ke dalam politik kotor, yang kehilangan ketajamannya sebagai ujung tombak di dalam perang melawan korupsi.
Pada tingkat yang lebih luas, kita sebagai masyarakat juga tidak kunjung belajar dari kesalahan-kesalahan kita sendiri.
Mesin dihidupkan, Pohon-pohon ditebang, dan hutan-hutan kita hilang sedikit demi sedikit. Pakaian-pakian dicuci dipinggir sungai, tapi sampah-sampah plastik bekas bungkusan rinso dibiarkan begitu saja. Air sungai kita tercemar, dan kualitas air kita buruk. Akhirnya, berbagai penyakit menyerang kita tanpa mengenal usui. Belum berhenti disitu, cara berkebun dengan terus berpindah-pindah dengan sistem tebas-bakar pun masih sering kita lihat dan diamkan.
Beberapa kasus diatas adalah contoh-contoh kongkrit, dimana alam kita dirusak oleh kita sendiri, demi kenikmatan dan kepentingan sesaat.
Bangga Pada Slogan Dan Julukan
Kita seringkali bangga dengan julukan-julukan dan slogan-slogan agama yang ditempelkan ke daerah kita, seperti: “TTS-ku, Firdaus-Ku”, atau disinilah “air pernah berubah menjadi anggur”, atau didaerah kitalah terdapat “kelompok doa” terbanyak di NTT. Tapi jujur, gaya hidup dan cara berpikir kita di abad 21 ini sama sekali tidak mencerminkan rasa prihatin terhadap kerusakan alam, masalah perempuan, kelaparan, krisis pangan, dan krisis air yang terjadi hampir setiap tahun di daerah kita.
Kalau dilihat, semakin hari semakin banyak keputusan yg kita buat, baik kita sebagai masyrakat biasa, atau juga para pengambil dan pembuat kebijakan kita malah semakin jauh dari nalar sehat dan nilai-nilai agama itu sendiri.
Sikap tidak peduli, bekerja asal jadi, ingin menonjolkan golangan, politik balas dendam, dan ingin cepat-cepat menutupi kesalahan dan lain-lain justru seakan menjadi daya dorong utama pembuatan keputusan. Maka tak heran, banyak masalah lama belum selesai, sementara masalah baru sudah muncul.
Sekali lagi, ini adalah contoh bahwa tanpa nalar yang sehat dan jiwa yang bersih dalam mengambil kebijakan, maka kebijakan kita hanya menjadi kumpulan masalah dan penderitaan yang tak kunjung berakhir.
Harapan Dan Kritikan Kepada Pemuda
Ditengah berbagai permasalahan yang ada didaerah, tentulah kita tidak boleh pasrah dan pesimis. Kita (pemuda) justru haruslah menjadikan permasalahan-permasalahan yang ada untuk melatih konsistensi diri kita masing-masing untuk terus berdiri bersama masyrakat (terutama masyrakat desa). Untuk itu, kita perlu lebih peka terhadap masalah-masalah yang dialami oleh masyarakat, serta terus-menerus mengawal kebijakan-kebijakan pemerintah daerah.
Kedua hal itu, haruslah terus kita lakukan untuk memastikan bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah daerah, haruslah bertujuan untuk menjawab permasalahan-permasalahan masyrakat.
Hanya dengan begitu, konsistensi dan keberpihakan kita terus diuji. Dan bukan sebaliknya, kita justru bermain diwilayah abu-abu.
Disatu sisi seakan mengakomodir suara-suara dan keluhan masyrakat, tapi disisi lain justru menyisipkan kepentingan pribadi ketika berhadapan dengan para pejabat daerah.
Hal ini seringkali dianggap sepeleh oleh sebagian orang, sehingga lupa mengoreksi diri kita secara pribadi. Kita perlu bertanya pada diri sendiri:
Apakah niat kita untuk mengoreksi kebijakan pemerintah agar sesuai dengan kebutuhan masyrakat, ataukah kita sedang memanfaatkan keluhan masyrakat untuk kepentingan pribadi?
Jadi perlu dilihat bahwa tugas kita adalah mengoreksi hal-hal yg ada diluar diri kita (seperti mengoreksi kebijakan pemerintah), tapi juga mengoreksi hal-hal yang ada didalam diri kita masing-masing.
Kita perlu saling mengingatkan, karna beberapa kali yang kita temui adalah mental “jilat atas, injak bawah”. Saat mengkritisi masyrakat dan pejabat didesa, garangnya minta ampun. Tapi saat ada kesalahan yang dilakukan oleh pejabat daerah, selalu saja bermain diwilayah abu-abu, bahkan diam seribu bahasa.
Begitu keras menekan dan mengkritisi kepala desa untuk melakukan transparansi anggaran, tapi kalau ke pemerintah daerah malah selalu mengutamakan sopan-santun. Coba cek saja, apakah pemerintah daerah benar-benar sudah melakukan transparansi anggaran?
Untuk itu, kita sepertinya perlu mengingat kembali pesan salah seorang novelis terbaik Indonesia, Pramodya Anata Toer, yang pernah mengatakan bahwa : “Kita haruslah berbuat adil sejak dari dalam pikiran”.
***
Honing Alvianto Bana, Lahir Di Kota Soe - Nusa Tenggara Timur. Saat ini sedang aktif bersama kawan-kawan pemuda GBKN. Ia sama seperti banyak orang yang pernah kalian temui dipersimpangan jalan.
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews